Menu Tutup

Sejarah Peradaban Islam Masa Umar bin Khattab

Riwayat Singkat Umar bin Khaththab

Nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nafil bin Abd al-Uzza bin Rabah bin Ka’ab bin Luay alQuraisy. Silsilah Umar bertemu dengan Rasulullah pada kakek ketujuh, sedangkan dari pihak ibunya pada kakek keenam.

Umar dilahirkan di Makkah empat tahun sebelum perang Fijar, tetapi menurut Ibn Atsir dia dilahirkan tiga belas tahun sesudah kelahiran Rasulullah s.a.w. Hal ini berarti beliau lebih muda tiga belas tahun dari Nabi Muhammad s.a.w. Dia fasih berbicara, tegas dalam menyatakan pendapat dan membela yang hak.[1]

Semasa kecil dia mengembala kambing ayahnya dan berdagang ke negeri Syam. Jika terjadi perang antara suku, dia selalu diutus sebagai penengah. Umar masuk Islam pada tahun kelima dari kerasulah Nabi Muhammad s.a.w. Setelah masuk Islam dia menolak menyembunyikan ke-Islamannya. Dalam sebuah hadits Rasulullah pernah berdo’a:

Ya Allah muliakanlah Islam dengan salah seorang dua lelaki ini, yaitu ‘Amr bin Hisyam dan Umar bin Khaththab.

Doa Nabi Muhammad s.a.w. dikabulkan Allah dengan Islamnya Umar. Bersamaan dengan Islamnya Umar, masuk Islam pula paman Nabi Hamzah ibn Abdul Muththalib.

Sebelum masuk Islam Umar dikenal paling gigih menantang dakwah Nabi ketika disampaikan kepadanya adiknya Fatimah beserta suaminya telah masuk Islam dia sangat marah dan pergi ke tempat adiknya dengan emosi yang meluap-luap dia menampar adiknya yang sedang belajar al-Qur’an dan membaca pangkal surah Taha, tetapi dia kemudian terharu dengan bacaan ayat al-Qur’an tersebut, karenanya dia menemui Nabi untuk menyatakan diri masuk Islam.

Sewaktu hendak meninggalkan Makkah berhijrah ke Madinah dia melewati Ka’bah sedangkan saat itu pembesar Quraisy berada di pelataran Ka’bah. Dengan tenang dan khusu’ dia melakukan thawaf tujuh putaran, kemudian menuju maqam Ibrahim untuk melaksanakan shalat. Setelah selesai dia berdiri menghampiri satu persatu pembesar orang Quraisy itu dan berkata: “Sungguh buruk muka kalian, siapa yang menginginkan ibunya menderita, isterinya menjadi janda, anaknya menjadi anak yatim, hendaklah dia menemui saya di lembah ini”. Tidak seorang pun yang berkutik di antara mereka.[2]

Diangkat Menjadi Khalifah

Ketika Abu Bakar sakit, dia memperhatikan sahabatnya, siapa di antara mereka yang sesuai diangkat menjadi khalifah, “yang tegas tidak kejam dan yang lembut tidak lemah”. Dia mendapatkan kriteria pilihannya itu, di antara dua sahabat, yaitu antara Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib. Tetapi kemudian pilihannya jatuh kepada Umar.[3]

Ketika pilihannya jatuh kepada Umar, dia pun mengundang para sahabat untuk bermusyawarah perihal pilihannya itu. Abdurahman bin Auf meminta pendapat Abu Bakar agar mengemukakan alasan memilih Umar. Abu Bakar berkata: “Dia adalah seorang yang berhati lembut”. Abdurrahman berkata: “Demi Allah! Dia lebih utama dari apa yang engkau kira”.

Kemudian Abu Bakar mengundang Utsman dan berkata: Ceritakan kepadaku! Penilaianmu kepada Umar. Utsman menjawab: Sungguh sepengetahuanku bahwa hatinya lebih baik dari apa yang ditampakkan oleh perilaku anggota badannya. Di tengah kita, dia tidak ada duanya.[4]

Kemudian Abu Bakar meminta pendapat Asid bin Hudhair al-Anshari dan mengajak musyawarah Sa’id bin Zaid dan yang lain dari kalangan Muhajirin dan Anshar tentang penilaian mereka terhadap Umar, ternyata semuanya menyanjungnya. Setelah Abu Bakar bermusyawarah dengan mereka, lalu beliau pun memanggil Utsman bin Affan untuk menuliskan bahwa Umar adalah pengganti dirinya, menjadi khalifah nanti. Berikut ini adalah teks pernyataannya:

“Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah pernyataan Abu Bakar, Khalifah penerus kepemimpinan Muhammad – Rasulullah s.a.w., saat dia mengakhiri kehidupannya di dunia dan saat dia memulai kehidupannya di akhirat. Dalam keadaan dipercayai oleh orang kafir dan ditakuti oleh orang durhaka, sesungguhnya aku mengangkat Umar bin Kaththab, sebagai pemimpin kalian; bahwasanya dia adalah orang baik dan adil. Hal ini sejauh sepengetahuan dan penilaian diriku tentang dia. Bilamana ternyata dikemudian hari dia seorang pendurhaka dan zhalim, sungguh aku tidak pernah tahu akan hal yang bersifat ghaib. Sungguh aku bermaksud baik dan segala sesuatu tergantung atas apa yang dilakukan..”[5]

Dengan demikian, Penetapan Umar sebagai khalifah ditulis pada suatu piagam pengangkatan. Pengangkatan Umar ini bermaksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam di kemudian hari. Kebijakan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat dan mereka secara beramairamai membai’at Umar sebagai khalifah kedua dalam usia 53 tahun. Kemudian Umar memperkenalkan istilah “Amirul Mukminin” (komandan orang-orang yang beriman) bukan khalifah.

Yang pertama sekali dilakukan Umar setelah diangkat menjadi khalifah adalah memecat Khalid bin Walid dari jabatannya sebagai komandan 4 pasukan di utara dan menyerahkannya kembali kepada komandan semula Abu Ubaidah bin Jarrah.

Tentang pemecatan ini Umar menyatakan orang terlalu mengagungkan Khalid dan ini bisa berbahaya, sementara ada sejarawan mengatakan Abu Ubaidah lebih mampu membenahi administrasi dibanding Khalid yang lebih mahir berperang. Sedangkan Khalid menerimanya dengan rela dan patuh.[6]

Perluasan Wilayah

Bagian Utara

Abu Ubaidah melanjutkan peperangan yang dimenangkan Khalid di Ajnadin, sasaran berikutnya adalah Damaskus, ibu kota Syiria. Kota ini dikepung selama 6 bulan dan akhirnya menyerah. Untuk membalas kekalahan Romawi di Damaskus, Heraklius, Kaisar Bizantium menyiapkan pasukan sebanyak 200.000 orang. Di pihak Islam hanya 25.000 orang.

Pertempuran sengit terjadi di dekat sungai Yarmuk. Pasukan musuh mengikatkan diri satu sama lain dengan rantai. Kendati demikian mereka kalah juga. Heraklius melarikan diri ke Konstantinopel seraya berkata : “Selamat tinggal Syiria ! Aku tiada akan kembali lagi”.

Kini tinggal satu kota penting lagi yang belum direbut, yaitu Baitul Maqdis (Yerussalem). Panglima pasukan Bizantium di kota itu bernama Urtubun melarikan diri ke Mesir.

Orang-orang Masehi/Kristen, penduduk Yerussalem menyerah dengan syarat penyerahan harus diterima oleh khalifah Umar sendiri. Amr bin Al-Ash menyampaikan hal itu kepada khalifah. Beliau datang ke Baitul Maqdis dan menulis surat perjanjian.

Selanjutnya Muawiyah ibn Abi Sofyan diangkat Khalifah menjadi gubernur bagian utara Jazirah Arab tersebut, walaupun Abu Ubaidah ibn Jarrah yang ditunjuk menjadi Panglima Perang ke wilayah utara itu.

Bagian Barat

Untuk menjaga stabilitas keamanan di Palestina, maka

Mesir yang terletak sebelah barat harus ditakhlukkan. Khalifah Umar memerintahkan Amr bin Al-Ash untuk tugas itu, ia bersama 4000 pejuang berangkat ke Mesir dan sampai di kota paling timur Al-Farama pada bulan Januari 640 M.

Selanjutnya Amr menuju benteng Babilon yang amat terkenal itu. Untuk merebut benteng tersebut, Amr meminta bantuan prajurit kepada khalifah Umar. Khalifah mengirimi bantuan sehingga pasukannya berjumlah 10.000 orang. Benteng itu dikepung selama 6 bulan, meskipun dipertahankan oleh 25.000 prajurit, akhirnya menyerah pada bulan Juli 640 M.

Sasaran utama berikutnya adalah Alexander. Kota terindah kedua saat itu setelah Konstantinopel, ibu kota Bizantium. Kota itu diserang sesudah Amr memperoleh tambahan bantuan sebanyak 10.000 orang prajurit baru dan dipertahankan oleh 50.000 pejuang. Akhirnya menyerah pada bulan September 642 M, setelah khalifah Umar mengingatkan Amr betapa pentingnya menakhlukkan Iskandariah (Alexander).

Amr bin ‘Ash diangkat menjadi gubernur Mesir. Ia membangun kota baru bernama Al-Fusthath yang terletak tidak jauh dari benteng Babilon dan menjadi ibu kota propinsi Mesir sampai didirikan Kairo pada tahun 969 M. dan sebuah mesjid yang dibangunnya dengan menggunakan namanya yang masih berdiri sampai sekarang.

Bagian Timur

Di bagian timur guna memperkuat pasukan Mutsanna bin Haritsah yang dulu dikirim Abu Bakar, kini Umar mengirim Sa’ad bin Abi Waqqash dengan kekuatan 10.000 pejuang. Sa’ad melakukan pertempuran pertama di Qadisiah dengan tentara Persia yang dipimpin panglimanya Rustam pada bulan Mei 637. dengan kekuatan 30.000 orang.

Dalam perang itu Rustam terbunuh membuat pasukannya kucar-kacir. Kaum muslimin mendapat harta rampasan yang banyak. Sasaran Sa’ad selanjutnya adalah AlMadain, ibu kota kerajaan Persia dan  berhasil merebutnya bulan Juni 637 M. Kisra Yaszdajird III, maharaja Persia terakhir,[7]melarikan diri dengan jatuhnya Al-Madain, kerajaan Persia yang didirikan tahun 226 M itu mendekati kehancurannya.

Yazdajird berhasil mengumpulkan sisa-sisa terakhir pasukannya sebanyak 100.000 orang. Pertempuran terakhir terjadi di Nihawand pada tahun 641 M. kedua kalinya Yazdajird menderita kekalahan, dan melarikan diri ; untuk kemudian dibunuh orang pengikutnya di Khurasan 10 tahun kemudian pada masa pemerintahan Utsman.76

Dengan matinya Yazdajird, tamatlah riwayat kerajaan Sasan, sesudah berkuasa di Persia selama 4 abad. Dengan demikian pada masa khalifah Umar wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.[8]

Khalifah Umar mengutus kurir menyampaikan surat pengangkatan Salman al-Farisi menjadi gubernur Persia (daerah kelahirannya)  yang berkedudukan di ibu kota Madain, walaupun Sa’ad ibn Abi Waqqash yang terkenal sebagai sang Penakluk Persia.

Mengatur Administrasi Negara.

Karena perluasan wilayah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Pemerintahannya diatur menjadi 8 wilayah propinsi: Makkah,

Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.[9]Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan

administrasi negara, sebagai berikut;

  • Menertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah.
  • Mendirikan Pengadilan Negara dalam rangka memisahkanlembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif.
  • Kepala negara dalam rangka menjalankan tugas eksekutifnya, ia dibantu oleh pejabat yang disebut al-Katib (sekreteris negara). Di masa Umar dijabat oleh Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Arqam.
  • Membentuk Jawatan Kepolisian untuk menjagakeamanan dan ketertiban serta menangkap penjahat.
  • Membentuk Jawatan Militer, terdaftar secara resmi di negara, bertugas di daerah-daerah perbatasan seperti di Kufah, Basrah dan Fusthah, dan diberi gaji secara teratur setiap bulannya.
  • Umar juga mendirikan Baitul Mal, keuangan negara yang dipungut dari pajak dan lain-lain disimpan di Baitul Mal dan penggunaannya diatur oleh Dewan.
  • Menempa/mencetak mata uang sebagai alat tukar yang resmi dari negara dan
  • Menciptakan kelender Islam atau tahun Hijrah.[10]

Demikian banyaknya penerimaan negara, sehingga di luar biaya rutin negara, masih tersisa untuk memberi tunjangan kepada warga negara, sehingga di masa Umar rakyat mendapat tunjangan dari negara.

Dewan menetapkan tunjangan itu berdasarkan cepat lambatnya seseorang masuk Islam dan kegiatannya dalam perang. Tunjangan tertinggi diperoleh istri Nabi, Aisyah sebanyak 12.000 Dirham, yang terendah adalah wanita dan anak-anak antara 200-600 Dirham. Semuanya diberikan satu kali untuk satu tahun.[11]

Sungguh pun Umar menjadi kepala negara dari suatu negara terbesar saat itu, tetapi ia tetap hidup sederhana. Ia hanya memiliki sehelai kemeja dan sebuah mantel, serta tidur di atas dedaunan korma. Ia dikenal adil dan bijaksana. Sehingga para sejarawan sepakat menyebutnya “Khalifah Yang Terbesar Sesudah Nabi”.

Perkembangan Peradaban Islam

1. Pembukuan Al-Qur’an

Penulisan ayat-ayat al-Qur’an sudah dimulai semenjak masa Rasulullah. Setiap kali menerima wahyu, Nabi selalu membacakan dan mengajarkannya kepada para sahabat serta memerintahkan mereka menghafalnya. Rasulullah juga mempunyai sekretaris penulis wahyu, di antara mereka adalah sahabat Abdullah bin Abbas, Zaid bin Tsabit, Muawiyah bin Abi Sofyan, kepada mereka diperintahkan Nabi menulis wahyu yang baru saja diterimanya.

Mereka menulisnya di pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Rasulullah memberi nama surah, juga urutanurutannya dan tertib ayatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Tulisan ayat-ayat tersebut disimpan di rumah Rasulullah saw. Selain itu, masing-masing sahabat juga menulis ayat-ayat al-Qur’an dan disimpan di rumah sendiri. Pada masa Rasulullah tulisan-tulisan al-Qur’an belum dikumpulkan satu mushaf tetapi masih berserakan.[12]

Di masa Abu Bakar menjadi khalifah, terjadi Perang Riddah, dalam peperangan itu kurang lebih 70 orang penghafal al-Qur’an gugur. Timbul kekhawatiran di kalangan sahabat, terutama Umar bin Khathab hilangnya al-Qur’an. Beliau menyarankan kepada Abu Bakar betapa pentingnya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang masih berserakan ke dalam satu mushaf.

Abu Bakar pada mulanya kebaratan karena tidak dilakukan Rasul. Tetapi Umar dapat meyakinkan beliau, bahwa hal itu semata-mata untuk melestarikan al-Qur’an, akhirnya Abu Bakar menyetujuinya. Zaid bin Tsabit, sebagai salah seorang sekretaris penulis wahyu, mendapat tugas memimpin pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.[13]

Dalam pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an, selain Zaid berpegang pada tulisan yang terhimpun di rumah Nabi juga didasarkan pada hafalan para sahabat dan naskah-naskah yang ditulis para sahabat yang disimpan di rumah sendiri. Zaid berhasil menulis ayat-ayat alQur’an tersebut dalam satu mushaf.

Setelah selesai, mushaf tersebut diserahkan kepada Abu Bakar dan dia simpan sampai wafatnya. Ketika Umar menjadi khalifah, mushaf tersebut berada dalam pengawasannya. Sepeninggal Umar mushaf itu disimpan di rumah Hafsah binti Umar, dan isteri Rasulullah.[14]

Di masa pemerintahan Utsman bin Affan, muncul perbedaan perbacaan ayat-ayat al-Qur’an di kalangan umat Islam. Hal ini terjadi karena Rasulullah memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab untuk membaca al-Qur’an menurut dialek mereka masing-masing. Sampai pada masa khalifah Utsman membaca al-Qur’an menurut dialek masing-masing kabilah sudah sangat banyak variasi (berbagai dialek).

Huzaifah bin Yaman yang pernah mendengar bacaan al-Qur’an dalam banyak bentuk dialek, mengusulkan kepada khalifah Utsman agar membuat mushaf standar yang kelak menjadi pegangan bagi seluruh umat Islam di berbagai wilayah. Utsman menerima usul tersebut dan membentuk panitia (lajnah) yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Al-Qur’an yang disimpan Hafsah disalin dan diseragamkan dialeknya menurut dialek Quraisy karena diturunkan melalui dialek Quraisy.[15]

Setelah selesai disalin dalam 6 buah, mushaf yang dipinjam tersebut dikembalikan lagi kepada Hafsah. Dari 6 buah salinan tersebut, satu diantaranya disimpan khalifah Utsman, yang lain disuruh Khalifah agar di kirim ke wilayah-wilayah Islam, yaitu Makkah, Madinah, Basrah, Kufah dan Syam/Syria. Naskah lainnya diperintahkan untuk dibakar sehingga keaslian alQur’an dapat terjamin  dan terpelihara. Sedangkan Mushaf yang sudah diseragamkan dialeknya itu disebut Mushaf Utsmani sebagai Mushaf yang resmi sampai sekarang.

Huruf-huruf al-Qur’an barulah diberi berbaris, fathah, dhammah, kasrah dan sukun  di masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sofyan, khalifah Bani Umayyah pertama atas perintah gubernur Bashrah Ziyyad bin Ubaidillah kepada Abu al-Aswad al-Du’ali. Barulah diberi bertitik di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, khalifah kelima Bani Umayyah atas buah pikiran gubernur Irak, al-Hajjaj bin Yusuf.85

2. Ilmu Qira’at

Sejalan dengan perluasan wilayah Islam,

banyak orang Islam yang tidak dapat membaca al-Qur’an, oleh karena itu muncul kekhawatiran terjadinya kesalahan dalam membacanya. Selain itu terdapat beberapa dialek di kalangan umat Islam dalam membaca al-Qur’an. Oleh sebab itu, diperlukan kaidah-kaidah tentang tata cara membaca al-Qur’an. Untuk mempelajari bacaan al-Qur’an, Umar bin Khathab telah mengutus Muadz bin Jabal ke Palestina, Ibadah bin al-Shamit ke Hims, Abu Darda’ ke Damaskus, Ubai bin Ka’ab dan Abu Ayub tetap di Madinah.86

3. Ilmu Tafsir

Ilmu Tafsit diperlukan dalam rangka memahi

ayat-ayat al-Qur’an. Sahabat menafsirkan al-Qur’an pada masa Khulafa al-Rasyidun  sesuai dengan apa yang mereka dengarkan dari Rasulullah. Artinya pada masa ini belum

85 Hamka, Tafsir al-Azhar, J. 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 71. 86 Dirjen Depag., Sejarah dan Kebudayaan Islam, J. 1 (Ujung Pandang: Proyek Pembinaan IAIN Alauddin, 1982), h. 86.

87 Ahmad Amin, op.cit., h. 202.

dikenal tafsir bi al-ra’yi. Inilah tahap awal munculnya Ilmu Tafsir. Beberapa sahabat telah ada yang menafsirkan alQur’an, sesuai dengan yang mereka terima dari Rasulullah. Di antaranya adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Ka’ab.87

4. Ilmu Hadits

Ilmu Hadits belum dikenal pada masa Khulafa’ alRasyidun ini, tetapi ilmu pengetahuan tentang hadits Nabi telah tersebar luas di kalangan umat Islam. Rasulullah melarang sahabat menulis hadits karena dikhawatirkan bercampu baur dengan al-Qur’an. Sehingga, hadits Rasul pada masa Khulafa’ al-Rasyidun belum dibukukan, baru ada usaha membukukannya pada masa khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Pada masa khalifah Umar terdapat beberapa sahabat yang diperintahkan beliau untuk menyebarkan hadits ke wilayah-wilayah Islam, seperti Abdullah bin Mas’ud ke Kufah, Ma’qal bin Yasar ke Basrah, Ibadah bin

Samit dan Abu Darda’ ke Syria.[16]

5. Ilmu Nahwu

Ilmu nahwu lahir dan berkembang di Basrah dan Kufah, karena di dua kota tersebut banyak tinggal kabilah

Arab yang berbicara dengan bermacam dialek bahasa. Selain orang Arab, terdapat juga orang-orang Persia. Untuk itu, perlu disusun tata bahasa mempelajari bahasa Arab. Ali bin Abi Thalib adalah Pembina dan penysun pertama dasar-dasar Ilmu Nahwu.[17]

6. Ilmu Fiqih

Ilmu Fiqih sudah mulai muncul pada masa Khulafa’ al-Rasyidun karena wilayah Islam semakin luas, semakin banyak permasalahan yang dihadapi umat Islam yang memerlukan ketetapan hukum. Beberapa sahabat ada yang mempunyai keahlian dalam bidang fiqih ini, seperti Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit tinggal di Madinah,  Abdullah bin Abbas tinggal di Makkah, Abdullah bin Mas’ud tinggal di Kufah, Anas bin Malik tinggal di Basrah, Muadz bin Jabal tinggal di Syria, dan Abdullah bin Amr bin ‘Ash tinggal di Mesir.[18]

7. Ilmu Arsitektur

Ilmu arsitektur pertama dalam Islam adalah arsitektur masjid, kemudian baru ada arsitektur kota, selanjutnya arsitektur bangunan. Bangunan dalam seni arsitektur masjid pada masa Khulafa’ al-Rasyidun adalah:

  1. Masjid Kuba, pada mulanya didirikan oleh Rasulullah dalam perjalanan hijrah, sebelum sampai di Madinah beliau mendirikan masjid tersebut dan belum mempunyai nilai seni. Karena dindingnya hanya terdiri dari tanah liat yang dikeraskan dan atapnya terdiri dari pelepah-pelepah daun korma. Masjid ini diperbaharui dan diperbaiki kembali pada masa Khulafa’ alRasyidun.
  2. Masjid al-Haram adalah satu dari tiga masjid yang paling mulia dalam Islam. Pada mulanya masjid ini dibangun disekitar Ka’bah oleh Nabi Ibrahim. Kalifah Umar mulai memperluas masjid yang masih sederhana pada masa Rasulullah. Beliau membeli rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya. Masjid diberi pagar sekitarnya dengan tembok batu bata setinggi kira-kira 1,5 meter. Pada masa khalifah Utsman (26 H) masjid alHaram diperluas beliau.[19]
  3. Masjid Madinah (Nabawi) didirikan Rasulullah pada saat pertama kali sampai di Yatsrib (Madinah) dari perjalanan hijrahnya. Pada mulanya masjid ini sangat sederhana. Di sekelilingnya didiran pagar tembok dari batu bata yang dibuat dari tanah liat. Pada tahun ke-7 H masjid ini mulai diperbaiki dan diperluas menjadi 35×30 meter, dengan 3 buah pintu. Di masa khalifah Utsman diperluas lagi dan diperindah. Dindingnya diganti dengan batu dan dihiasi dengan ukiran, tiangtiangnya dibuat dari beton bertulang dan diukir, plafonnya dari kayu pilihan. Unsur seninya lebih diperhatikan.[20]
  4. Masjid Al-Atik adalah masjid yang pertama kali didirikan di Mesir (21 H), terletak di utara benteng Babylon, berukuran 50 x 30 hasta. Masjid ini tidak bermihrab, mempunyai tiga pintu dan dilengkapi dengan tempat berteduh para musafir.[21]

Setelah Irak dan Mesir ditaklukkan, khalifah Umar memerintahkan membangun kota-kota yang baru. Di Irak dibangun kota Basrah dan Kufah, di Mesir dibangun kota Fusthah. Mulai dari sinilah munculnya arsitektur perkotaan dalam Islam. Bangunan dalam seni arsitektur kota pada masa Khulafa’ al-Rasyidun adalah:

  1. Basrah dibangun pada tahun 14-15 H. dengan arsiteknya Utbah bin Ghazwah, dibangun dengan mempekerjakan 800 tukang. Lokasinya ditentukan sendiri oleh Umar bin Khathab, kira-kira 10 mil dari sungai Tigris. Untuk memenuhi keperluan air bagi penduduk, saluran air dibuat dari sungai menuju kota.
  2. Kufah dibangun di bekas ibu kota kerajaan Arab sebelum Islam, yaitu Manadzir, kira-kira 2 mil dari sungai Efhrat pada tahun 17 H. Pembangunannya dipercayakan kepada sahabat Salman al-Farisi dan kawan-kawan. Itu sebabnya Arsitek asal Persia ini memperoleh dana pension selama hidupnya.[22]
  3. Fusthah dibangun pada tahun 21 H. Kota ini dibangun disebabkan khalifah Umar tidak menyetujui usul Amr bin ‘Ash untuk menjadikan kota Iskandariyah sebagai ibu kota propinsi Mesir, karena letaknya dibatasi sungai Nil dengan Madinah sehingga menyulitkan hubungan dengan pemerintahan pusat. Fusthah dibangun di sebelah timur sungai Nil dilengkapi dengan bangunan-bangunan gedung.[23]

Di dalam membangun kota-kota baru atau memperbaharui kota-kota lama dibangun gedung-gedung bergaya Persia, Romawi dan Arab yang dijiwai oleh seni bangunan Islamy. Mulai dari sini muncullah ilmu arsitektur bangunan dalam Islam.

Umar Terbunuh

Tetapi sungguh suatu ironi, pribadi yang mengagumkan dan mempesona itu akhirnya terbunuh di tangan budak Persia, bernama Abu Lu’lu’ (Abd Mughiroh). Karena orang-orang Persia sangat merasa dendam kepada Umar yang menaklukkan dan telah menghancurkan negeri mereka, dan sebab itu mereka mempergunakan budak tersebut untuk membunuhnya. Umar meninggal dunia dalam usia 63 tahun, setelah memerintah selama sepuluh tahun.

[1] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit., h. 401-402.

[2] Ibid., h. 403-404.

[3] Ibid., h. 408.

[4] Ibid., h. 408-409.

[5] Ibid., h. 409-410.

[6] Ahmad Syalabi, op.cit, h. 251-252.

[7] Ibid., h. 246.

[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, J. 1 (Jakarta: UI, 1985), h. 58.

[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 37.

[10] Ahmad Syalabi, op.cit., h. 263.

[11] Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: The Macimillan Press Limitted, 1981), h. 172.

[12] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, c. 11 (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1975), h. 195.

[13] Siti Maryam,dkk., op.cit., h. 58.

[14] Ibid., h. 58.

[15] Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, J. 4, op.cit., h. 136.

[16] Dirjen Depag., op.cit., h. 86.

[17] A. Hasjmy, op.cit., h. 104.

[18] Dirjen Depag., op.cit., h. 87.

[19] Israr, Sejarah Kesenian Islam, J. 1, c. 2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h.87.

[20] Ibid., h. 76-82.

[21] Siti Maryam, dkk., op.cit., h. 62.

[22] Ibid., h. 63.

[23] Israr, op.cit., h. 92-93.

Baca Juga: