Melakukan salat jenazah untuk orang yang jasadnya hilang atau tidak ditemukan adalah ibadah yang masyruk.
Syaratnya adalah adanya keyakinan menurut kelaziman alam bahwa orang tersebut sudah benar-benar wafat, seperti terkubur puluhan meter di bawah longsoran atau hanyut di laut selama berharihari.
Dalilnya adalah keumuman praktek Nabi yang menyalatkan jenazah setiap muslim yang meninggal. Dalam sebuah hadis disebutkan:
Dari Salamah ibn al-Akwa’ ra. (diriwayatkan bahwa) ia berkata. Kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Tiba-tiba dihadapkan kepada beliau satu jenazah. Mereka mengatakan kepada Rasulullah: wahai Rasulullah, salatkanlah ia. Rasulullah bertanya: apakah orang ini punya hutang? Mereka berkata: Tidak. Kemudian beliau bertanya kembali: apakah dia meninggalkan sesuatu? Mereka menjawab: Tidak. Akhirnya beliau menyalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada beliau, lalu orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, salatilah jenazah ini. Maka beliau bertanya: Apakah orang ini punya hutang? Dijawab: Ya. Kemudian beliau bertanya kembali: Apakah dia meninggalkan sesuatu? Mereka menjawab: Ada, sebanyak tiga dinar. Maka beliau bersabda:. Berkata, Abu Qatadah: Salatilah wahai Rasulullah, nanti hutangnya aku yg menanggungnya. Maka Beliau menyalatkan jenazah itu [HR. al-Bukhāri].
Selain itu ini dapat pula diqiyaskan kepada praktek salat gaib (salat yang jenazahnya tidak di hadapan). Rasulullah Saw. pernah melakukan salat gaib untuk wafatnya raja Najasyi Ethiopia.
Dari Abu Hurairah (ia berkata) bahwa Rasulullah Saw. mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat salat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali [HR. al-Bukhāri].
Referensi:
Berita Resmi Muhammadiyah : Tanfidz Keputusan Munas Tarjih XXIX Fikih Kebencanaan dan Tuntunan Shalat