Menu Tutup

Sejarah Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah himpunan kaidah-kaidah hukum Islam, yang bersumber dari kitab-kitab fiqih (madzhab al-Syafi’iyyah khususnya) serta pandangan ulama dalam satu buku hukum yang disusun dalam bentuk dan memakai bahasa perundang-undangan.

Ide pembetukan KHI itu sendiri bermula pada 21 Maret tahun 1985. Ketika itu keluar Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan

Menteri Agama NO. 07/KMA/1985 tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi.

Dalam SKB tersebut terdapat instruksi kepada

Kementrain Agama RI untuk membentuk sebuah tim yang berisi ulama dan sarjana serta cendikiawan Islam yang ditugasi untuk membentuk pembangun hukum Islam melalui jalur yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum.

Pekerjaan tim tersebut adalah mengkaji kitabkitab fiqih Islam yang selama ini dipakai oleh hakimhakim di pengadilan agama agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional.

1. Tidak Ada Rujukan Standar bagi Hakim

Menurut para peneliti dan sejarawan, munculnya SKB tersebut dilatarbelakangi oleh tidak adanya satu kitab hukum resmi sebagai rujukan standar yang dipergunakan dalam memberi putusan pada perkara-perkara di pengadilan agama, seperti halnya yang ada di lingkungan peradilan umum (KUHPerdata).

Dulu, putusan di Pengadilan Agama, biasanya hakim menggunakan kitab fiqih yang sudah berumur yang ditulis ulama dan faqih abad lampau sebagai dasar pengambilan keputusan untuk perkara yang disidangkan di pengadilan agama.

Akibat yang timbul dari kebiasaan itu adalah munculnya putusan yang tidak seragam; karena memang ketidakseragaman rujukan dan pedoman kitab. Masalah yang sama, bisa jadi putusannya berbeda, karena ditangani oleh hakim yang berbeda dan berbeda pula rujukan kitabnya.

Karena memang orang-orang yang duduk di bangku hakim ketika itu tidaklah berasal dari latarbelakang pendidikan yang sama dan seragam pula. Mereka, para hakim punya kecendrungan yang berbeda dalam memilih kitab rujukan.

Apabila kebetulan hakim yang memberi putusan pada tingkat pertama berbeda kitab rujukannya dengan hakim yang lain pada tingkat banding, maka tidak dapat dihindarkan liagi terjadi putusan yang berbeda.

Produk peradilan agama yang saling berbeda tersebut tidak sejalan dengan prinsip kepastian hukum yang diperlukan daiam suatu penegakan hukum.

Melihat masalah yang terjadi dalam lingkungan pengadilan agama tersebut, Kementrian Agama merasa sangat perlu sekali untuk mengadakan satu kitab rujukan standar bagi para hakim agama dalam menentukan putusan masalah mereka di pengadilan.

Akhirnya Kementrian Agama menggandeng Mahkamah Agung sebagai induk pengadilan untuk membuat SKB yang ditandatangani tahun 1985 dalam rangka mengadakan satu kitab yang berisi kaidah hukum Islam dalam bahasa Undang-Undang.

2. Tiga Belas Kitab Fiqih Rujukan

Sejatinya, jauh sebelum muncul wacana ini, Kementrian Agama sudah mengeluarkan surat edaran tertanggal 18 Februari 1958 yang isinya adalah ketetapan Kementrian Agama tentang 13 kitab fiqih klasik yang menjadi rujukan hakim di lingkungan peradilan agama.

Surat Edaran ini juga berangkat dari keluhan yang sama; yakni banyaknya ketidakseragaman putusan yang dihasilkan oleh hakim di pengadilan agama atas perkara-perkara yang diadili. Karena itu, Kementrian Agama hanya membatasi 13 kitab fiqih saja sebagai rujukan dengan harapan meminimalisir ketdakseragaman putusan.

Ketigabelas kitab yang dimaksud adalah:

  • Hasyiyah Al-Bajuri
  • Fathul Mu’in
  • Al-Syarqowi ‘ala al-Tahrir
  • Hahsyiyah Qalyubi
  • Fathul-Wahhab dengan syarahnya
  • Tuhfah al-Muhtaj
  • Targhibul-Musytaq
  • Al-Qawanin al-Syar’iyah li Sayyid Utsman bin Yahya
  • Al-Qawanin al-Syar’iyah li Sayyid bin Saqadah Dahlan
  • Al-Syamsuri fi al-Faraidhi
  • BughyatuI Musytarsyidin
  • Al-fiqhu ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah 13) Mughni al-Muhtaj.

Akan tetapi, yang terjadi di lapangan justru tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan.

Katidakpastian hukum dalam putusan di lingkungan peradilan agama masih tetap terjadi. Karena banyaknya kitab rujukan yang tidak semua hakim bisa mengkajinya.

Dan kita juga tahu, bahwa masing masing kitab tersebut, para penulis dan penyusunnya pun berselisih satu dengan yang lainnya dalam menentukan mana pendapat yang kuat.

Walaupun sejatinya, dengan adanya 13 kitab rujukan tersebut, setidaknya sudah terbentuk corak dan karakter putusan pengadilan agama RI yang memang sangat mengedepankan corak al-

Syafi’iyyah; karena memang kitab rujukan tersebut adalah kitab fiqih madzhab al-Syafi’iyyah.

Tapi memang ketidakseragaman tetap ada, terlebih lagi antara sesama hakim pun sering juga terjadi perselisihan terkait kitab apa yang akan dijadikan rujukan untuk perkara yang sedang mereka putusan.

Kondisi ini terus berjalan di lingkungan peradilan agama, sampai akhirnya muncul ide untuk membentuk sebuah kaidah hukum yang bergaya undang-undang, dengan adanya pasal-pasal sebagai rincian hukum dan juga kepastian pendapat yang dipakai demi mencapai sebuah inti putusan pengadilan; yakni kepastian hukum.

Karena itulah kemudian, di tahun 1985, Kementrian Agama membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) bersama Mahkamah Agung terkait pembentukan KHI.

3. Naskah KHI Direstui Presiden

Tanggal 29 Desember 1987, naskah KHI resmi selesai dirampungkan dan sudah lengkap dengan bab dan pasal-pasalnya yang berwajah perundangundangan.

Di dalam Kompilasi terdapat 3 kitab besar;

Kitab Perkwaninan dan Perceraian,

Kitab Perwarisan, dan  Kitab Perwakafan.

Ketiga kitab undang-undang dalam Kompilasi tersebut diuraikan dalam 229 pasal.

Dalam pembentukannya ternyata KHI melalui 4 proses, sebagaimana disebutkan dalam SKB; yakni pengumpulan data melalui kajian dari kitab-kitab yang mnejadi rujukan hakim, yaitu 13 kitab fiqih alSyafi’iyyah yang sudah menjadi rujukan sejak tahun 1958.

Kemudian diperkaya dengan adanya wawancara kepada banyak ulama dan cendikiawan muslim serta ahli hukum perdata. Bahkan ada juga studi banding ke beberapa Negara Islam.

Selanjutnya, KHI ini dilokakaryakan pada tanggal 2 sampai 6 Februari 1988 di Hotel Kartika Chandra Jakarta yang dihadiri oleh 126 peserta perwakilan ulama dan cendikiawan serta sarjana-sarjana muslim. Dan disepakatilah di tempat tersebut naskah akhir KHI dengan 3 Kitab dan 229 pasal hukum.

Lalu, pada tanggal 14 Maret tahun 1988, naskah KHI diserahkan kepada Presiden Republik Indonesia, Soeharta ketika itu melalui menteri Agama, H.

Munawwir Sadzali  untuk memperoleh bentuk yuridis agar bisa digunakan dalam putusanputusann perkara di lingkungan peradilan agama.

Dan akhirnya pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden mengeluarkan Instruksi (Inpres) no. 1 tahun 1991 yang berisi instruksi kepada menteri Agama untuk menyebar-luaskan KHI ini serta untuk menggunakannya di lingkungan pemerintahan dalam hal hukum Islam. Juga membagikannya kepada masyarakat jika memang diperlukan dalam menghukumi masalah-masalah agama yang terjadi diantara mereka.

Resmilah sudah KHI sebagai buku pedoman para hakim di lingkungan peradilan agama dalam memutuskan perkara-perkara yang disidangkan. Dan sejak itu pula KHI menjadi popular serta dijadikan sebagai kitab hukum islam bagi umat Islam Indonesia kebanyakan.

Dan dalam prakteknya, walaupun KHI ini bukanlah Undang-undang yang mengikat, akan tetapi hampir seluruh hakim di lingkungan Pengadilan Agama menerima KHI dengan baik dan dijadikan betul-betul sebagai pedoman bahkan menjadi putusan. Dan itu terjadi di seluruh tingkatan Pengadilan Agama.

Begitu juga, bahwa masyarakat kebanyakan pun memakai KHI sebagai buku acuan dalam menghukumi dan menyelesaikan masalah yang terjadi di antara mereka. Sampai saat ini.

Itu juga berarti sebagai indikator bahwa memang KHI diterima secara baik, oleh kalangan pemerintahan dan juga masyarakat umum. Bahkan di beberapa kalangan masyarakat muslim saat ini, KHI lebih terkenal jika dibanding dengan al-Majmu’nya Imam Nawawi; ulama besar al-Syafi’iyyah.

Sumber: Ahmad Zarkasih, Gono-Gini, Antara Adat, Syariat dan Undang-Undang, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018.

Baca Juga: