Menu Tutup

Sebab-sebab Terjadi Batalnya Perkawinan

Di samping terjadi karena dua syarat-syarat tersebut di atas, maka ada beberapa hal yang menyebabkan juga terjadinya batal perkawinan yaitu sebgaai berikut :

Karena cacat atau penyakit.[1]

Yang dimakssud dengan cacat di sini adalah cacat jasmani dan cacat rohani yang tidak dapat dihilangkan atau dapat dihilangkan tetapi dalam waktu yang lama. Berkaitan hal ini, Rasulullah saw bersabda :

Artinya :

Dari ka’ab bin zaid r.a bahwa Rasulullah saw pernah menikahi seorang perempuan Bani Gifa. Maka, tatkala bagaimana akan bersetubuh dan perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk di atas pelaminan, terlihatlah putih (balak) di almbungnya, lalu beliau berpaling seraya berkata : ambillah kainmu, tutuplah badanmu, dan belaiu tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan. (H.R Ahmad dan Baihaqi)

Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang menjadikan cacat sebagai alas an untuk memfasakh perkawinan. Imam ibnu hazm berpendapat tidak membolehkan cacat sebagai alasan untuk memfasakh perkawinan,[2] sedang kebanyakan para ahli fikih membolehkan cacat sebagai alasan untuk bercerai tetapi mereka berbeda pendapat tentang macam-macam cacat yang dapat dijadikan alasan itu.[3]

Sahabat ali bin abi thalib dan umar ibn khattab menetapkan empat macam penyakit yang dapat dijadikan alasan untuk memfasakh perkawinan yaitu lemah syahwat, gila, penyakit menular, dan penyakit sopak. Demikian pula imam hanafi, syafi’I, dan malik menyebutkan pula beberapa cacat yang dapat dijadikan alasan untuk fasakh.[4]

Menurut ibnu qayyim : cacat yang dapat memfasakhkan perkawinan adalah semua cacat yang menyebabkan suami isteri saling menjauhi, tidak dapat mewujudkan tujuan perkawinan, tidak ada rasa kasih saying dan saling mencintai, dapat dijadikan alasan untuk memilih apakah ia akan tetap melangungkan perkawinannya atau bercerai.[5]

Menurut undang-undang Mesir No. 25 Tahun 1920 :

Pasal : 9 pihak isteri tidak boleh mengajukan tuntutan perceraian anataranya dan antara suaminya apabila suaminya mempunyai cacat yang tetap yang tidak mungkin disembuhkan atau mungkin dapat sembuh sesudah waktu yang lama, dan tidak mngkin ia bergaul dengan suaminya kecuali dalam kesengsaraan, seperti penyakit gula, kusta, sopak, apakah cacat ada sebelum perkawinan dan tidak diketahui oleh isteri atau cacat itu adanya setelah perkawinan, sedang pihak isteri tidak menyukainya. Maka jika isteri mengetahui cacat suami di waktu perkwaninan atau terjadi cacat setelah akad nikah sedangkan pihak isteri merelakannya baik secara langsung atau tidak setelah mengetahuinya, maka cacat tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk bercerai.

Pasal : 10 perceraian karena alasan cacat dihukum talak ba’in.

Menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974, apabila aib itu datangnya setelah akad nikah, dan telah diketahui oleh pihak yang lain, maka aib itu dapat dijadikan alasan untuk bercerai. Bila aib itu telah ada setelah akad nikah dan pihak yang lain telah tahu pula sedang ia tidak mengajukan gugatan kepada hakim, maka dapat dianggap bahwa diamnnya itu merupakan tanda persetujuan dan kerelaan daripadanya.

Suami tidak memberi nafkah.[6]

Akad nikah antara suami isteri menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak yang satu terhadap ppihak yang lain di anatara kewajiban-kewajiban itu termasuk kewajiban suami memeberi nafkah kepada isterinya. Suami yang berkewjiban memeberi nafkah itu adakalanya ia seorang yang mampu dan adakalanya ia seorang yang tidak mampu.

Pada asasnya apabila suami tidak membayar nafkah kepada isterinya, maka pihak isteri boleh mengajukan gugatan untuk bercerai dengan suaminya kepada pengadilan.

Dalam hal suami yang tidak member nafkah isterinya, tetapi ia mempunyai harta yang disimpan oleh isterinya, maka isteri nya tidak berhak mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan, karena pihak isteri dibolehkan agama mengambil harta suaminya yang ada padanya sekedar keperluan nafkahnyadan anak-anaknya, sesuai tindakan rasulullah saw terhadap abu sufyan yang tidak member nafkah isterinya hindun dan anaknya.

Para ahli fikih selain golongan hanafiayah dan ahli zhahiri membagi suami yang tidak memberi nafkah isterinya kepada tiga macam yaitu suami yang hadir dan mampu, suami yang hadir dan tidak mampu, dan sumi yang ghaib.

Apabila suami yang tidak bersedia member nafkah isteri itu ada dan ia mampu, menurut pendapat imam syafi’I pihak isteri tidak berhak mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan, hakim hanya dapat memerinthakn agar suami melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada isterinya.menurut imam malik dan imam ahmad isteri mempunyai hak untuk mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan.

Apabila suami ada dan ia tidak mampu, menurut pendapat abu hurairah said bin musa dan asy-syafi’I pihak isteri boleh memilih antara bersabar sambil menunggu suami menjadi mampu atau menuntut agar hakim memberikan keputusan perceraian. Selanjutnya golongan ini mengatakan apabila hakim boleh memutuskan dengan alasan cacat tentu saja alasan tidak mampu member nafkah lebih dapat dipertanggungjawabkan karena ertaa hubungannya dengan kelangsungan hidup rumah tangga.

Mengenai suami yang ghaib menurut pendapat imam malik dan imam ahmad, sama hukumnya dengan suami yang hadir, sedangkan menurut syafi’I pihak isteri tidak berhak mengajukan tuntutan perceraian kepada pengadilan selama belum terbukti tentang ketidak mampuann suami yang ghaib itu member nafkah isterinya.

  1. Meninggalkan tempat kediaman bersama.[7]

Ahli fikih berbeda pendapat tentang pihak isteri mengajukan tuntutan bercerai kepada hakim dengan alasan suami nya meninggalkan tempat kediaman bersama yang berakibat menimbulkan kemudharatan baginya.

Menurut imam abu hanifah dan imam syafi’I tindakan suami meninggalkan tempat kediaman bersamaitu tidak dapat dijadikan alasan ntuk mengajukan tuntutan perceraian kepada hakim karena tidak mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Imam malik dan imam ahmad membolehkan untuk menjadikan tindakan suami itu sebagai alasan untuk bercerai, sekalipun suami meninggalkan harta yang dpat dijadikan nafkah oleh suaminya. Dasrnya adalah bahwa di samping nafkah isteri juga berhak mendapatkan pergaulan yang baik dari suaminya, hidup dalam rumah tangga yang diliputi kasih saying dan sebagainya.

Menurut undang-undang Mesir No. 25 Tahun 1929

Pasal : 12 apabila suami meninggalkan isterinya setahun atau lebih tanpa alasan yang dapat dieterima, isteri dengan alasan tersebut boleh mengajukan tuntutan untuk bercerai kepada pengadilan, jika ia merasa dirugikan sepeninggal suami itu, walaupun ada padanya harta suami yang dapat dijadikan sebagai pembayar nafkahnya.

Pasal : 13 jika ada kemungkinan sampai suart kepada suami yang meninggalkan isterinya, hakim mengirim surat kepadanya dan menetapkan waktu tertentu, menyatakan bahwa hakim akan member keputusan perceraian apabila suami tidak kembali menggauli isterinya atau membawa isteri pindah bersamanya, atau mentalaknya. Apabila waktu yang ditentukan telah habis sedang suami tidak menentukan sikapnya dan tidak mengemukakan alasannya yang dapat diterima, hakim member keputusan perceraian antara kleduanya dengan talak bain. Dan jika tidak mungkin surat sampai kepada suami yang meninggalkan isterinya itu hakim member keputusan perceraian tanpa mengemukakan alasan dan memberikan keputusan waktu kepada suami.

Menganiaya berat.[8]

Allah memerintahkan agar suami isteri masing-masing menggauli pihak yang lain secara baik, atau seandainya tidak sanggup menegakkan hukum allah yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri, sebaiknya mereka bercerai secara baik pula.

Friman allah swt dalam surat al-baqrah ayat 229 :

Artinya :

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.(al-Baqarah : 229)

Suami tak mampu bayar mahar.[9]

Bila suami tak mampu memenuhi hak isteri, maka adalah pantas kalau isteri berhak untuk melepaskan diri dari suami yang tak mampu itu, lalu jika isteri boleh menuntut fasakh kepada hakim bila suami tak mampu member nafkah yang merupakan haknya, maka demikian pula isteri boleh menuntut fasakh kalau suami tak mampu membayar mahar yang juga merupakan haknya, namun variasi pendapat mengenai ini sama dengan pada pendapat dalam hal suami tak mampu membayar nafkah.

[1] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan,  (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), h. 212

[2] Ibnu rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Jil 2 (Dar al-‘Aqidah, 2004), h. 59

[3] Ibid, h. 59

[4] Ibid, h. 60

[5] Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, Jil. 4, h. 43

[6] Ibnu rusyd, Op.,Cit, h. 61 lihat juga Kamal Mukhtar, Op.,Cit, h. 216, lihat juga Nazar Bakry, Fiqh Keluarga Muslim, (Padang : t.p, 1999), h. 111

[7] Kamal Mukhtar, Op.,Cit, h. 219

[8]  Ibid, h. 220

[9] Nazar Bakry, Fiqh Keluarga Muslim, (Padang : t.p, 1999), h.113

Baca Juga: