Menu Tutup

Sejarah hidup Nabi SAW sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rasul

Sebelum Diangkat Menjadi Rasul

Nabi Muhammad s.a.w lahir pada hari Senin tanggal 20 April 571 M tahun Gajah di suatu tempat yang tidak jauh dari Ka’bah, ia berasal dari kalangan bangsawan Quraisy dari Bani Hasyim, sementara masih ada bangsawan Quraisy yang lain, yaitu Bani Umaiyah. Tapi Bani Hasyim   lebih mulia dari Bani Umaiyah. Ayahnya Abdullah bin Abdul Muththalib dan ibunya Aminah binti Wahab. Garis nasab ayah dan ibunya bertemu pada Kilab bin Murrah. Apabila ditarik ke atas, silsilah keturunan beliau baik dari ayah maupun ibunya sampai kepada Nabi Isma’il AS dan Nabi Ibrahim AS.

Tujuh hari dari kelahirannya, kakeknya Abdul Muththalib mengundang  semua orang Quraisy dalam suatu selamatan jamuan makan, ketika itu Abdul Muththalib memberi nama Muhammad kepada cucunya itu. Nama tersebut terasa aneh bagi mereka yang hadir dan mempertanyakannya kepada Abdul Muththalib dan mereka berkata; “Sungguh di luar kebiasaan, kenapa diberi nama Muhammad”, dijawab oleh kakeknya; “Agar menjadi orang terpuji di langit dan terpuji di bumi”.[1]

Sudah menjadi kebiasaan orang Arab, anak-anak yang baru lahir diasuh dan disusui oleh wanita kampung dengan maksud agar mendapatkan udara desa yang masih bersih dan pergaulan masyarakat yang baik bagi pertumbuhan anakanak. Ketika Muhammad lahir wanita-wanita dari desa Sa’ad lebih, kurang 60 km dari Makkah, datang ke Makkah menghubungi keluarga-keluarga yang akan menyusukan anak mereka dengan mengharapkan upah.

Karena kondisi ekonomi Aminah yang lemah tidak ada di antara wanita-wanita tersebut yang mau mengasuh Muhammad kecuali Halimah setelah minta izin sama suaminya Haris, mau mengasuhnya sambil  berharap mudahmudahan Tuhan memberkati kehidupan mereka. Aminah dan Abdul Muththalib pun melepaskannya dengan penuh senang hati[2]

Deceritakan lebih lanjut bahwa kehadiran Muhammad dalam keluarga miskin tersebut sungguh membawa berkah. Rumput yang digunakan mengembala kambing tumbuh subur, kambing yang mereka pelihara menjadi gemuk-gemuk, air susunya menjadi banyak sehingga kehidupan mereka yang suram dan susah berubah menjadi penuh bahagia dan kedamaian, mereka percaya anak yatim itulah yang membawa berkah dalam kehidupan mereka, sengsara membawa nikmat.

Ketika ia masih tiga bulan dalam kandungan Ayahnya meninggal dunia pada saat pergi berniaga ke Yatsrib, sementara ibunya Aminah wafat di Abwa sewaktu pulang dari menziarahi makam Abdullah, ketika itu ia berusia 6 tahun. Kakeknya Abdul Muthalib mengasuhnya selama dua tahun, kemudian kakeknya itu pun meninggal dunia pula dalam usianya 8 tahun, dan ia diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Dari kisah Nabi tersebut dapat diketahui bahwa tanggung jawab hak asuh anak apabila ayahnya meninggal berturut-turut dari ibu ke kakek, kemudian ke paman.

Ada dua jenis pekerjaan yang dilakukannya sebelum menjadi Rasul. Pertama, mengembala kambing ketika ia bersama ibu susuannya Halimahtus Sa’diyah tinggal di desa. Kedua, berdagang ketika ia tinggal bersama pamannya, ia mengikuti pemannya berdagang ke negeri Syam, sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri.

Dalam perjalanan itu, di Bushra, sebelah selatan Syria (Syam) dia bertemu dengan pendeta Kristen bernama Buhairah. Pendeta itu melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Pendeta itu menasehati Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki Syria, sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahi tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadapnya.[3]

Sebagai seorang pemuda ia tidak mengikuti kebiasaan masyarakat di kala itu, yaitu minum Khamar, berjudi, mengunjungi tempat-tempat hiburan dan menyembah berhala. Secara populeria dikenal sebagai seorang pemaaf, rendah hati, berani dan jujur, sehinggaia dijuluki al-Amin.

Sebagai seorang pedagang, selainia berdagang dengan pamannya,ia juga melakukan kerjasama dagang dengan Khadijah, seorang janda kaya. Khadijah memberinya modal untuk berdagang ke negeri Syam, dan beliau memperoleh untung besar. Khadijah tertarik pada kejujuran dan akhlaknya yang baik, dan ingin menjadi suaminya, setelah sebelumnyaia berkali-kali menolak pinangan bangsawan Quraisy.

Dari dua pekerjaan yang dilakukan Nabi menjelang usiannya 25 tahun memberi modal kepadanya untuk dapat hidup lebih mandiri kelak. Mengembala kambing adalah pekerjaan yang memerlukan kesabaran kuat, sementara berdagang melatih kejujuran di saat sulitnya mencari orang yang jujur waktu itu. Dalam usia 25 tahun, Abu Thalib menawarkan keponakannya itu kepada Khadijah binti Khuwailid. Tawaran Abu Thalib diterima Khadijah. Pernikahan Nabi dengan Khadijah binti Khuwailid berlangsung ketika Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun dengan mahar 20 ekor unta.

Dalam kehidupan rumah tangga, suami istri itu hidup bahagia dan saling mencintai. Muhammad tidak pernah menyakiti hati istrinya dan sebaliknya istrinya ikhlas menyerahkan segala-galanya untuk suaminya. Harta kekayaan istrinya itu memberi kesempatan kepada Nabi Muhammad membantu orang-orang miskin dan tertindas serta memerdekakan budak-budak. Bahkan budak-budak yang dimiliki Khadijah sebelum mereka menikah, semuanya dimerdekakan, di antaranya Zaid ibn Tsabit yang kemudian menjadi anak angkat Nabi.[4]

Dari pernikahan Nabi dengan Khadijah telah melahirkan, dua orang anak laki-laki, masing-masing Qasim dan Abdullah keduanya meninggal selagi masih kecil, karena sedihnya tidak mempunyai anak laki-laki beliau mengangkat Zaid ibn Haritsah sebagai anak angkat, pada awalnya beliau sempat memanggilnya Zaid ibn Muhammad, tetapi kemudian ditegor agar kembali kepada nama semula, itu artinya anak angkat tidak dapat disamakan dengan anak kandung.

Selain itu, ada empat orang anak perempuan, masingmasing Zainab, Rukayah, Ummu Kalsum, dan Fatimah. Semua mereka mencapai usia dewasa. Di antara anak perempuannya,  hanya Fatimah yang melahirkan dua anak laki-laki, yaitu Hasan dan Husein dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Nabi Muhammad tidak pernah menikah sampai Khadijah meninggal, saat Nabi Muhammad berusia 50 tahun.

Setelah Khadijah binti Khuwailid meninggal Nabi Muhammad saw. menikah lagi dengan sepuluh orang wanita. Kesebelas istri Nabi itu disebut Ummul Mukminin (ibu orangorang yang beriman), masing-masing sebagai berikut; 1) Khadijah binti Khuwailid, 2) Saudah binti Sam’ah, 3) Aisyah binti Abu Bakar 4) Zainab binti Huzaimah, 5) Juwairiyah binti Haris, 6) Sofiyah binti Hay, 7) Hindun binti Abi Umaiyah, 8)

Ramlah binti Abi Sofyan, 9) Hafsah binti Umar ibn Khaththab, 10) Zainab bnti Jahsy dan 11 Maimunah binti Haris.[5]Ditambah seorang hamba sahaya hadiah dari raja Mesir, bernama Mariyah al-Qibthiyah. Dari Mariyah ini, Nabi memperoleh seorang anak laki-laki lagi di Madinah yang diberi nama Ibrahim, tetapi anak beliau inipun meninggal dunia dalam usia lebih kurang dua tahun, sama seperti dua anak Nabi sebelumnya, beliau sempat menangis karena kehilangan putranya yang dicintainya itu.

Dalam usia 35 Tahun, Muhammad telah memperlihatkan kualitasnya sebagai seorang pemimpin. Ketika itu, kaum Quraisy memperbaiki dinding Ka’bah dan kemudian mereka bertengkar. Masing-masing kabilah merasa lebih berhak meletakkan kembali Hajar al-Aswad pada tempatnya. Akhirnya mereka meminta Muhammad untuk menyelesaikan persoalan itu.

Muhammad meletakkan batu itu di atas sehelai kain dan meminta para wakil kabilah memegang ujungnya dan kemudian mengangkatnya bersama-sama. Batu itu kemudian diambilnya dan diletakkannya pada tempatnya. Mereka menerima putusannya itu. Nama Muhammad semakin popular di kalanagan penduduk Makkah, setelah berhasil mendamaikan para pemuka Quraisy tersebut.

Dari peristiwa di atas dapat diketahui bahwa Muhammad sebagai seorang al-Amin telah mendapat kepercayaan penuh dari pemimpin Quraisy untuk menyelesaikan persoalan perselisihan yang terjadi di antara mereka. Modal kepercayaan inilah yang kelak menjadi kunci sukses Muhammad di dalam mengemban misi kerasulannya.

Diangkat Menjadi Rasul

Menjelang usia 40 tahun, selama satu bulan dalam setiap tahun Muhammad mengasingkan diri ke Gua Hira’ untuk merenungi alam dengan ciptaannya. Istrinya Khadijah memberi dukungan penuh terhadap keinginannya tersebut. Disediakannya makanan untuk dibawa suaminya Muhammad sebagai bekal ke Gua Hira’ itu.

Demikianlah dilakukan Muhammad setiap tahun. Ketika usianya 40 tahun, pada tanggal 17 Ramadhan 611 M, malaikat Jibril mendatanginya menyampaikan wahyu Allah yang pertama surat al-Alaq (ayat 1-5). Berarti secara simbolis Muhammad telah dilantik sebagai Nabi akhir zaman.

Nabi Muhammad s.a.w. menceritakan peristiwa yang dialaminya itu kepada istrinya Khadijah. Rasulullah dibawa Khadijah menghadap seorang pendeta Nasrani yang berpengetahuan luas, bernama Waraqah bin Naufal. Setelah Nabi menceritakan pengalamannya itu, Waraqah berkata: “Inilah malaikat yang diturunkan Allah Swt. pada Nabi-nabi sebelummu…”

Setelah wahyu pertama itu datang, terputuslah wahyu selama lebih kurang  dua tahun, kemudian Jibril datang lagi untuk membawa wahyu yang kedua, Surah al-Mudatsir (ayat 1-7). Dengan turunnya wahyu kedua itu, maka berarti Nabi sudah mulai  wajib menyampaikan dakwah.

[1] Team Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 3 (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 2001), hlm. 260.

[2] Ibid., h. 260.

[3] M. Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1990), h. 59.

[4] Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 3 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 263.

[5] Ibid., hlm. 274.

Baca Juga: