Menu Tutup

Rukun Khutbah Jumat

Imam Nawawi dalam kitabnya Munhaj al-Thalibin wa ‘Umdatul-Muftin pada bab Shalat Jumat, beliau menyebutkan bahwa syarat sah shalat jumat itu adalah khutbah, beliau juga menjelaskan tentang rukun-rukun khutbah. Beliau katakan:

Rukun khutbah itu ada 5:

  1. (membaca) pujian kepada Allah,
  2. (membaca) shalawat kepada Nabi s.a.w., dan redaksi untuk rukun 1 dan 2 itu redaksi yang tertentu (tidak buat sendiri),
  3. (membaca) wasiat taqwa, Dan tiga rukun teratas ini harus dibaca di 2 khutbah (pertama dan kedua).
  4. Membaca ayat al-Qur’an di salah satu antara 2 khutbah. Dikatakan1 juga itu dibaca di khutbah pertama. Juga dikatakan (wajib baca) di 2 khutbah. Bahkan juga dikatakan baca ayat al-Qur’an itu tidka wajib.
  5. Membaca redaksi yang cukup untuk disebut doa untuk orang-orang mukmin di khutban yang kedua. Dikatakan itu tidak wajib.

Dalam hadits yang masyhur dan mungkin hampir semua kita hafal, Nabi s.a.w. pernah bersabda: “shalatlah kalian sebagimana kalian melihatku shalat”. Dan sepanjang hayat Nabi s.a.w., beliau tidak pernah shalat jumat kecuali didahului dengan 2 khutbah. Itu sudah cukup menjadi dalil bahwa syarat sah shalat jumat itu, adanya 2 khutbah sebelum shalat.

1 & 2. Pujian Kepada Allah s.w.t. (Hamdallah) dan Shalawat Kepada Nabi s.a.w.

Alasan utama kenapa memulai khutbah dengan Hamdallah adalah Ittiba’an; yakni mengikuti apa yang sudah dikerjakan Nabi s.a.w.; karena ini ibadah maka segala teknis harus mengikuti apa yang sudah dicontohan oleh Nabi s.a.w. dan tak sekalipun Nabi s.a.w. melakukan khutbah kecuali memulianya dengna Hamdallah.

Juga karena memang khutbah ini adalah ibadah, maka ia membutuhkan dzikir kepada Allah s.w.t. dengan penyebutan yang memuji. Dan dzikir kepada Allah s.w.t. membuat keharusan menyebut kekasih-Nya; Muhammad s.a.w.; karena itu diwajibakn setelah hamdallah untuk membaca shalawat kepada Nabi s.a.w.

Untuk Hamdallah dan shalawat ini, Imam Nawawi mensyaratkan bahwa redaksi keduanya sudah ditentukan. Artinya membaca keduanya tidak boleh asal membaca melainkan dengan redaksi yang sudah ditentukan; yakni dengan redaksi:

Alhadulillah (الحمد لله) dan

Allahumma Shalli ‘ala Muhammad (اللَّهُمَّ صَلِّ عَلى مُحَمَّدٍ).

Kedua redaksi itu diwajibkan karena memang itulah yang teriwayat dari Nabi s.a.w., dan ibadah ini adalah ibadah ritual yang mengharuskan imitasi

dengan apa yang dilakukan oleh Nabi s.a.w. Dan itu juga yang dilakuan oleh para sahabat sepeninggalan Nabi s.a.w. serta ulama-ulama Islam sampai saat ini.

Redak hamdallah; pujian kepada Allah, tidak bisa diganti dengan kalimat lain yang mungkin punya makna mirip, seperti Syukr lillah (الشُّكْرُ) atau juga al-Tsana’u lill (الثَّناءُ), atau juga dengan kalimat al-Madh (المَدْحُ).

Tapi ulama membolehkan redaksi hamd itu dengan penyebutan yang berbeda-beda yang penting masih dengna kalimat Hamd itu sendiri. Karena khutbah tetap sah dengan hamdallah:

Hamdullah, Ahmadullah, lillahil-Hamd, Allahu Ahmad.

Begitu juga dengan lafadz al-Jalalah (Allah) yang disebutkan itu tidak bisa diganti dengan nama-Nya dalam Asmaul-Husna. Lafdz al-jalalah harus diucapkan dengan redaksi Allah. Tidak bisa diganti dengan al-Rahman, atau al-Rahim.

Berbeda dengan Hamdallah, shalawat kepada Nabi s.a.w. tidak sebegitu ketat dalam redkasinya, walaupun juga tetap diwajibkan dengan redaksi yang shalah. Kata Imam al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj (1/550):

Tidak diharuskan bershalwat dengan redaksi: “allahumma shalli ‘ala Muhammad”. Boleh juga dengan “Ushalli” atau “Nushalli ‘ala Muhammad”, atau “ahmadu”. (dan untuk Muhammad-nya), boleh dengan kalimat “al-Rasul”, atau “al-Nabiy”, atau “al-Mahi”, atau juga “al-‘Aqib”, juga “al-Hasyir”, “al-Nasyir”, dan juga “al-Nadzir”.

Akan tetapi jauh lebih baik mengucapkan dengan redaksi yang sudah biasa diucapkan oleh para guru, kiyai dan juga ulama setempat agar tidak menimbulkan fitnah bagi jemaah yang mendengarkan.

Wasiat Taqwa

Sebagaimana rukun pertama dan kedua, sebab utama wasiat masuk ke dalam rukun khautbah adalah ittiba’; yakni mengikuti apa yang datang dari Nabi s.a.w.. Selain itu juga karena meman tujuan khtubah itu sebagai nasehat sekaligus peringatan, dan ajak untuk taat kepada perintah Allah s.w.t., serta menjauhi larangan-Nya. Maka itu cukup dengan kalimat yang mengandung makna tersebut, baik panjang atau pendek. Dengan mengucap Athi’u-llah (أطِيعُوا اللَّهَ) sudah cukup sebagai wasiat taqwa.

Membaca Ayat al-Qur’an

Rukun ini; membaca ayat al-Quran, tempatnya dibebaskan; boleh di khutbah pertama atau juga di khutbah kedua. Pada intinya sepanjang khtubah itu harus ada ayat al-Quran yang dibaca. Alasannnya ya ittiba’; karena memang begitu Nabi s.a.w. mencontohkan khutbahnya ketika shalat Jumat.

Dan ayat yang tidak dibaca tidak lah diharuskan ayat tertentu, sang khathib dibebaskan memilih ayat apa saja dari al-Qur’an; baik itu ayat peringatan, ayat ancaman meninggalkan kewajiba, ayat hukum, atau juga ayat yang berisi kisah-kisah terdahulu guna diambil hikmahnya.

Walaupun diberi kebebasan untuk membaca ayat di khutbah pertama atau keduan, akan tetapi ulama-ulama al-Syafi’iyyah khususnya menganjurkan atau mensunnahkan bacaan ayat itu dilakukan di khutbah pertama.

Doa untuk Orang Mukmin di Khutbah Kedua

Redaksi doanya tidak ditentukan, yang penting ditujukan untuk orang mukmin. Bahkan jika hanya doa untuk orang yang hadir di tempat jumatan itu saja juga dibolehkan, seperti dengan kalimat: (رَحِمَكُمْ اللَّهُ) rahimakumullah.

Akan tetapi dianjurkan doa kebaikan akhirat seperti doa meminta ampun atas dosa dengan kalimat: allahumma-ghfir lil-mukminin (اللهم اغفر للمؤمنين)

Imam ‘Izzuddin bin Abdil-Salam dari kalangan ulama al-Syafi’iyyah, menganjurkan untuk mendoakan untuk para pemimpin kaum muslim agar tetap dalam jalur ketaatan kepada Allah, dan memohon agar mereka slelau diberi pertolongan oleh Allah dalam kebenaran, serta mengakkan keadilan dan kebaikan-kebaikan lainnya. Ini juga yang disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’.

Sumber:
Ahmad Zarkasih, Lc., Rukun & Syarat Sah Khubah Jumat, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020.

Baca Juga: