Menu Tutup

Rabi’ah Al-Adawiyah : Biografi dan Ajaran Sufinya

Biografi

Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah al- Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 Dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabi’ah yang berarti anak keempat.

Beberapa hari setelah kelahiran Rabi’ah, Ismail bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad, dalam mimpinya dia berkata kepada Ismail agar jangan bersedih karena Rabi’ah akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafaatnya.

Sejak kecil Rabi’ah sudah dikenal sebagian ak yang cerdas dan taat beragama. Beberapa tahun kemudian Ismail meninggal dunia kemudian disusul oleh ibunya, sehingga Rabi’ah dan ketiga saudara perempuannya menjadi anak yatim piatu. Ayah dan Ibunya hanya meninggalkan harta berupa sebuah perahu yang digunakan Rabi’ah untuk mencari nafkah. Rabi’ah bekerja sebagai penarik perahu yang menyeberangkan orang di Sungai Dajlah. Sementara ketiga saudara perempuannya bekerja di rumah menenun kain atau memintal benang.

Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan akibat kemarau panjang, Rabi’ah dan ketiga saudara perempuannya memutuskan untuk mencari penghidupan di kota, namun Rabi’ah terpisah dengan ketiga saudara perempuannya sehingga ia hidup seorang diri. Pada saat itulah Rabi’ah diculik oleh sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba sahaya/budak seharga enam dirham kepada seorang pedagang. Pada usia remaja ini, Rabi’ah menjadi salah satu remaja yang kehilangan kemerdekaannya dan menjadi ammat yang dapat diperjual-belikan dari majikan yang satu ke majikan yang lain.

Rabi’ah al-Adawiyah menjadi ammat yang sangat laris, karena muda, cantik, bersuara merdu, pandai menyanyi dan menari. Dari kemampuann menyanyi dan menarinya ini, membawa Rabi’ah menjadi penyanyi dan penari di istana Daulah Bani Abbasiyah di Baghdad. Namun demikian, setiap malam Rabi’ah bermunajat kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya untuk diberi kebebasan. Rabi’ah berdo’a, jika ia dapat bebas dari perbudakan maka ia tidak akan berhenti sedikitpun beribadah. Suatu saat, ketika Rabi’ah sedang berdoa dan melakukan salat malam, majikannya dikejutkan oleh cahaya di atas kepala Rabi’ah. Cahaya itu bagaikan lampu yang menyinari seluruh isi rumah.

Melihat peristiwa yang aneh tersebut maka majikannya menjadi ketakutan dan keesokan harinya membebaskan Rabi’ah. Sebelum Rabi’ah pergi, Pedagang itu menawarkan kepada Rabi’ah untuk tinggal di Basrah dan ia akan menanggung segala keperluan dan kebutuhannya, namun karena kezuhudannya, Rabi’ah menolak dan sesuai janjinya jika ia bebas, maka Rabi’ah akan mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah.

Setelah bebas dari hamba sahaya, Rabi’ah pergi mengembara di padang pasir. Di tempat itulah ia menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah kepada Allah sehingga dikenal menjadi tokoh sufí besar dan dikunjungi banyak orang. Di antara tokoh sufí yang pernah mengunjungi   Rabi’ah adalah Malik bin Dinar (wafat 748/130 H), Sufyan as-Sauri (wafat 778 / 161H), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194H). Rabi’ah hanya tidur sedikit di siang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat. Rabi’ah dikenal sebagai tokoh sufi dengan syair– syair cintanya yang sangat indah dan mengagumkan.

Suatu saat Rabi’ah pulang dari menunaikan ibadah haji, kesehatannya mulai menurun. Para sahabatnya banyak yang berdatangan untuk membantunya, tetapi Rabi’ah tidak ingin menyusahkan orang lain. Ia menyampaikan kepada sahabatnya yang telah lama menemaninya, yaitu Abdah binti Abi Shawwal bahwa sebenarnya ia sudah menyiapkan kain kafan untuk membungkus jenazahnya. Tidak lama dari kejadian tersebut, awan mendung menggelayut di bumi Baghdad, dan nampaknya Sufi agung Rabi’ah al-Adawiyah wafat di Bashrah pada tahun 185 H/801 M.

Inti ajaran tasawuf

Rabi’ah al-Adawiyah memiliki corak tasawuf yang unik dan berbeda dengan para sufi pendahulunya. Corak tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah terfokus pada konsepnya tentang Mahabbatullah (cinta Allah). Ia mengungkapkan perasaannya tentang cinta Ilahi dengan dua corak cinta, yaitu cinta karena diriku dan cinta karena dirimu. Cinta pertama berpijak kepada diri seorang hamba yang jatuh cinta dan senantiasa terpaut dengan Tuhannya. Pada maqām ini seorang hamba berusaha untuk dekat kepada Allah dengan menunjukkan kepatuhannya dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Dengan ketaatan dan kepatuhan yang luar bisaa maka seorang hamba akan berhasil menjadi kekasih-Nya.

Keberhasilan menjadi kekasih Allah membawanya kepada pengalaman baru, yakni pengalaman merasakan cinta yang kedua, yaitu cinta karena dirimu. Pada maqām ini Rabi’ah al-Adawiyah mengalami kasyaf, yaitu keterbukaan tabir yang selama ini menghalangi hamba dengan Tuhan. Melalui proses mukasyafah, hamba berusaha, Tuhan membukakan hijab Rabi’ah al-Adawiyah sehingga tercapailah maqām musyahadah, yaitu pengalaman menyaksikan keagungan Allah melalui basyirah (mata hati) sehingga ia mencapai ma’rifat (mengenal Allah dengan meyakinkan). Pada tahap ini Rabi’ah al-Adawiyah merasakan cinta Allah karena diri- Nya, ia berada pada posisi yang pasif, menjadi objek yang menerima limpahan cinta Allah.

Tasawuf yang diamalkan oleh Rabi’ah termasuk tasawuf irfani. Konsep tasawuf mahabbah yang diajarkan oleh Rabi’ah   merupakan perwujudan rasa tulus dan ikhlas dengan cinta tanpa adanya permintaan ganti dari Allah. Ajaran-ajaran Rabi’ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan tasawuf dapat dikatakan sangat besar. Sebagai seorang guru dan penuntun kehidupan sufi, Rabi’ah banyak dijadikan panutan oleh para sufi sesudahnya dan puisi cintanya sering dirujuk oleh para sufi lainnya, misalnya: Abu Ṭālib al-Makki, As-Suhrawardi, dan al- Ghazali. Puisi cinta Rabi’ah yang sangat masyhur adalah:

Aku mencinta-Mu dengan dua cinta, Cinta karena diriku dan karena diri-Mu.

Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu Cinta karena diri-Mu adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat.

Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mu pujian untuk kkesemuanya

Al-Ghazali memberikan ulasan tentang sya’ir cinta Rabi’ah al-Adawiyah tersebut sebagai berikut:

“Mungkin yang Rabi’ah maksudkan dengan cinta karena dirinya adalah cinta Allah karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini, sedangkan cinta kepada- Nya adalah karena Ia layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam hadiś Qudsi, “Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh, Aku menyiapkan apa yang terlihat oleh mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terbesit di kalbu manusia.”

Baca Juga: