Menu Tutup

Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan   

Islamisasi ilmu sebenarnya telah dilakukan pertama kali oleh Nabi Muhammad SAW yakni ketika beliau mendakwahkan ajaran keimanan (tauhid) dan memperbaiki moralitas (akhlak) umat manusia, untuk memberantas segala mitos dan keyakinan hidup yang tidak mempunyai dasar yang kokoh, serta membangun sikap mental mereka agar tidak terbelenggu dan terpenjara oleh segala sesuatu yang selain Allah. Karena itu, apa yang didakwahkan oleh beliau merupakan perwujudan dari nilai keimanan kepada Allah yang tersimpul dalam pernyataan “Tiada Tuhan selain Allah”.[5]

Selanjutnya munculnya isu Islamisasi ilmu pengetahuan ini adalah sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam. Kemajuan yang dicapai sains modern telah membawa pengaruh yang menakjubkan, namun di sisi lain juga membawa dampak yang  negatif, karena sains modern (Barat) kering nilai atau terpisah dari nilai agama. Di samping itu Islamisasi Ilmu Pengetahuan juga merupakan reaksi atas krisis sistem pendidikan yang dihadapi umat Islam, yakni adanya dualisme sistem pendidikan Islam dan pendidikan modern (sekuler) yang membingungkan umat Islam.[6]

Dan juga ide Islamisasi ilmu pengetahuan berangkat dari kondisi yang memprihatinkan di dunia Islam pada masa modern yang mengalami ketertinggalan ilmu pengetahuan dan dominasi ilmu pengetahuan Barat yang sekuler yang dewasa ini berkembang di dunia Islam.[7]

Selanjutnya upaya untuk melakukan Islamisasi Ilmu menurut beberapa sumber pertama kali diangkat Syed Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an. Saat itu, Nasr berbicara dan membandingkan antara metodologi ilmu-ilmu keIslaman dengan ilmu-ilmu umum, terutama ilmu alam, matematika, dan metafisika. Menurutnya, apa yang dimaksud ilmu dalam Islam tidak berbeda dengan ‘scientia’ dalam istilah Latin. Perbedaan diantara keduanya adalah metodologi yang dipakai. Ilmu-ilmu keIslaman tidak hanya memakai metodologi rasional dan cenderung posivistik, melainkan menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual, bahkan intuitif sesuai dengan obyek yang dikaji.[8]

Beberapa tahun kemudian gagasan tersebut dikembangkan dan diresmikan sebagai proyek Islamisasi ilmu oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas tahun 1977. Ia menulis makalah tentang Islamisasi ilmu tersebut yakni Preliminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education, yang disampaikan di First World Comperence on Moslem Education di Makkah, atas sponsor Universitas King Abdul Aziz.[9]

Ide ini selanjutnya lebih disempurnakan oleh Naquib sendiri dengan ditulisnya buku The Concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education, (Kuala Lumpur, ABIM, 1980), disamping Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ABIM, 1978).[10]

Berbeda dengan Nasr yang baru sekedar berusaha menyandingkan atau mempertemukan ilmu-ilmu Barat dan ilmu-ilmu keislaman, Naquib telah berbicara tentang persoalan ontologis sekaligus epistemologis ilmu. Menurutnya, Islamisasi ilmu tidak hanya dilakukan dengan mempertemukan diantara keduanya melainkan perlu adanya rekonstruksi ontologis dan epistemologis, karena dari sinilah sebuah keilmuan lahir.[11]

Gagasan Islamisasi ilmu ini mendapat sambutan yang luar biasa dari para intelektual muslim di dunia. Karena itu, pada tahun 1977 itu juga, diadakan konferensi internasional pertama di Swiss, untuk membahas lebih lanjut ide Islamisasi ilmu tersebut. Konferensi yang dihadiri 30 partisipan ini berusaha menelusuri penyebab terjadinya krisis di kalangan umat Islam dan cara mengatasinya. Solusi yang disepakati adalah mencari pendekatan secara sistematis dan mencari metodologi yang tepat untuk membangun sistem pengetahuan Islam yang mandiri sebagai fondasi peradaban Islam.[12]

Konferensi pertama tersebut ternyata memberi pengaruh besar terhadap para ilmuan muslim dunia. Di Amerika, gagasan Islamisasi ilmu disambut dan dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi, sehingga didirikan sebuah perguruan tinggi, The International Institute of Islamic Thought (IIIT), tahun 1981 di Washington.[13]

Sejak berdirinya, IIIT telah menekankan perlunya untuk melatih dan mendidik sarjana-sarjana muslim dalam bidang Islamisasi ilmu sosial dan mendorong mereka untuk melakukan penelitian dan menulis topik-topik sosial dari sudut pandang Islam.[14]

Selanjutnya bekerja sama dengan Association of Muslim Social Scientist (AMSS), IIIT telah berhasil menerbitkan jurnal yang bernama American Journal of Islamic Sosial Sciences (AJISS). Jurnal ini bertujuan untuk menjadi jembatan bagi seluruh intelektual dan sarjana muslim di seluruh dunia untuk meningkatkan atau mengembangkan pendekatan kesarjanaan dalam disiplin ilmu sosial dan kajian-kajian humaniora.[15]

Secara terperinci IIIT bertujuan untuk :

  1. Meningkatkan pandangan Islam yang universal dalam mengkaji dan memperjelas masalah global Islam.
  2. Mengembalikan jati diri intelektual dan kultural umat Islam lewat usaha Islamisasi ilmu, kemanusiaan, sosial dan meneliti serta memahami secara mendalam pemikiran kontemporer dalam dunia Islam untuk kemudian mencari kemungkinan solusinya.[16]
  3. Mengembangkan suatu pendekatan komprehensif yang Islami terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kontemporer bagi cita-cita Islam dan manusia.
  4. Menghidupkan pemikiran Islam, mengembangkan metodologinya dan menghubungkannya dengan tujuan syariah.
  5. Mengembangkan, mengkoordinasi dan mengadakan penelitian langsung dalam bidang-bidang yang berbeda sehingga mampu memproduksi buku-buku teks yang menjelaskan visi-visi dan meletakkan dasar bagi disiplin ilmu Islam dalam ilmu-ilmu tentang kemanusiaan.
  6. Mengembangkan sumber daya manusia yang mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut.[17]

Beberapa tahun kemudian pada tahun 1983 diadakan konferensi II di Islamabad, Pakistan untuk menindaklanjuti konferensi I.

Konferensi II ini mempunyai tujuan :

  1. Mengekspos hasil-hasil konferensi I dan rumusan masalah yang telah dihasilkan IIIT tentang cara mengatasi krisis di kalangan umat.
  2. Mengupayakan suatu penelitian dalam rangka mengevaluasi krisis tersebut dan juga mencari penyebab dan gejalanya.[18]

Menurut hasil penelitian IIIT, faktor yang menyebabkan terjadinya krisis pemikiran di kalangan umat Islam adalah:

  1. Serangan Budaya Barat, termasuk pendidikan terutama bidang-bidang ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora. Banyak sarjana muslim yang mempelajari dan mendalami ilmu ini tanpa mau menyadari bahwa ilmu-ilmu ini dikembangkan atas dasar ontologis dan epistemologis yang sekuler, yang tidak mengakui wahyu sebagai sumber keilmuan.
  2. Adanya gap (pemisah) antara seorang intelektual muslim dengan warisan khasanah Islam sendiri, karena mereka lebih banyak mengadopsi serta meniru secara buta pola pendidikan dan keilmuan Barat tanpa mau merujuk pada literatur-literatur tradisional Islam yang sangat berharga.[19]

Setelah konferensi II, muncul konferensi III yang diadakan tahun 1984 di Kuala Lumpur. Tujuannya adalah untuk mengembangkan rencana formasi landasan berpikir umat Islam dengan mengacu secara lebih spesifik kepada metodologi dan prioritas masa depan dan mengembangkan skema Islamisasi masing-masing disiplin ilmu. Karena itu, makalah yang disajikan yang meliputi disiplin ilmu Ekonomi, Sosiologi, Psikologi, Antropologi, Ilmu Politik, Hubungan Internasional dan Filsafat dikupas secara kritis dan dievaluasi prestasinya bagi kesejahteraan manusia, kemudian diberi saran-saran untuk proyek Islamisasi.[20]

Tiga tahun kemudian, tahun 1987 diadakan konferensi IV di Khortum, Sudan. Konferensi yang mengambil tema ‘metodologi pemikiran Islam dalam Islamisasi ilmu-ilmu etika dan pendidikan’ ini membahas tentang persoalan metodologi yang merupakan tantangan dan hambatan utama bagi terlaksananya program Islamisai ilmu. Sebab, para pakar muslim yang memiliki latar belakang pendidikan Barat ternyata tidak mampu menyajikan evaluasi dan kritik mendalam terhadap penguasaan ilmu mereka sendiri, sehingga mereka tidak siap memberikan kontribusi positif bagi pemikiran bidang etika dan pendidikan.[21]

Di Indonesia, Islamisasi ilmu telah direspon secara positif melalui rekomendasi dari Konferensi Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Pada tahun 1978 Menteri agama RI telah mengambil langkah-langkah untuk mengimplementasikan rekomendasi dari Konferensi Makkah tersebut. Maka kurikulum baru berhasil diformulasikan dengan memasukkan agama (Islam) sebagai mata pelajaran atau mata kuliah wajib di semua tingkatan pendidikan dari pendidikan tingkat dasar sampai pendidikan tingkat tinggi.[22]

Tetapi kemudian muncul masalah ketika kurikulum baru tersebut hendak diimplementasikan pada semua tingkatan pendidikan. Karena meskipun Menteri agama punya tanggungjawab dalam pengawasan pendidikan agama, tetapi perlu diingat bahwa Menteri agama tidak punya wewenang dalam masalah pendidikan.[23]

Yang berwenang dalam masalah pendidikan adalah Menteri pendidikan dan kebudayaan. Sehingga pada tahun 1980, dicapailah kesepakatan bersama antara dua menteri dan akhirnya dikeluarkan keputusan bersama antara Menteri agama dan Menteri pendidikan dan kebudayaan dimana agama masuk ke dalam kurikulum yang diajarkan kepada semua siswa.[24]

[1] Imam Suprayogo, Quo Vadis Pendidikan Islam (Malang: UIN Malang Press, 2002), 252.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Muhaimin, Wawasan Pendidikan Islam (Bandung: Marja, 2014),  335.

[6]https://www.kompasiana.com/srimaulida/55802df411937355190285d4/islamisasi-ilmu-pengetahuan?page=all, (online), diakses pada 18 Pebruari 2020, pukul 04.36 WIB.

[7] Iswati, Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (At-Tajdid, Volume. 1, No. 1 Januari-Juni 2017), 92.

[8] Muhaimin, Wawasan…, 335.

[9] Ibid.

[10] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakart: Pustaka Pelajar,  2004), 241.

[11] Ibid.

[12] Ibid., 242.

[13]Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 113.

[14] Ibid.

[15]Ibid.

[16] Khudori Soleh., Wacana…, 243.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Ibid., 244.

[20] Ibid.

[21] Khudori Soleh., Wacana…, 244.

[22] Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma…, 119.

[23] Ibid.

[24] Abdurrachman Mas’ud dkk, Paradigma…, 119.

Baca Juga: