Munculnya Ilmu Kalam dipicu oleh masalah politik, salah satunya adalah peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang diikuti oleh penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib memuncak pada Perang Shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkim, yaitu sebuah arbitrase yang mengusulkan pemecahan kubu Sayyidina Ali menjadi dua bagian: Syi’ah dan Khawarij.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya yang kemudian menentangnya. Mereka menganggap Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah dan memilih untuk memisahkan diri dari barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka dikenal sebagai Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dan memisahkan diri. Sementara itu, sebagian besar pasukan yang tetap mendukung Ali menamakan diri mereka sebagai kelompok Syi’ah.
Adapun faktor-faktor penyebab munculnya Ilmu Kalam dapat dibagi menjadi dua: faktor internal dan eksternal, yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Faktor Internal
a. Al-Qur’an: Selain ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian, Al-Qur’an juga menyinggung golongan-golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW yang memiliki kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar. Al-Qur’an tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah alasan-alasan mereka, antara lain:
- Golongan yang mengingkari agama dan keberadaan Tuhan, yang mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja (baca QS. Al-Jatsiyah: 24).
- Golongan syirik yang menyembah bintang-bintang, bulan, matahari (baca QS. Al-An’am: 76-78), yang mempertuhankan Nabi Isa dan ibunya (baca QS. Al-Ma’idah: 116), serta yang menyembah berhala-berhala (baca QS. Al-An’am: 74 dan As-Syu’ara: 9).
- Golongan yang tidak percaya kepada kerasulan Nabi-nabi (baca QS. Al-Isra: 94) dan yang tidak mempercayai kehidupan setelah kematian di akhirat (baca QS. Al-Anbiya’: 104).
- Golongan yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah perbuatan Tuhan semata tanpa campur tangan manusia (yaitu orang-orang munafik) (baca QS. Ali Imran: 154).
Tuhan membantah alasan dan perkataan mereka serta memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk terus berdakwah dengan cara yang halus meski menghadapi argumen-argumen mereka yang tidak percaya.
b. Pembahasan Filosofis tentang Agama: Ketika kaum Muslimin berhasil menaklukkan negeri-negeri baru dan keadaan mulai stabil serta melimpah ruah rezekinya, akal pikiran mereka mulai memikirkan agama secara mendalam dan mempertemukan teks-teks agama yang tampak bertentangan. Fenomena seperti ini umumnya terjadi pada setiap agama. Pada awalnya, agama hanya berupa kepercayaan sederhana dan kuat yang tidak diperselisihkan atau memerlukan penyelidikan. Namun, setelah itu datanglah fase pemikiran filosofis untuk memperkuat hujjah dan penjelasan. Hal ini juga terjadi pada agama Yahudi dan Nasrani.
c. Masalah Politik: Contoh paling jelas adalah masalah khilafah. Sebenarnya, khilafah adalah masalah politik belaka; agama tidak mengharuskan kaum Muslimin mengambil bentuk khilafah dengan cara tertentu. Namun, agama hanya memberikan ketentuan untuk memperhatikan kepentingan umum. Perselisihan politik ini sering kali menjadi faktor besar yang menyebabkan perselisihan dalam hal agama, kepercayaan, dan perpecahan.
2. Faktor Eksternal
a. Pengaruh Pemeluk Islam yang Berasal dari Agama Lain: Banyak di antara pemeluk Islam awal yang sebelumnya beragama Yahudi, Nasrani, atau lainnya, bahkan ada yang pernah menjadi ulama agama tersebut. Setelah mereka memeluk Islam, sebagian dari mereka mencoba memasukkan ajaran-ajaran agama lama mereka ke dalam ajaran Islam. Karena itu, dalam buku-buku aliran dan golongan Islam sering kita temui pendapat-pendapat yang jauh dari ajaran Islam sebenarnya.
b. Perdebatan dengan Golongan Lain: Golongan Islam awal, terutama golongan Mu’tazilah, memusatkan perhatiannya pada dakwah Islam dan membantah argumen orang-orang yang memusuhi Islam. Untuk menghadapi lawan-lawan mereka, mereka harus memahami pendapat dan alasan-alasan lawan-lawan mereka. Akhirnya, negeri Islam menjadi arena perdebatan berbagai pendapat dan agama. Hal ini mempengaruhi masing-masing pihak yang terlibat, salah satunya adalah penggunaan filsafat sebagai senjata kaum Muslimin.
c. Penggunaan Filsafat untuk Menghadapi Lawan: Para mutakalim (ahli ilmu kalam) menggunakan filsafat untuk mengimbangi lawan-lawan mereka, terutama dalam aspek ketuhanan. Misalnya, Annazzam, seorang tokoh Mu’tazilah, membaca buku-buku Aristoteles dan membantah beberapa pendapatnya. Demikian pula Abul Huzail al-Allaf, juga seorang tokoh Mu’tazilah, yang menggunakan pendekatan serupa.
Referensi:
- Ahmad Hanafi. Theology Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990, cetakan ke-8, hlm. 6-7.
- Sahilun A. Nasir. Pemikiran Kalam. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010, cetakan pertama, hlm. 36.
- Ahmad Hanafi. Theologi Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990, cetakan ke-8, hlm. 11-12.
- Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, hlm. 6.