Menu Tutup

Sejarah Daulah Umayah 1 di Syiria, Pembentukan Hingga Keruntuhannya

1.   Pembentukan Pemerintahan

Setelah khalifah Ali meninggal dunia bulan Ramadhan 40 H, penduduk Kufah mengangkat putranya, Hasan menjadi khalifah mereka walaupun sebenarnya dia tidak berbakat menjadi khalifah karena lebih suka hidup bersenang-senang dan kawin dengan banyak wanita. Pernah juga dia menantang Muawiyah dengan mengirim 12.000 orang pasukan untuk menyerang Muawiyah. Akan tetapi pasukannya kalah dan dia mengajak Muawiyah berdamai.

Sementara itu, penduduk Syam pun telah mengangkat Muawiyah menjadi khalifah mereka semenjak peristiwa tahkim. Berbeda dengan Hasan, dia didukung oleh tentaratentara militan yang keperluan finansial mereka ditanggung Muawiyah, apalagi tanah Syam yang kaya raya mendukung Muawiyah untuk hal itu.

Nama lengkapnya Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb bin Umayah bin Abd al-Syams bin Abd Manaf bin Qushai. Ibunya Hindun binti Utbah bin Rabiah bin Abd al-Syams. Muawiyah dilahirkan di Makkah lima tahun sebelum kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan masuk Islam bersama ayahnya Abu Sofyan) saudaranya (Yazid) dan ibunya (Hindun) pada waktu penaklukan kota Makkah.[1]

Muawiyah adalah salah seorang yang ahli dan paling menguasai dunia politik, cerdik, ahli siasat, penguasa yang kuat dan bagus planingnya dalam urusan pemerintahan. Maka tidak mengherankan jika dia dapat menjadi gubernur selama dua puluh dua tahun (pada masa khalifah Umar dan Usman, 13-35 H.)dan menjadi khalifah selama dua puluh tahun (40-60 H).

Sementara Hasan, nama lengkapnya adalah Hasan bin Ali bin Abi Thalib bin Abd al-Muththtalib. Dia dilahirkan di Madinah tahun ketiga hijrah, cucu Nabi dari putrinya Fatimah. Namanya diberikan oleh kakeknya Rasulullah dan Nabi sangat mencintai cucunya itu. “Hasan dan Husein memberi rasa harum bagiku di dunia” kata Nabi Muhammad s.a.w.[2]

Hasan ikut dalam ekspedisi penaklukan ke Afrika Utara dan Tabaristan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Ikut melindungi Khalifah dari serangan pemberontak dan ikut dalam perang Jamal dan Shiffin bersama ayahnya. Hasan meninggal dunia di Madinah pada tahun 49 H. karena diracun oleh salah seorang isterinya. Munurut orang Syi’ah, sudah berulang kali suruhan Muawiyah hendak meracun Hasan agar Muawiyah terbebas dari membayar kompensasi yang dipikulnya terus menerus setiap tahun.[3]

Dengan demikian, dunia Islam sepeninggal khalifah Ali terdapat dua khalifah, yaitu di Kufah dan Syam, suatu hal yang tidak perlu terjadi apabila dikaitkan dengan perlunya menciptakan persatuan di kalangan umat Islam. Maka tawaran Hasan untuk berdamai merupakan suatu hal yang tepat untuk mengatasi masalah itu. Itulah sebabnya waktu Hasan mengajak Muawiyah berdamai langsung diterima Muawiyah karena dia sangat berambisi menjadi khalifah. Walaupun Hasan mengajukan beberapa syarat, bagi Muawiyah hal itu tidak ada persoalan, asalkan jabatan khalifah diserahkan Hasan bin Ali kepadanya. Adapun syaratsyaratnya, yaitu:

  1. Hasan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah dengan syarat, Muawiyah berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta sirah (prilaku) khalifah-khalifah yang saleh.
  2. Agar Muawiyah tidak mengangkat seseorang menjadi putera mahkota sepeninggalnya dan urusan kekhalifahan diserahkan kepada orang banyak untuk memilihnya.
  3. Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk Irak, menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan mereka.
  4. Agar pajak tanah negeri Ahwaz di Persia diperuntukkan kepada Hasan dan diberikan setiap tahun.
  5. Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya Husein sebanyak 5 juta dirham dari Baitul Mal.
  6. Agar Muawiyah datang secara langsung ke Kufah untuk menerima penyerahan jabatan khalifah dari Hasan dan mendapat baiat dari penduduk Kufah.4

116 M. Jamaluddin Surur, Al-hayat al-Siyasiyah fi al-Daulah al-Arabiyah alIslamiyah (Kairo: Dar al-Fikri al-‘Araby, 1975), h. 91.

Pada waktu pendukung Hasan mengecam penyerahan kekuasaan kepada Muawiyah, hal itu dijawab Hasan bahwa dia tidak rela menyaksikan umat Islam saling membunuh untuk memperebutkan kekuasaan dan dia berkata: “inti kekuasaan bangsa Arab saat ini ada di tanganku, jika aku ingin damai mereka siap berdamai, jika aku ingin perang mereka siap berperang”.[4]

Selain itu, Hasan sadar bahwa ayahnya Ali dahulu pun banyak mengalami  kesulitan menghadapi Muawiyah dan tidak dapat diatasi ayahnya, apalagi dia. Oleh sebab itu dia ingin mencari jalan selamat bagi dirinya dan keluarganya karena kekuatan yang dimilikinya tidak mampu menghadapi tekanan-tekanan Muawiyah.

Muawiyah menyetujui syarat-syarat yang diajukan Hasan. Untuk itu dia datang ke Kufah menerima bai’at jabatan khalifah dari Hasan dan penduduk Kufah. Tahun itu (661 M/41 H) disebut “Tahun Persatuan”, karena umat Islam telah bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah.

Setelah itu Hasan pindah ke Madinah dan hidup tenang di sana sampai meninggal tahun 675 M/ 49 H., lima belas tahun setelah penyerahan jabatan kekhalifahan itu. Untuk mempertahankan jabatan khalifah tetap di tangan Bani Umaiyah, Muawiyah menciptakan sistem Monarchi dalam pemerintahannya. Walaupun untuk itu dia telah melanggar janjinya dengan Hasan bin Ali.

Daulah yang didirikan oleh Muawiyah ini, disebut dengan daulah Umaiyah, diambil dari nama Umaiyah bin

Abd. Syams, Datuk Muawiyah (lihat silsilah), daulah ini berkuasa selama kurang lebih 90 tahun (40-132 H/661-750 M) diperintahkan oleh 14 orang khalifah. Masa perintahan khalifah-khalifah itu dapat dibagi atas tiga periode, yaitu masa pertumbuhan, masa puncak dan masa kemunduran dan faktor-faktornya.

2.    Pertumbuhan Pemerintahan (661 – 680 M)

Pada masa pertumbuhan ini mencakup masa pemerintahan Muawiyah (661 – 680 M/40-60 H), Yazid bin Muawiyah (680 – 683 M/61-63 H), Muawiyah bin Yazid (683 M/63 H) dan Marwan bin Hakam (684 – 685 M/64-65H).

2.1. Muawiyah (661 – 680 M/40-60 H)

Muawiyah sebagai khalifah pertama melakukan pemindahan ibu kota negara dari Kufah (pusat kekuasaan Ali) ke Damaskus karena dia sudah 22 tahun menjadi gubernur di daerah ini. Selain itu dia mempunyai pendukung yang dapat diandalkan di sana, sedangkan di Kufah hanya terdapat pendukung Ali yang beraliran Syi’ah.

Selain itu Muawiyah untuk pertama kali dalam pemerintahan Islam mempergunakan tenaga Body-Guard (pengalaman pribadi) untuk alasan keamanan, juga Muawiyah membangun tempat khusus untuk dirinya di dalam mesjid yang disebut dengan Maqsurah.

Muawiyah juga memperkuat pemerintahan dengan mengembangkan armada angkatan laut sehingga ketika itu dia telah memiliki 1.700 buah kapal. Dia pernah menyerahkan angkatan laut itu di bawah pimpinan puteranya Yazid untuk merebut Konstantinopel (668 – 669 M). Akan tetapi usaha ini gagal karena pertahanan kota tersebut sangat kokoh. Akibatnya banyak yang menderita korban jiwa dan kapal, sekaligus karena pihak musuh tetap dapat menggunakan “Bom Yunani”.[5]

Menjelang wafatnya dia mengangkat puteranya Yazid sebagai putera mahkota yang mendapat dukungan dari para gubernurnya, tetapi dia mendapat tantangan dari para tokoh sahabat di Madinah, antara lain Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Zubeir, karena hal itu bertentangan dengan janjinya pada Hasan dahulu.

Al-Mughiroh bin Syu’bah adalah orang pertama yang mengusulkan kepada Muawiyah agar mengangkat anaknya Yazid menjadi khalifah sepeninggalnya. Karena dia akan dipecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Kufah, maka dia pergi ke Syam menemui Yazid bin Muawiyah dan mengatakan: bahwa sesungguhnya para sahabat pilihan Nabi telah berpulang ke rahmatullah demikian juga para pembesar Quraisy yang berpengaruh, sekarang tingga para puteranya, sedangkan engkau adalah yang paling utama di antara mereka, saya tidak mengerti mengapa Amirul Mukminin tidak mengangkat engkau menjadi khalifah sesudahnya.[6]

Muawiyah yang diberitahu anaknya Yazid  tentang pemikiran al-Mughiroh itu memanggil al-Mughiroh untuk menanyakan kebenaran pemikirannya itu. Maka al-Mughiroh menjawab: Ya Amirul Mukminin sesungguhnya saya telah menyaksikan pertumpahan darah sepeninggal Utsman maka alangkah baiknya bila engkau mewariskan kekhalifahan itu kepada Yazid, sungguh Yazid lebih berhak menjadi khalifah sesudahmu nanti.

Akhirnya, al-Mughiroh tidak jadi dipecat Muawiyah, malahan disuruh untuk mempersiapkan bai’at bagi penobatan Yazid menjadi putera mahkota. Missi al-Mughiroh berhasil dan dapat menggalang penduduk Kufah untuk mendukung Yazid menjadi putera mahkota sepeninggal Muawiyah nanti.[7]

Pemikiran al-Mughiroh itu diterima Muawiyah, dengan menunjuk puteranya Yazid menjadi khalifah sepeninggalnya, karena dia berkeinginan agar umat Islam tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran karena memperebutkan jabatan khalifah. Sebab, belum lama lagi umat Islam berperang sesamanya dalam Perang Jamal, Perang Shiffin dan mereka belum dapat melupakan malapetaka tersebut disebabkan adanya keinginan orang-orang tertentu menduduki jabatan khalifah.[8]

Oleh sebab itu Muawiyah mengirim surat kepada Gubernur Madinah Marwan bin al-Hakam, sebagai berikut: “Aku ini telah lanjut usia, tulangku telah lemah, aku khawatir akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam sepeninggalku. Dan aku berpendapat kini sebaiknya aku memilih untuk umat seseorang yang akan menjadi khalifah mereka sesudahku..”[9]

Keinginan Muawiyah itu mendapat sokongan dari para gubernurnya, kecuali Ziyad, gubernur Basrah yang menganjurkan kepada Muawiyah agar tidak tergesa-gesa melaksanakan cita-citanya itu. Tetapi setelah Ziyad meninggal, Muawiyah mendapat dukungan dari anaknya Ubaidillah bin Ziyad yang menggantikan ayahnya. Hal ini berarti keinginan Muawiyah itu mendapat sokongan penuh dari kalangan Bani Umaiyah, tetapi ditentang oleh keturunan Bani Hasyim.

Tantangan keras datang dari Abdurrahman bin Abi Bakar, dengan tegas dia berkata “…kamu hendak menjadikan khalifah itu sebagai ‘Heracliusisme’, bila seorang Heraclius meninggal dunia maka digantikan oleh Heraclius yang lain…” Sikap Abdurrahman itu mendapat sokongan dari pemimpinpemimpin lainnya di Madinah seperti Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubeir, dan lain-lainnya.

Tantangan dari Bani Hasyim dan sahabat-sahabat yang tinggal di Madinah dihadapi Muawiyah dengan tangan besi. Dia datang ke sana dan mengumpulkan rakyat dan sahabatsahabat tersebut di masjid. Muawiyah mngancam, siapa yang berani memotong pembicaraannya, algojo telah siap memenggal lehernya. Dalam pidatonya disebutkan bahwa tokoh-tokoh kalian telah setuju mengangkat Yazid sebagai khalifah sepeninggalku, apakah kalian setuju? Disambut rakyat dengan suara bulat, setuju.

Dengan demikian Muawiyah yang sudah berkuasa selama dua puluh  tahun telah mendapat persetujuan dari seluruh wilayah untuk mengangkat putranya Yazid sebagai khalifah sepeninggalnya. Hal itu berarti telah merubah wajah pemerintahan Islam dari system demokrasi menjadi monarchi dengan mendudukkan Bani Umaiyah di semua jabatanjabatan penting Negara.

Khalifah Usman pun telah melakukan hal tersebut sebelumnya, bedanya, pada masa khalifah Usman penuh dengan protes dari masyarakat, sementara di masa khalifah Muawiyah tidak seorang pun yang berani memprotes walaupun rakyat tidak sepenuhnya setuju dengan tindakan Muawiyah tersebut.

Dalam keadaan seperti ini, andaikan dari kalangan

Bani Hasyim ada yang diangkat menjadi khalifah , Husein misalnya, maka dapat diperhitungkan bila dia memecat para pejabat yang diangkat Muawiyah, seperti khalifah Ali memecat gubernur yang diangkat Usman sebelumnya, maka dikhawatirkan akan terjadi perang yang lebih dahsyat dari perang Jamal, dan perang Shiffin.

Selain itu, dari segi politik jika Bani Hasyim memprotes Muawiyah mengangkat anaknya Yazid sebagai khalifah sepeninggalnya, mengapa mereka tidak memprotes orang yang mengangkat Hasan sebagai khalifah menggantikan Ali? Bukankah itu masih dalam sistem turuntemurun juga. Hal ini berarti Bani Hasyim tidak setuju dengan sistem pemerintahan monarchi untuk Bani Umaiyah dan menyetujui untuk Ali bin Abi Thalib.

Kalau begitu, esensi masalah pada saat itu bukan terletak pada sikap Muawiyah yang membentuk pemerintahan daulah dengan sistem Monarchi, akan tetapi lebih disebabkan persaingan sengit antara Bani Hasyim dan Bani Umaiyah. Terbukti setelah Bani Hasyim tidak dapat membendung keinginan Muawiyah membentuk Daulah Umaiyah, Bani Hasyim melakukan hal yang sama secara turun-temurun.

Masalah berikutnya andaikata Muawiyah tidak menunjuk anaknya Yazid menjadi khalifah sesudahnya, adakah yang sanggup memegang jabatan khalifah, selain Bani Umaiyah. Orang yang mampu mengendalikan pemerintahan Islam tanpa pertumpahan darah. Husein misalnya, tidak mempunyai kaki tangan yang kuat untuk menegakkan pemerintahan. Hal yang sama terjadi juga pada diri Abdullah bin Zubeir. Dengan demikian yang benar-benar ada persiapan matang dan terbaik melanjutkan pemerintahan adalah orangorang Bani Umaiyah, khususnya para gubernur yang telah berpengalaman dalam pemerintahan.

Oleh sebab itu, tindakan Muawiyah membentuk daulah tidak sepenuhnya dapat disalahkan, jika dikaitkan dengan kondisi riil pemerintahan Islam pada saat itu, agar kaum Muslimin terhindar dari pertumpahan darah karena memperebutkan jabatan khalifah.

Andaikata Muawiyah tidak menunjuk anaknya Yazid menjadi khalifah sesudahnya, adakah yang sanggup memegang jabatan khalifah, selain Bani Umaiyah. Dia mampu mengendalikan pemerintahan Islam tanpa pertumpahan darah. Husein misalnya, tidak mempunyai kaki tangan yang kuat untuk menegakkan pemerintahan. Hal yang sama terjadi juga pada diri Abdullah bin Zubeir.

Dengan demikian yang benar-benar sudah ada persiapan yang matang dan terbaik melanjutkan pemerintahan saat itu adalah orang-orang Bani Umaiyah, khususnya para gubernur yang telah berpengalaman dalam pemerintahan.

Oleh sebab itu, tindakan Muawiyah membentuk daulah Umaiyah tidak sepenuhnya dapat disalahkan, jika dikaitkan dengan kondisi riil pemerintahan Islam pada saat itu, agar kaum Muslimin terhindar dari pertumpahan darah karena memperebutkan jabatan khalifah.

Muawiyah telah dipandang sukses membentuk sebuah pemerintahan Daulah Umaiyah di Syam yang telah memerintah di sana, dua puluh dua tahun menjadi Gubernur dan dua puluh tahun menjadi Khalifah. Pemerintahannya terkesan sebagai pemerintahahan sistem kerajaan dan tidak sistem republik seperti yang telah dikenal sebelumnya. Sistem kerajaan yang dibentuknya menjadi sistem pemerintahan dunia Islam selama berabad-abad sesudahnya sampai 1924 ketika Mustafa Kemal menjatuhkan Kerajaan Turki Usmani.

2.2. Yazid ibn Muawiyah (680 – 683 M/61-63 H)

Masa pemerintahan Muawiyah digantikan oleh anaknya Yazid yang memerintah hanya selama tiga tahun (6163 H), akan tetapi karena mendapat perlawanan dari penduduk Kufah, Bashrah, dan penduduk serta sahabatsahabat di Madinah terutama di Makkah Abdullah bin Zubeir memberontak, maka pemerintahannya dihadapkan kepada kerusuhan-kerusuhan.

Tahun pertama, dia membunuh Husein bin Ali di Karbela. Saat itu Penduduk Kufah mengundang Husein bin Ali untuk datang ke Kufah dan dijanjikan akan mereka angkat menjadi khalifah. Husein memenuhi undangan itu walaupun kepergiannya ke Kufah dicegah beberapa sahabat, tetapi Husein tetap berangkat dengan dikawal sekitar 200 orang, termasuk keluarganya.

Mendengar kedatangannya ke Kufah maka Yazid memerintahkan Gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad untuk mencegat Husein. Ubaidillah bersama 4000 tentaranya mencegat Husein di Karbela (25 mil Barat Laut Kufah), dan mereka membunuh Husein dan rombongannya. Kepala Husein mereka penggal dan dikirim kepada khalifah Yazid di Syam, sementara badannya mereka kuburkan di Karbela. Demi mendapat kepala Husein ternyata Yazid sangat menyayangkan kejadian itu dan mengutuk Ubaidillah bin Ziyad.

Peristiwa itu terjadi 10 Oktober 680 atau 10 Muharam 61 H. sampai kini hari pembunuhan itu diperingati kaum Syi’ah sebagai hari “Tragedi Karbela”. Padahal ayahnya Muawiyah telah membunuh Hasan sebelumnya dengan menyuruh salah seorang isteri Hasan untuk meracunnya.

Tahun kedua, dia menjarah Madinah. Karena penduduk Madinah tidak mengakui kekhalifahan Yazid, bahkan mereka memecat gubernur yang diangkat Yazid serta mengusir gubernur tersebut bersama dengan seluruh keturunan Bani Umaiyah dari Madinah.[10] Bahkan menurut Ahmad Syalabi mereka memenjarakan semua orang-orang Bani Umaiyah yang ada di Madinah.[11] Hal itu menimbulkan kemarahan Yazid.

Oleh sebab itu, dia mengirim utusan dan meminta kepada penduduk Madinah agar mereka taat kepadanya tanpa peperangan; akan tetapi mereka menolak permintaan itu. Maka Yazid mengirim tentara ke sana dibawah pimpinan Muslim bin ‘Uqbah al-Murri, orang yang dikenal diktator dan kejam. Yazid berpesan kepadanya: “ajaklah mereka agar membai’atku dalam batas waktu tiga hari tanpa peperangan, dan jangan menyerang mereka, kecuali setelah habis batas waktu tiga hari itu”. Tetapi penduduk Madinah tetap tidak mau membai’at Yazid”. Maka Muslim menyerang mereka dari jurusan al-Harrah.[12]

Sayangnya, selama tiga hari, Muslim membolehkan para pasukan tentaranya melakukan tindakan brutal untuk berbuat saja apa yang mereka inginkan terhadap penduduk Madinah, sebagai kota suci Rasulullah, suatu hal yang tidak patut terjadi.

Tahun ketiga, dia menggempur Ka’bah. Yazid menyuruh panglimanya itu (Muslim bin Uqbah) agar melanjutkan penyerangannya ke Makkah untuk menaklukkan kota suci itu seperti yang telah dia lakukan untuk kota Madinah. Sebab disana  Abdullah bin Zubeir mengangkat dirinya sebagai khalifah dan diakui seluruh penduduk Hijaz.

Di tengah jalan dia meninggal dan digantikan oleh Husein bin Namir. Panglima baru ini mengepung Makkah, menembaki Masjidil Haram, merusak Ka’bah dan memecahkan Hajral Aswad. Dalam pada itu diberitakan bahwa Yazid meninggal dunia, Husein menghentikan serangan dan kembali Syam.[13]

Yazid meninggal secara mendadak tanpa diketahui yang menjadi penyebabnya pemerintahannya digantikan oleh anaknya Muawiyah II bin Yazid, sebagai pengganti dia hanya memerintah selama 3 bulan dan sakit-sakitan, karena tidak mampu mengendalikan pemerintahan, dia mengundurkan diri. Tidak ada pengganti lagi dari keturunan mereka. Dengan demikian berakhirlah masa pemerintahan Bani Umaiyah dari Abu Sofyan dan beralih ke keturunan al-Hakam Abu Ash’ bin Umaiyah yaitu Marwan bin Hakam.

2.3. Marwan bin Hakam (684 – 685 M/64-65H)

Marwan bin Hakam menggantikan Muawiyah II sebagai Khalifah, dia bekas sekretaris Utsman bin Affan, dan menjadi gubernur Madinah pada masa Muawiyah, kini dia menjadi khalifah menggantikan Muawiyah II.

Pada saat dia diangkat menjadi Khalifah sudah ada tantangan dari Abdullah bin Zubeir yang pada masa itu sudah sejak khalifah Yazid memberontak dan telah mendapat pengakuan dari penduduk Hijaz, Kufah, Basrah dan sebagian penduduk Syam. Demikian juga dari kalangan Arab Utara di Syam telah ikut mengakui Abdullah bin Zubeir menjadi Khalifah, sementara Arab Selatan berpihak kepada Marwan bin Hakam.

Dalam menghadapi tantangan di atas Marwan hanya dapat mengalahkan Arab Utara dan mereka menyatakan tunduk kepadanya, dan juga dia meneruskan serangan ke Mesir, penduduk Mesir pun menyatakan sumpah setia kepadanya. Akan tetapi sebelum dapat mengalahkan penduduk Hijaz dia wafat pada bulan Ramadhan 63 H dan hanya memerintah selama satu tahun. Sebelumnya, dia telah membujuk anaknya Abdul Malik sebagai penggantinya.

3. Masa Kejayaan Pemerintahan dan Perkembangan Ilmu (685 – 715)

Masa puncak pemerintahan daulah Umaiyah berlangsung selama 30 tahun (685 – 715 M), yaitu Abdul Malik bin Marwan (685 – 705 M) dan puteranya Walid bin Abd. Malik (705 – 715 M).

3.1. Abdul Malik bin Marwan (685 – 705 M)

Abdul Malik yang menggantikan ayahnya Marwan sebagai Khalifah adalah sebagai khalifah terbesar kedua sesudah Muawiyah  dalam pemerintahan daulah Umaiyah, karena dia berhasil memadamkan banyak pemberontakan dan menata administrasi pemerintahan, serta kemampuannya dalam mengendalikan berbagai urusan sehingga dia berhasil membebaskan daulah Umaiyah dari carut marut yang merongrong daulah itu dan menggantinya dengan keagungan yang mempesona.[14]

Abdul Malik lahir di Madinah pada tahun 26 H, pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Dia dikenal sebagai orang yang hafal al-Qur’an, dia juga adalah seorang ilmuwan ahli fiqih, tafsir dan hadits di Madinah yang berguru pada ulama-ulama Hijaz di Madinah.[15]

Di antara peristiwa penting yang pernah dihadapi Abdul Malik adalah pemberontakan “Amru bin Sa’id yang ingin menjadi khalifah sesudah Marwan karena dia sudah sibuk berjuang untuk memperkokoh kekuasaan Marwan, sebab dijanjikan Marwan untuk diangkat menjadi khalifah sesudahnya, tetapi Marwan menipu dia dengan mengangkat anaknya Abdul Malik sebagai putra mahkota.

Pada suatu malam Abdul Malik mengundang ’Amru agar berkunjung ke rumahnya. ’Amru datang dengan beberapa pengawal. Tetapi para pengawal itu ditahan seorang demi seorang di belakang pintu sampai akhirnya ’Amru tiba di ruangan Abdul Malik dia hanya seorang saja dan tidak ada lagi orang lain bersamanya. Waktu itulah Abdul Malik membunuhnya.[16]

Abdullah bin Zubeir telah memberontak di Hijaz sejak masa khalifah Yazid bin Muawiyah, tetapi Abdul Malik yakin dapat menghadapi pemberontakan Abdullah bin Zubeir tersebut, karena dia pernah berkata: Aku tidak mengatahui ada orang lain yang lebih kuat dariku, Ibn Zubeir memang lama sembahyangnya, banyak puasanya, tetapi sifat bakhilnya menyebabkan dia tidak pantas menjadi pemimpin.

Untuk menghadapi pemberontakan Abdullah bin Zibeir, Abdul Malik mengirim Hajjaj bin Yusuf -seorang panglima besar yang amat ditakuti karena keberingasannyauntuk memadamkan pemberontakannya di Makkah.

Hajjaj mengepung Makkah selama 6,5 bulan.

Sementara itu Abdullah bin Zubeir berjuang gagah berani, namun pasukannya kalah dan dia terbunuh. Kemudian Abdul Malik mengangkat  Hajjaj menjadi Gubernur Hijaz untuk beberapa lama dan berhasil pula menumpas pemberontakan lainnya di Semenanjung Arabia itu.[17]

Setelah itu di Irak terjadi kekacauan maka Abdul Malik mengangkat al-Hajjaj menjadi Gubernur Irak untuk memadamkan pemberontakan penduduk Irak dan orangorang Khawarij di sana. Sesampainya di Irak al-Hajjaj menyampaikan pidato: Hai penduduk Kufah aku melihat banyak kepala yang sudah matang, dan telah tiba waktu memetiknya. Aku laksana melihat darah di antara jenggot-jenggot dan sorbansorban…Dan dia menyuruh pengawalnya membacakan surat khalifah yang ditujukan kepada penduduk Kufah tersebut. Maka pembantunya itu membacanya: Dari Abdul Malik, Amirul Mukuminin, kepada kaum Muslimin yang berada di Kufah. „Salamun’alaikum” ….. Tetapi mereka tidak menjawab. Berhenti! Kemudian al-Hajjaj menoleh mereka dan memberikan ancaman, maka pembantu itu dusuruh lagi membaca surat tersebut dan mereka menjawab salam khalifah serentak.[18]

Kemudian al-Hajjaj menuju Basrah dan melakukan hal yang sama kepada penduduk Basrah sehingga penduduk Basrah tunduk dan patuh seperti penduduk Kufah. Maka penduduk Irak semuanya tunduk kepada ancaman al-Hajjaj dan memerintahkan kepada mereka agar menggabungkan diri ke dalam pasukannya.

Kemudian al-Hajjaj mengangkat Panglimanya Muhalla bin Abi Shufrah menghadapi pemberontakan orang-orang Khawarij di Irak dan dia berhasil memukul perlawanan mereka, di bawah pimpinan Khatari bin Al-Fujjah.

Setelah pemberontakan Abdullah bin Zubeir, penduduk Irak dan kaum Khawarij  dapat ditumpas, suasana politik menjadi tenang sehingga memberikan kesempatan kepada Abdul Malik membenahi pemerintahannya.

Ada tiga hal pembenahan yang dilakukan Abdul Malik dalam pemerintahannya. Pertama menjadikan bahasa

Arab sebagai bahasa resmi di seluruh wilayah negara daulah Umaiyah. Sebelumnya, kantor pemerintahan di Syam memakai bahasa Yunani sebagai bahasa resmi, sedangkan di Mesir memakai bahasa Qibthi dan bahasa Arab hanya digunakan di Semenanjung Arabia sebagai bahasa resmi dalam administrasi negara, juga wilayah Persia dan propinsipropinsi bagian timur.

Kedua, menciptakan mata uang yang seragam di seluruh wilayah negara. Dari mata uang dinar dan dirham disatukan menjadi mata uang riyal, sampai sekarang.

Ketiga, pelayanan pos yang lebih disempurnakan dari yang selama ini ada untuk menghubungkan sebuah ibu kota dengan ibu kota lainnya di seluruh propinsi dan antara propinsi dengan negara.[19]

3.2. Walid bin Abd. Malik (705 – 715 M)

Setelah Abdul Malik memerintah selama dua puluh tahun (685-705 M) dia mengangkat anaknya al-Walid sebagai Khalifah penggantinya. Kalifah Al-Walid mewarisi stabilitas politik yang memungkinkannya dapat membangun negara. Oleh sebab itu, dia memperluas Masjid Makkah, membangun Masjid Madinah. Di Syam sebagai ibu kota negara, dia membangun sejumlah sekolah dan rumah ibadah serta membantu lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga yang menangani penderita penyakit kusta, lumpuh dan buta.

Al-Walid bin Abdul Malik melakukan perluasan wilayah di Front timur mencapai titik terjauh dengan kecemerlangan di bawah dua panglima perangnya yaitu Qutaibah bin Muslim dan Muhammad bin al-Qasim, keduanya merupakan menantu al-Hajaj. Mereka telah berhasil menguasai India bagian barat (kini Pakistan), Bukhara, Samargand, dan Sind. Akan tetapi seluruh India baru dapat ditaklukkan pada penghujung abad ke 9 oleh Muhammad Ghaznah dari Daulah Ghaznawiyah.

Penaklukkan di front barat yang dilakukan Musa bin Nushair, tidak kurang cemerlang dari front timur. Sebagai gubernur, Qairawan, dia dapat meluaskan wilayah Islam sampai ke Spanyol. Pertama, Musa mengirim Tarif bin Malik bersama 500 pasukan untuk menaklukkan Spanyol pada tahun 710 M. Kedua, Musa mengirim Tariq bin Ziyad bersama 12.000 pasukan pada tahun 711 M. Ketiga, Musa berangkat ikut serta menaklukkan Spanyol pada tahun 712 M. Proses penaklukkan Spanyol akan diuraikan lebih lanjut dalam bab pembahasan Islam di Spanyol.

3.3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban

Bangsa Arab tidak membawa tradisi ilmu pengetahuan dan warisan kebudayaan ke negeri-negeri yang ditaklukkannya. Jelasnya mereka tidak berwatak pencinta ilmu dan tidak pula memiliki kebudayaan yang berarti. Akibatnya mereka menjadi murid dari bangsa yang ditakhlukkannya yang mempunyai kebudayaan dan tradisi keilmuwan yang lebih tinggi, seperti bangsa Persia atau Iran.

Ada empat pusat kebudayaan pada masa daulah Umaiyah ini, yaitu Makkah, Madinah, Basrah, dan Kufah. Dua yang pertama terletak di wilayah Hijaz, sedang dua terakhir terletak di wilayah Irak yang lebih dikenal sebagai bekas kerajaan Persia. Dalam ilmu Fiqh dikenal ulama Hijaz sebagai ahl al-Hadist dan ulama Irak sebagai ahl al-Ra’yi.

Di masa daulah Umaiyah berkuasa lebih tepat dikatakan sebagai masa penyebaran benih kebudayaan yang hidup subur di masa daulah Abbasiyah. Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa daulah Umaiyah ini adalah ilmu-ilmu keagamaan (naqliyah), seperti ilmu qira’at, ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu fiqh, ilmu bahasa, ilmu kalam, ilmu tasawuf dan ilmu arsitektur. Uraian yang lebih terperinci tentang ilmu-ilmu keagamaan (naqliyah), dapat dilihat sebagaimana berikut ini:

1. Ilmu Tafsir

Pada masa awal Islam, ilmu tafsir belum dibutuhkan karena umat Islam dapat mengerti apa yang dimaksud oleh setiap ayat al-Qur’an. Namun ketika wilayah Islam sudah meluas dan orang-orang bukan Arab telah menganut agama Islam, mulai dirasakan perlunya menafsirkan al-Qur’an. Beberapa orang sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan apa yang mereka dengar dari Nabi.

Mereka ini dipandang sebagai pendiri ilmu tafsir. Bentuk tafsir al-Qur’an pada awal Islam dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsur yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an didasarkan pada apa yang mereka dengar dari Nabi dan sahabat-sahabat senior atau dikenal dengan tafsir bi alriwayah, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an didasarkan pada riwayat.

Tafsir bi al-ma’tsur ini mengalami perkembangan di masa daulah Abbasiyah, seperti Jami’ al-Bayan fi tafsir alqur’an oleh Ibn Jarir al-thabari dan Maqarin al Tanzil oleh al-Baidhawi. Tafsir-tafsir telah tersusun secara sistematis menurut urutan ayat.

Tafsir bi al-Ra’yi pun berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah. Tafsir yang didasarkan pada pemahaman akal ini terdapat beberapa corak, seperti Tafsir Mu’tazili berjudul al-Kasysyaf al Dhawamiri al-Tanzil oleh al-Zamakhsari. Tafsir al-Ilmy berjudul Mafatih alGhaib oleh Fakhrurazi. Tafsir Sufi seperti yang yang dilakukan oleh al-Junaid dan Sofyan Tsuri dan lainlainnya.[20]

Tafsir Al-Qur’an yang mengambil bermacammacam bentuk atau corak itu adalah pengaruh dari kebebasan berfikir pada masa itu. Sehingga latar belakang pemikiran mereka sangat mewarnai tafsir yang mereka lakukan.

2. Ilmu Hadits

Hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam pada mulanya belum ditulis seperti al-Qur’an karena dikhawatirkan bercampur baur dengan al-Qur’an. Karena itu Nabi melarang menulis sesuatu darinya selain alQur’an. Pemeliharaan Hadits oleh para sahabat dilakukan melalui hafalan.[21] Pembukaan Hadits untuk pertama kali dilakukan oleh khalifah Umar bin  abd al-Aziz di awal abad kedua Hijrah. Dalam mengumpulkan Hadits dari para penghafal Hadits, diadakan suatu metode yang disebut Isnad yaitu membahas persambungan Hadits.

Selain itu digunakan pula metode al-Jarh wa al-ta’dil  yang membahas asal-usul penghafal Hadits.

Pada masa daulah Abbasiyah, pembukuan Hadits mengalami perkembangan pesat. Muncul tokoh-tokoh Muhadditsin terkemuka dan terkenal sampai saat ini. Mereka itu adalah : Imam Malik, Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, altTurmudzi, al-Nasa’i, dan Ibn Majah.[22]

Penulisan Hadits di masa daulah Abbasiyah dilakukan secara gencar dalam rangka memelihara eksistensinya sebagai sumber kedua ajaran Islam, selain itu untuk kebutuhan umat juga, karena para penghafal Hadits banyak yang meninggal dunia sehingga dikhawatirkan terjadi kepunahan Hadits.

3. Ilmu Fiqih

Fiqih belum dikenal sebagai ilmu pada awal Islam, karena pada waktu itu semua persoalan yang dihadapi kaum muslimin dapat ditanyakan langsung kepada Nabi. Tetapi setelah Rasulullah wafat, sementara daerah kekuasaan Islam semakin luas dan problem yang dihadapi umat semakin banyak, memaksa kaum muslimin menggali hukum-hukum dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits dengan berijtihad untuk mendapatkan hukumnya.

Usaha-usaha kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits serta aktivitas ijtihad berkembang pesat pada masa daulah Abbasiyah dengan munculnya mujtahidmujtahid terkenal seperti Imam Abi Hanifah (w. 150 H / 767 M), Imam Malik (w. 179 H / 795 M), Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H / 820 M) dan Imam Ahmad bin Hambal (w. 231 H / 855 M). Melalui kajian-kajian yang mereka lakukan, akhirnya lahirlah ilmu fiqih sebagai suatu disiplin ilmu dalam Islam yang membicarakan hukum syara’.

Imam-imam mujtahid dalam kajian hukum Islam, mereka menempuh cara-cara yang berbeda-beda satu sama lainnya yang selanjutnya melahirkan aliranaliran hukum dalam Islam. Misalnya Imam Abu Hanifah (80 – 150 H / 669 – 767 M) lebih banyak mempergunakan ra’yu dalam istimbath hukumnya, sehingga dia dipandang sebagai pendiri aliran ra’yu dalam hukum

Islam.[23]

Penggunaan metode al-Ra’yu oleh Imam Abu Hanifah adalah konsekwensi logis dari kondisi lingkungan tempat tinggalnya di Iraq yang jauh dari pusat Hadits di Madinah, juga karena sikap kehati-hatiannya dalam menerima suatu Hadits. Bagi Imam Abu Hanifah sebuah Hadits baru dapat diterima bila Hadits itu telah pada tingkat Hadits masyhur atau para fuqaha’ lainnya sepakat mengamalkannya.

Sementara Imam Malik (97 – 179 H / 715 – 795 M) yang lahir di daerah Hijaz dan seluruh usianya dihabiskan di kota Madinah, dalam menetapkan hukum mendasarkan ijtihadnya terlebih dahulu pada zahir Nash dan lebih banyak mempergunakan Hadits, sehingga dia terkenal sebagai Ahl al-Hadits. Imam Malik menggunakan metode itu kerana dipengaruhi oleh kondisi kota Madinah sebagai pusat Hadits.[24]

Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 – 204 H / 67 – 820 M) menempuh metode yang berbeda dengan kedua aliran Iraq (ra’yu) dan Hijaz (hadits) di atas. Dia melakukan penggabungan antara aliran ra’yu dengan aliran Hadits. Metode istimbath hukumnya dapat ditelusuri dalam karya monumentalnya, al-Risalah yang memberi tuntunan dalam berijtihad.[25]

Fuqaha’ besar lainnya yang terkenal pada masa daulah Abbasiyah adalah Imam Ahmad bin Hambal (164 – 231 H / 780 – 855 M). Dalam menetapkan hukum dia lebih banyak mengambil dalil-dalil dari zahir Nash dan kurang mempergunakan ra’yu. Oleh sebab itu dia dikenal juga sebagai ahl al-Hadits di samping sebagai seorang fuqaha’.

4. Ilmu Kalam

Ilmu kalam ini membahas masalah-masalah keimanan dengan mempergunakan argumen-argumen akal atau filosofis. Munculnya ilmu ini dalam Islam setelah Islam tersiar kepada bangsa-bangsa non-Arab yang telah lebih tinggi kebudayaannya. Mereka senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai dasar-dasar keimanan dengan mempergunakan argumen-argumen filosofis.

Di antara tokoh-tokoh ulama ilmu kalam adalah: Washil bin Atha’, Abu Huzail Al-Jubba’i, dan Al-Nazham dari kelompok Mu’tazilah, Hasan Basri, Abu Hasan alAsy’ari, al-Maturidy, dan Hujjah al-Islam Imam Ghazali dari kelompok Sunni.[26]

5. Ilmu Tasawuf

Ilmu ini muncul berawal dari ajaran Zuhd, yaitu ajaran yang menekuni ibadah dan menjauhkan diri dari kesenangan hidup duniawi. Perang saudara yang berkepanjangan, fanatisme kelompok-kelompok politik, pameran kehidupan mewah dan lain-lainnya, mendorong sebagian orang meninggalkan kehidupan duniawi dan menekuni ibadah yang kemudian mereka dikenal dengan kaum sufi.

Dalam membersihkan jiwa sehingga berada dekat dengan Tuhan mereka tempuh melalui tahap-tahap yang disebut dengan maqamat, seperti al-Taubah, al-Zuhd, alShabar, al-Tawakkal dan al-Ridha. Pelopor ajaran ini adalah Hasan Basri.

Diantara tokoh-tokohnya yang terkenal dalam ilmu tasawuf ini adalah Hasan Basri, Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj, Al-Misri, Ibn al-Arabi, dan Jalaluddin al-Rumi.

Sementara ilmu umum (aqliyah), seperti ilmu filsafat, ilmu pasti, ilmu astronom, musik, kedokteran, kimia dan lainlain baru berkembang pesat bersama dengan ilmu aqliyah di masa daulah Abbasiyah. Uraian yang lebih terperinci tentang ilmu-ilmu umum (aqliyah) akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa daulah Abbasiyah.

Selain perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu-ilmu agama, pada masa daulah Umaiyah berkembang juga peradaban lainnya, yaitu seni arsitektur.

5. Arsitektur

Seni bangunan pada masa daulah Umaiyah adalah bangunan sipil berupa kota-kota, dan bangunan agama berupa masjid-masjid. Di masa daulah Umaiyah banyak kota-kota baru  dibangun dan kota-kota lama diperbaharui dengan pembangunan berbagai gedung dengan gaya perpaduan Persia, Romawi dan Arab, tapi dijiwai semangat Islam.[27]

Damaskus, dulu sebelum Islam merupakan ibu kota kerajaan Romawi di Syam. Sebagai kota lama diperbaharui Muawiyah, dengan mendirikan gedunggedung indah bernilai seni, dilengkapi jalan-jalan dan tamantaman rekreasi yang menakjubkan dan dijadikan sebagai ibu kota daulah Umaiyah. Muawiyah juga membangun “istana hijau” di Miyata dan istana itu pada tahun 704 M, diperbaharui oleh Walid bin Abd al-Malik.[28]

Salah satu kota baru yang dibangun pada

masa daulah Umaiyah ini adalah kota Kairawan di Afrika Utara oleh Uqbah bin Nafi’ ketika dia menjadi gubernur di wilayah ini pada masa khalifah Muawiyah. Kota Kairawan dibangun dengan gaya arsitektur Islam dilengkapi dengan gedung-gedung indah, masjid, taman rekreasi, pangkalan militer dan lain-lainnya. Kota in kemudian berkembang menjadi kota internasional karena di dalamnya bertempat tinggal bangsa-bangsa Arab, Barbar, Persia, Romawi, Qibthi dan lain-lainnya.[29]

Pada masa al-Walid dibangun pula masjid agung yang terkenal sampai sekarang dengan nama “Masjid Damaskus” atas kreasi arsitektur Abu Ubaidah bin Jarrah.

Dalam pembangunannya khalifah al-Walid mendatangkan 12.000 orang tukang bangunan dari Romawi. Ukuran masjid ini seluas 300×200 m dan memiliki 68 pilar dilengkapi dinding-dinding dengan berukiran indah.[30]

Di sekeliling masjid ini terdapat empat buah mercu bekas bangunan peninggalan Yahudi, tetapi hanya diambil satu mercu saja untuk dijadikan menara tempat adzan. Menara tersebut terletak di sebelah tenggara masjid. Dalam ruangan masjid Damaskus dihiasi dengan ukiranukiran indah, marmer-marmer halus (mozaics) dan pintupintunya memakai kaca-kaca berwarna warni.[31]

Khalifah Abd al-Malik kemudian melakukan perbaikan-perbaikan terhadap masjid-masjid tua yang sudah ada semenjak masa Nabi. Di antaranya beliau menyediakan dana 10.000 dinar mas untuk memperluas Masjid al-Haram dan disempurnakan al-Walid dari segi seni arsiternya pada pintu, jendela berukir dan tiang-tiangnya dibuat dari batu granit yang indah.[32]

Khalifah al-Walid memperluas memperluas masjid Nabawi dan memperindahnya dengan konstruksi dan arsitektur Syria di bawah pengawasan Umar bin Abd Aziz, ketika itu menjadi gubernur Madinah. Menurut salah satu sumber mengatakan bahwa dinding masjid ini dihiasi mozaik dan batu permata. Tiangnya dari batu marmer, lantainya dari batu pualam, plafonnya bertahtakan emas murni, ditambah empat buah menara.[33]

4. Kemunduran Pemerintahan.

Masa ini mencakup 8 orang khalifah, yaitu Sulaiman bin Abd. Malik, (715 – 717 M), Umar bin Abd. Aziz (717 – 720 M), Yazid bin Abdil Malik (720-724 M),Hisyam bin Abd. Malik (724 – 743 M), Al-Walid bin Yazid (743 – 744 M), Yazid bin AlWalid (744 M), Ibrahim bin Sulaiman (744 M) dan Marwan bin Muhammad (744 – 750 M).

4.1. Sulaiman Menahan Pahlawan Spanyol

Sulaiman bin Abdul Malik dilahirkan pada tahun 54 H. Dia menggantikan saudaranya al-Walid sebagai khalifah.

Hal ini berarti terjadi pengangkatan dua putera mahkota oleh Abdul Malik. Sebelum al-Walid meninggal, dia pernah bermaksud memecat saudaranya Sulaiman sebagai putera mahkota. Dalam hal ini al-Walid meminta nasehat kepada para penasehat dan panglima-panglimanya.

Ketiga panglimanya, al-Hajjaj bin Yusuf, Muhamad bin Qasim, dan Quthaibah bin Muslim menyetujui maksud tersebut, tetapi Umar bin Abdul Aziz menantangnya dan mengatakan kepada al-Walid: Bai’at dan sumpah setia kepadamu dan saudaramu Sulaiman adalah satu, tidak dapat dibagi-bagi.[34]

Karena mendapat tantangan yang hebat, keinginan alWalid tidak dapat terlaksana, tetapi usaha al-Walid untuk menggeser putera mahkota dari saudaranya kepada anaknya telah berakibat jelek pada masa pemerintahan Sulaiman, diliputi suasana kebencian dan pembunuhan.

Al-Hajjaj wafat sebelum al-Walid wafat, maka dia terbebas dari kebencian Sulaiman, tetapi Muhammad bin Qasim dan Quthaibah bin Muslim telah dibunuh oleh Sulaiman. Demikian juga keluarga Al-Hajjaj, keluarga Muhammad al-Qasim dan keluarga Quthaibah bin Muslim mendapat siksaan dari khalifah Sulaiman.[35]

Lain halnya dengan Musa bin Nusair, dalam perjalanan pulang dari Andalusia membawa hadiah-hadiah dan bingkisan-bingkisan untuk khalifah al Walid yang sedang sakit, Sulaiman menulis surat kepada Musa agar memperlambat perjalanan dengan harapan al-Walid wafat sebelum barang-barang itu sampai, tetapi Musa menolak permintaan itu hingga dia sampai ke Damaskus sebelum alWalid wafat. Sebab itu, Sulaiman menaruh dendam kepadanya, setelah dia menjadi Khalifah, maka Musa disiksa dan dimasukkannya dalam penjara dengan membayar denda yang besar, terpaksa Musa meminta pertolongan bangsa Arab untuk membayar dendanya.[36] Itulah “tragedi dendam”.

Tetapi menurut al-Suyuti, Sulaiman adalah salah seorang dari khalifah Bani Umaiyah yang terbaik. Ia berkata fasih dan lancar, mengutamakan keadilan dan suka pergi berperang. Lebih dari itu dia telah memulai pemerintahannya menggerakkan rakyat beramai-ramai melaksanakan shalat pada waktunya, diakhiri dengan menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah sesudahnya.

Masa pemerintahan Sulaiman tidak lebih dari dua tahun. Dia adalah khalifah yang menyenangi makanan dan wanita, pada masa pemerintahannya diwarnai dengan serba kemewahan yang sangat berlebihan sehingga berbagai perbuatan rendah menyebar dari istana sampai kepada para gubernurnya. Dia sakit selama satu minggu dan menunjuk anak pamannya Umar bin Abd al-Aziz sebagai khalifah penggantinya dalam surat piagam yang ditulisnnya sebelum wafatnya dan dia wafat dalam kemewahan hidup.[37]

4.2. Umar ibn Abd Aziz Yang Adil

Umar adalah anak keturunan terkenal, ayahnya Abd al-Aziz bin Marwan, pamannya Abdul Malik khalifah agung, istrinya Fathimah binti Abdul Malik, saudara al-Walid. Dia dididik dan dibesarkan dalam suasana penuh kenikmatan dan kemakmuran hidup, di kelilingi oleh kekayaan yang melimpah ruah. Tetapi setelah diangkat menjadi Khalifah dia hidup zuhud dan sederhana.

Umar bin Abd. Aziz terkenal sebagai khalifah yang saleh, adil dan sikapnya anti kekerasan. Dia melarang caci maki kepada Ahlul Bait. Demikian hebatnya penghormatan orang kepadanya sehingga kelak daulah Abbasiyah, musuh daulah Umaiyah, membongkar kuburan semua khalifah daulah Umaiyah kecuali kuburannya. Kaum Muslimin menyamakan kepemimpinannya dengan kakeknya Umar bin Khaththab, baik dalam keadilan maupun dalam kezuhudannya.

Hal itu tidak mengherankan karena pada masa pemerintahannya keadilan ditegakkan, peperangan dihentikan, kezaliman dimusnahkan, harta yang dirampas dikembalikan, diskusi-diskusi dan dakwah secara lemah lembut digalakkannya sehingga banyak negeri-negeri dengan kesadaran sendiri menyatakan diri masuk Islam.[38]

Di bidang ekonomi dia menurunkan tarif berbagai pajak dan menghentikan pemungutan jizyah bagi mereka yang masuk Islam, sehingga penghasilan negara berkurang.

Ketika gubernur mengeluh atas kebijaksanaannya itu, dia menegaskan bahwa Nabi diutus untuk memberi petunjuk bagi manusia dan bukan untuk memungut pajak.[39]

Kemelaratan, kemiskinan dan kesulitan hidup telah dapat diatasi pada masa singkat pemerintahannya, dia telah berhasil membuat rakyatnya menjadi kaya dan makmur, sehingga orang yang ingin mengeluarkan zakat terpaksa mondar-mandir mencari orang-orang yang patut menerimanya, tetapi tidak menemukannya sehingga dia terpaksa pulang ke rumah membawa zakat yang hendak dibagi-bagikannya.[40]

Di bidang politik dia melakukan dialog dengan kaum Khawarij sehingga mereka tidak melakukan tindakantindakan kekerasan sebagaimana biasa mereka lakukan selama ini. Ali yang selama ini dikutuk di dalam khutbah Jum’at, dia perintahkan untuk dihentikan, sehingga dia mendapat simpati orang-orang Syi’ah.

Umar mensejajarkan antara bangsa Arab dan bukan Arab, sebagaimana dalam Islam, sehingga tidak ada lagi istilah mawali dalam pemerintahannya yang selama ini meresahkan orang Islam bukan Arab karena dianaktirikan dalam pemerintahan.

Namun pemerintahan Umar begitu pendek hanya dua tahun lima bulan tetapi kalangan Bani Umaiyah merasakan beratnya tekanan Khalifah Umar kepada mereka sebab Umar telah mengambil kembali harta benda yang tidak sedikit jumlahnya yang selama ini telah mereka kuasai. Karena beratnya tekanan tersebut diperkirakan mereka meracun Umar kemudian sakit dan wafat pada bulan Rajab 101 H.

4.3. Yazid dan Khalifah Lainnya yang Berpoya-poya

Yazid bin Abdil Malik menggantikan khalifah Umar. Dia terkenal sebagai khalifah yang senang berfoya-foya, berhurahura dan bersenang-senang dengan wanita. Di atas semua itu diapun kini mengembalikan tanah-tanah dan hadiah-hadiah yang telah di ambil Umar untuk Baitul Mal kepada para pemiliknya semula, sehingga harta di Baitul Mal menjadi kosong dan rakyat kembali hidup melarat.

Yazid menunjuk saudaranya Hisyam bin Abdil Malik sebagai khalifah dan anaknya al-Walid sesudahnya. Masa pemerintahan Hisyam cukup lama selama dua puluh tahun sama dengan masa pemerintahan Muawiyah. Dia termasuk salah seorang khalifah terbaik Bani Umaiyah. Terkenal sebagai seorang penyantun dan pribadi yang bersih, cermat, hemat. Ada tiga ahli politik dari Bani Umaiyah: Muawiyah, Abdul Malik dan Hisyam. Abu Ja’far al-Mansur telah meneladani Hisyam dalam sekian banyak langkah yang ditempuhnya kelak pada masa Daulah Abbasiyyah.[41]

Pada masanya, dia mengatur kantor-kantor pemerintahan dan membetulkan perhitungan Baitul Mal. Demikian juga perhitungan keuangan negara. Dengan demikian keuangan negara menjadi lancar, taratur, sehingga tidak ada lagi  kesempatan menggelapkan uang negara yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Dia mengatur pemasukan dan pengeluaran Baitul Mal dengan cermat dan hemat. Dia tidak mau mengambil haknya dari Baitul Mal kecuali setelah disaksikan empat puluh orang.[42]

Khalifah Hisyam lebih memperhatikan perkembangan ekonomi. Dia membangun irigasi dan pelabuhan, juga industri pakaian sutera dan beledru. Tetapi hasil perkembangan ekonomi itu tidak dapat cukup menutupi kekurangan kas di Baitul Mal.

Dalam rangka menutupi kekurangan kas Baitul Mal Hisyam menetapkan beban pajak yang cukup memberatkan kepada kaum Mawali, yang sudah dihapuskan dulu pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal itu membuat mereka kaget karena jumlahnya yang cukup besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Akibat dari kebijaksanaan Hisyam itu, membuat kaum Mawali memberontak. Bangkitlah al-Harits bin Suraij memberontak dengan semboyan memerangi kaum Umaiyah (Arab) orang-orang yang menzhalimi mereka.[43]

Selain itu, Hisyam pun cukup dendam kepada kaum Alawi (Syi’ah) dan menghukum mereka setiap ada kesempatan. Sebagai contoh adalah hukuman yang ditimpakannya kepada Yazid dan Yahya, dua putera Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Faktor-faktor di atas mengakibatkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan yang terus menerus dari kaum Persia, Syi’ah yang mengakibatkan kehancuran pemerintahnannya.

Al-Walid bin Yazid menggantikan Hisyam sebagai Khalifah atas penunjukan ayahnya Yazid sesudah Hisyam. Al-Walid sama  dengan ayahnya Yazid mempunyai sifat berfoya-foya, bermental bejat, dikelilingi dayang-dayang. Dia dapat menghabiskan harta benda yang melimpah ruah yang diwariskan Hisyam. Akibat prilakunya yang buruk itu dia dibunuh oleh Yazid bin al-Walid.[44]

Yazid bin al-Walid menggantikan al-Walid bin Yazid hanya memerintah lima bulan karena penduduk Hims memberontak kepadanya dan menuntut bela atas kematian al-Walid yang membawa kepada kematiannya. Sebelum wafatnya, dia menunjuk saudara nya Ibrahim bin al-Walid menjadi khalifah.

Ibrahim bin al-Walid hanya memerintah dua bulan, kedudukannya sebagai khalifah tidak disepakati kaum Muslimin, ada yang memanggil dia “khalifah” ada pula yang memanggilnya “amir”. Marwan bin Muhammad membawa pasukan besar ke Syam menuntut bela atas kematian al-Walid bin Yazid, pasukan Marwan membunuh Ibrahim dan mereka membai’at Marwan bin Muhammad sebagai khalifah.[45]

Marwan naik tahta pada saat pakaian khalifah Umaiyah sudah sangat lusuh dan tipis, walaupun dia ingin memperbaiki keadaan, tetapi tidak ada lagi harapan untuk memperbaikinya, tiada tempat lagi untuk menambal kain. Karena banyak Pemberontakan terus berkobar kepadanya. Golongan Khawarij, golongan Syi’ah, orang-orang Hijaz, dan orang-orang Khurasan, bagaikan air bah datang ke Damaskus memberontak memaksa Marwan melarikan diri ke Mesir dan terbunuh disana pada tahun 132 H.

4.4. Faktor-Faktor Kejatuhan Daulah Umaiyah

Ada beberapa sebab bagi kejatuhan daulah Umaiyah, antara lain:

  1. Ketidakmampuan para khalifah. Hal ini terlihat pada khalifah-khalifah sesudah Hisyam. Mereka tidak mampu menjadi khalifah ditambah lagi dengan kebejatan moral. Mereka lebih menghabiskan waktu untuk berhura-hura daripada mengurus negara. Nampaknya kemakmuran membuat mereka kehilangan vitalitas kerja.
  2. Gerakan oposisi kaum Syi’ah. Kelompok Syi’ah tidak bisa melupakan perlakuan orang-orang Umaiyah terhadap Ali dan puteranya Husein. Oleh karena itu mereka melakukan gerakan oposisi. Mereka membangun aliansi dengan kaum Sunni dari Bani Abbas semenjak pemerintahan Umar bin Abd. Aziz. Keikhlasan mereka pada keturunan Nabi menarik hati rakyat. Bahkan orang-orang Sunni yang saleh yang melihat khalifah telah tenggelam dalam kesenangan duniawi dan melalaikan agama, semakin memotivasi mereka bergabung dengan kaum Syi’ah ini.
  3. Rasa tidak puas muslim non-Arab. Perlakuan pemerintah yang menganaktirikan muslim non-Arab baik secara ekonomi maupun sosial membuat mereka gusar terhadap daulah Umaiyah. Karena secara ekonomi mereka muslim non-Arab tidak dikecualikan dari membayar pajak seperti yang dibayar nonmuslim. Secara sosial, mereka tidak boleh duduk dalam pemerintahan dan tidak boleh menjadi imam sholat. Padahal mereka telah memiliki kebudayaan yang lebih tinggi dari bangsa Arab.

LAMPIRAN:

DAFTAR NAMA PARA KHALIFAH

DAULAH UMAIYAH I DI SYIRIA

  1. Muawiyah (661 – 680 M/40-60 H)
  2. Yazid bin Muawiyah (680 – 683 M/61-63 H)
  3. Muawiyah bin Yazid (683 M/63 H)
  4. Marwan bin Hakam (684 – 685 M/64-65H)
  5. Abdul Malik bin Marwan (685 – 705 M)
  6. puteranya Walid bin Abd. Malik (705 – 715 M)
  7. Sulaiman bin Abd. Malik, (715 – 717 M)
  8. Umar bin Abd. Aziz (717 – 720 M)
  9. Yazid bin Abdil Malik (720-724 M)
  10. Hisyam bin Abd. Malik (724 – 743 M)
  11. Al-Walid bin Yazid (743 – 744 M)
  12. Yazid bin Al-Walid (744 M)
  13. Ibrahim bin Sulaiman (744 M)
  14. Marwan bin Muhammad (744 – 750 M)

[1] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, J. 2, c. 2 (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), h. 2-3.

[2] Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, J. 2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 90-91.

[3] Ibid., h. 91.

[4] Tim Penulis, op.cit., h. 91.

[5] Hasan Ibrahim Hasan, J.1, op.cit., h. 496.

[6] Ibid., h. 9-10.

[7] Ibid., h. 10-11.

[8] Al-Thabari, Tarikh Al-Thabari, J. 4 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1963), h. 224.

[9] Ahmad Syalabi, J. 2, op.cit., h. 47-48.

[10] Ibid., h. 19.

[11] Ahmad Syalabi, J. 2, op.cit., h. 58.

[12] Ibid., h. 58. Hasan Ibrahim Hasan, J.2, op.cit., h. 19.

[13] Ibid., h. 20.

[14] Ahmad Syalabi, J. 2, op.cit., h. 68.

[15] Hasan Ibrahim Hasan, J.2, op.cit., h. 28.

[16] Ahmad Syalabi, J. 2, op.cit., h. 70-71.

[17] Ibid., h. 72.

[18] Ibid., h. 78-79.

[19] Ibid., h. 73.

[20] Ibid., h. 44-45.

[21] Abd. al-Mun’im Majid, Tarikh Al-Khadharah al Islamiyah fi al-Ushur alMutshtafa (Mesir: t.p, 1978), h.180-181.

[22] Hasan Ibrahim Hasan, Tarekh Al-Islam, J. 2 (Mesir: al-Maktabah alNahdhah al-Misriyah, 1976), h. 330.

[23] Abdul Al-Mun’im Majid, op.cit., h. 176.

[24] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit., h. 333.

[25] Abdul Mun’im Majid, op.cit., h. 177.

[26] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit., h. 335.

[27] Siti Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, c. 3  (Yogyakarta: LESFI, 2009), h. 75.

[28] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 140.

[29] Siti Maryam, dkk., op.cit., h. 75-76.

[30] Ibid., h. 181.

[31] Oemar Amin Husein, Kultur Islam (Jakarta: Mutiara, tt.), h. 203-204.

[32] Ibid., h. 76.

[33] M. Masyhur Amin, Sejarah Kebudayaan Islam, J. 1 (Yogyakarta: Kota Kembang, tt.), h. 70.

[34] Ibid., h. 94.

[35] Ibid., h. 95.

[36] Ibid., h. 96.

[37] Hasan Ibrahim Hasan, J. 2, op.cit., h. 90

[38] Al-Thabari, Tarikh al-Thabari. J.5 (Kairo: Maktabah Al-Istiqamah, 1439), h. 321.

[39] Ahmad Syalabi, J. 2, op.cit., h. 112.

[40] Ibid., h. 114.

[41] Hasan Ibrahim Hasan, J.2, op.cit., h. 106.

[42] Ahmad Syalabi, J. 2, op.cit., h. 124-125.

[43] Hasan Ibrahim Hasan, J.2, op.cit., h. 105.

[44] Ibid., h. 108.

[45] Ahmad Syalabi, J. 2, op.cit., h. 137.

Sumber:  Nasution, Syamruddin. “Sejarah Perkembangan Peradaban Islam.” (2017).

Baca Juga: