Menu Tutup

Relasi Suami Istri yang Ideal Perspektif Gender dan Islam

Selain menjalankan hak dan tanggung jawab suami istri, terdapat beberapa hal yang harus mencerminakan relasi suami istri dalam Islam yang ideal diantaranya:

1. Saling menerima keadaan atau kondisi pasangan apa adanya serta saling memperdayakan untuk peningkatan kualitas pasangan.

Setiap individu manusia tentunya memiliki potensi atau kelebihan dan kekurangan. Kekurangan pada diri seseorang inilah yang seharunya dapat diterima dengan ihklas oleh setiap pasangan baik suami maupun istri dalam kehidupan rumah tangga, karena Allah tidak mungkin menciptakan seseorang tanpa adanya kebaikan dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT surat an-Nisa ayat 16 sebagai berikut:

dan terhadap dua orang yang melakukan perbatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Jika keduanya tobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya, Allah Maha Pemberi tobat, Maha Penyayang”(Q.S, an-Nisa (4): 16) 

Ketika pasangannnya dalam kondisi lemah atau sedang dalam  situasi yang memerlukan pertolongan, maka sudah tentu menjadi kewajiban pasangannya untuk saling melengkapi kekerungan dan membantu.[1] Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 187 sebagai berikut:

“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-

Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa”(Q.S, AlBaqarah (2): 187)

2. Mengembangkan sikap amanah dan  menegakkan kejujuran.

Sebagaimana dalam Q.S an-Nisa ayat 21 disebutkan bahwa pernikahan merupakan merupakan perjanjian yang kuat (mīshaqan ghalidza) antara suami istri:

“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu”(Q.S, an-Nisa (4):21)

Ayat diatas merupakan perjanjian yang kuat (mishaqan ghalidza) bukan hanya sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan biasa, tetapi disaksikan oleh Allah SWT. Maka dari itu pernikahan juga sebagai pasangan ketika suka maupun duka, pernikahan merupakan perjanjian saat ijab dan qabul  disaksikan oleh kedua orang tua dan keluarga  serja disaksikan juga oleh Allah SWT karena pernikahan adalah sebuah amanah dari Allah SWT dengan rasa penuh tangguang jawab. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT surat an-Nisa ayat 38 sebagai berikut:

Dan (juga) orang-orang yang menginfakkan hartanya karena ria dan kepada orang lain (ingin dilihat dan dipuji), dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa menjadikan setan sebagai temannya, maka (ketahuilah) dia (setan itu) adalah teman yang sangat jahat”(Q.S, an-Nisa (4):38).

 

3. Saling memahami perbedaan pendapat dan pilihan peran.

Peran suami pada wilayah publik dan istri di wilayah domestik bukan merupakan hal yang mutlak, sehingga istri juga dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan berkarir di luar rumah yang tentunya atas izin suami. Pemilihan peran-peran atas kesadaran gender yang berbentuk melalui konstruksi sosial yang memerlukan adaptasi dan berkomunikasi antara suami istri. Ketika peran-peran ini dapat dikompromikan satu sama lain, maka akan menghindarai beban ganda pada salah satu pihak dan juga diskriminasi gender yang merugikan keduanya.[2] Hanya pada peran yang bersifat kodrati lah yang tidak bisa mungkin saling berbagi atau dipertukarkan perannya, seperti haid, hamil, menyisui, nifas.

4. Menghargai segala masalah secara bersama.

Dalam rumah tangga ketika muncul permasalahaan amanah Allah SWT harus dijalankan yaitu rasa tanggung jawab. spesifiknya yang harus dilakukan adalah diskusi, musyawarah. Dalam keluarga proses mengambil keputusan idealnya suami istri berada pada posisi yang setara. Setiap anggota keluarga diperkenankan mengeluarkan argumentasi ataupun solusi terkait masalah yang dihadapi, karena masalah yang terjadi dalam rumah tangga bukan merupakan masalah satu pihak, namun telah menjadi masalah bersama harus menajdi tanggung jawab bersama. Posisi kesetaraan suami istri dalam rumah tangga ini kemudian oleh Scanzoni dikatagorikan sebagai pola perkawinan equal patner, dimana tidak ada posisi yang lebih tinggi atau renah anatara suami istri.[3]

5. Menghindari timbulnya permasalahan yang berujung kepada KDRT.

kekerasan dalam rumah tangga tidak mudah terjadi jika dalam rumah tangga dibangun atas dasar kesetaraan dan keadilan gender, dimana suami istri yang baik mampu memposisikan pasangnnya sebagai teman dan bagian dari dirinyasendiri. Saling  menjaga kesabaran.[4]

6. Tidak segan melakukan saling memberi maaf.

Bersikap memaafkan kepada pasangannya. Hal ini merupakan perbuatan yang bijak dalam menyikapi perbuatan nusyuz, baik itu yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dari perbuatan kekhilafan dan kesalaha.[5] sesuai dengan firman Allah SWT surat ali-Imran ayat 134 sebagai berikut:

     ”(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan

Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan”(Q.S, ali-

Imran (32):134)

6. Selalu mengajak melakukan hal-hal yang positif.

Dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 11 Allah SWT malah cantumkan secara gamblang bahwa tidak boleh seorang Muslim berkata buruk terhadap Muslim lainnya. Dalam konteks ini adalah mengolok-olok atau menghina sodara muslim lainnya.[6]

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuanperempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”(Q.S, al-Hujurat:11)

Dari beberapa prinsip diatas menunjukkan bahwa Islam menekankan kepada manusia terutama suami istri dalam rumah tangga untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri untuk pembangunan keluarga dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dari perbuatan kekhilafan dan ideal, harmonis, saling menghormati, sesuai peran dan fungsinya. Sehingga menemukan prinsip keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada prinsipprinsip ajaran Isalam, bukan bentuk sistem marginalisai, subordinat, stereotype dan violence terhadap perempuan yang dibentuk oleh kultur sosial budaya yang diciptakannya.

[3] T.O. Ihromi, “Bunga Rampai Sosiolagi Kelurga” (Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2004),  104.

[4] Mufidah Ch “Spikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender”…,170.

[5] Ibid., 215.

[6] M. Ali, Hasan, “Pedoman Hidup Beragama Dalam Islam” (Jakarta: Prenaada Media Grup, 2006), 160.

Baca Juga: