Menu Tutup

Sejarah Perkembangan Peradilan Agama

Ada banyak perkembangan yang terjadi di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia . ada sedikitnya tiga masa perkembangan peradilan agama di Indonesia, yaitu:

  1. Masa Kesultanan (sebelum penjajahan)
  2. Masa penjajahan
  3. Masa kemerdekaan.

Masa kesultanan

Peradilan Agama Islam di kerajaan Mataram.

Untuk perkembangan peradilan pada masa ini diperintah oleh sultan Agung, pada saat itu, sebelum  pengaruh islam masuk ke sistem peradilan, yang berkembang sebelumnya adalah ajaran Hindu yang mempengaruhi sistem peradilan. Ketika itu perkara dibagi menjadi dua, yitu perkara yang menjadi urusan raja ( pradata), dan perkara yang bukan menjadi urusan raja (padu).

Bila diperhatikan dari segi materi hukumnya, dapat diduga bahwa hukum pradata bersumber dari ajaran Hindu, dan padu bersumber pada hukum adat. Perkara-perkara yang berhubungan dengan pradata adalah perkara yang berhubungan langsung dengan keamanan negara (stabilitas kerajaan), keamanan dan ketertiban umum, penganiayaan, perampokan, dan pencurian.

Perkara yang semacam ini secara langsung raja yang memproses dan memutuskan hukumnya. Sememtara perkara Padu ialah perkara yang berkaitan dengan masalah pribadi, seperti perselisihan antara rakyat yang tidak dapat di damaikan di lingkungannya masing-masing.

Dengan munculnya Mataram menjadi kerajaan Islam dibawah pemerintahan Sultan Agung, maka mulai diadakan perubahan dalam sistem peradilan, dengan memasukkan unsur dan ajaran agama islam dengan cara memasukkan umat islam kedalam perdilan pradata. Sultan Agung memilih mengambil kebijakan politik hukumnya dengan mengisi lembaga yang telah berkembang ditengah masyarakat dengan prinsip-prinsip keislaman.

Namun setelah kondisi masyarakat dipandang siap dan paham dengan kebijakan yang diambil oleh sulta agung, maka peradilan pradata di ubah menjadi peradilan Surambi. Yang tidak secara langsung berada dibawah raja, tapidibawah pimpinan para ulama. Perkara yang dulunya disebut dengan pradata di ubah namanya menjadi perkara Qisas. Ketua pengadilan secara Dejure  berada ditangan raja, tetapi secara Defacto berada ditangan penghuluyang dibantu oleh beberapa orang ulama sebagai anggotanya[4] .

Dalam konteks hubungan dengan kerajaan, pengadilan Surambi berstatus sebagai penasehat dan penberi saran kepada raja untuk mengambil suatu keputusan.

Pada perkembangan berikutnya setelah Sultan Agung diganti oleh AmangkuratI  tahun 1645, Pengadilan Pradata dihidupkan kembali untuk mengurangi pengaruh lama dalam pengadilan dan raja menjadi pucuk kepemimpinannya. Namun kebijakan yang diambil Amangkurat I ini tidak menjadikan pengadilan surambi tersingkir, bahkanpengadilan ini masih tetap bertahan sampai pada masa kolonial Belanda, walaupun kekuasaannya dibatasi.

Peradilan Islam Pada Masa Kerajaan Aceh.

Di Aceh, peradilan yang berdasarkan hukum Islam itu menyatu dengan peradilan negeri, yang mempunyai tingkat-tingkatan. Tingkatan pertama dilakukan di tingkat kampung, yang dipimpin oleh Keucik. Pengadilan ini hanya menangani perkara-perkara yang  ringan. Sedangkan perkara yang berat diselesaikan oleh Balai Hukum Mukim. Bagi yang tidak puas di tingkat I dapat melanjutkan ke pengadilan tingkat kedua yakni Oeloebalang.

Jika di pengadilan tingkat Oeloebalang tidak juga merasa puas dengan keputusannya, dapat mengajukan banding ke pengadilan tingkat ke tiga yaitu disebut dengan panglima sagi. Seandainya putusan Panglima Sagi juga belum memuaskan, masih dapat mengajukan banding kepada Sultan, yang pelaksanaannya oleh Mahkamah Agung, yang anggotanya terdiri dari: Malikul Adil, Orang kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Fakih (para ulama’).

Peradilan Islam di Priangan.

Di priangan (Cirebon) terdapat tiga bentuk peradilan,[5] yaitu: peradilan Agama, peradilan Drigama, dan Peradilan Cilaga. Kompetensi Peradilan Agama adalah perkara-perkara yang dapat di jatuhi hukuman badan atau hukuman mati, yaitu yang menjadi kompetensi absolut pada peradilan Pradata di Mataram. Perkara-perkara tidak lagi dikirim ke Mataram, karena belakangan, telah merosot kekuasaan pemerintah Mataram.  Kewenangan absolut peradilan Drigama adalah perkar-perkara perkawinan dan waris. Sedangkan peradilan Cilaga khusus menengani sengketa waris.

Peradilan Agama Islam di Banten.

Di Banten, Pada masa Sultan Hasanuddin memegang kekuasaan, pengaruh hukum hindu sudah tak berbekas lagi. Karena di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh Qadli sebagai hakim tunggal, sedangkan di cirebon pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan, yaitu: Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembaban Cirebon. Segala cara yang menjadi sidang menteri itu harus di putuskan berdasarkan Undang-Undang Jawa.

Peradilan Agama Islam di Sulawesi

Di Sulawesi, kerajaan yang mula-mula menerima Islam dengan resmi adalah kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan. Kemudian menyusul kerajaan Gowa yang menjadi kerajaan terkuat dan punya pengaruh pada masyarakatnya.melalui kekuasaan politik dalam struktur kerajaan ditempatkan Parewa Syara’ (pejabat syari’at) yang berkedudukan sama dengan parewa adek (pejabat adek) yang sebelum datangnya Islam telah ada. Parewa Syara’ dipimpin oleh Kali (kadhi) yaitu pejabat tertinggi dalam syari’at Islam yang berkedudukan di kerajaan.

Di masing-masing paleli diangkan pejabat bawahan yang disebut imam, serta dibantu oleh khatib dan Bilal. Para kadli dan pejabat urusan ini diberikan gaji yang diambilkan dari zakat Fitrah, zakat harta, sedekah idul fitri dan idul adha, kenduri kerajaan, penyelenggaraan mayat dan penyelenggaraan penikahan. Hal ini terjadi pada masa raja Gowa XV, ketika Malikus Said berkuasa, sebelumnya, raja Gowa sendiri yang menjadi hakim Agama Islam.

Peradilan Agama pada masa penjajahan.

Masa penjajahan Belanda

Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lima buah tatanan peradilan[6]. Hal itu menunjukkan bahwa sebaran dan intensitas penjajahan Belanda  diberbagai kepulauan Nusantara berbeda-beda. Oleh karena itu tingkat campur tangan pemerintah kolonial Belanda terhadap peradilan agama pun berbeda-beda pula. Sejak tahun 1830 dijawa dan Madura, oleh oleh gubernemen Belanda, Pengadilan Agama di tempatkan dibawah pengawasan kolonial, yaitu landraad. Hanya landraad yang ber kuasa untuk memerintahkan pelaksanaan bagi keputusan peradilan agama, dalam bentuk executoire verklaring. Pengadilan Agama hanya merupakan satu-satunya peradilan perseorangan.

Pada mulanya pemerintah Belanda tidak mau mencampuri organisasi peradilan agama. Tetapi pada tahun 1882, dikeluarkan penetapan raja Belanda yang di muat dalam staatblad 1882 no. 15, yang mengatur bahwa peradilan agama di jawa dan Madura dilaksanakan di Pengadilan Agama yang dinamakan priesterrad  atau Majelis Pendeta.

Dengan adanya ketetapan tersebut terjadi perubahan yang cukup penting, yaitu:

a) Reorganisasi ini pada dasarnya membentuk Pengadilan Agama yang baru disamping laandrad dengan wilayah hukum yang sama, yaitu seluas wilayah kabupaten.

b) Pengadilan itu menetapkan perkara-perkara yang dipandang masuk dalam lingkungan kekuasaannya.

Wewnang peradilan agama di jawa dan madura meliputi perkara-perkara sebagai berikut:

  1. Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam
  2. Perkara-perkara tentang: Nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang islam.
  3. Menyelenggarakan perceraian.
  4. Menyatakan syarat untuk talak yang digantungkan (takliq talak) telah ada.
  5. Perkara Mahar atau Mas kawin.
  6. Perkara tentang keprluan istri yang harus diadakan oleh suami.

Dalam bidang Ibadah, pemerintah kolonial Belanda pada dasarnya memberi kebebasan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan Belanda. Tapi dalam bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan pans islam.

Masa penjajahan Jepang

Dalam aspek perkembangan hukum, masa penjajahan jepang (1942-1945) tidak terjadi perubahan yang signifikan tentang posisi Pengadilan Agama. Karena dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No. 1 tahun 1942 menyatakan, semua bawahan pemerintahan beserta wewenangnya, semua uu, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan yang lama dianggap masih berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak mengganggu atau bertentangan dengan peraturan Pemerintah Bala Tentara Jepang.

Kemudian Dekrit no. 14 tahun 1942 tanggal 19 april menetapkan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan Madura masih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, hanya saja nama-namanya yang di rubah dalam bahasa jepang.  Sementara fungsidan wewenangnya sama dengan masa kolonial Belanda.

Pada masa pendudukan jepang, ahli-ahli hukum Indonesia pernah memikirkan untuk menghapus Pengadilan Agama. Pemikiran ini muncul dari supomo, penasehat Departmen Kehakimanketika itu dan ahli hukum adat.  Ia setuju hukum islam tidak lagi diterapkan, untuk diganti dengan hukum adat. Tapi usul tersebut di tolak oleh jepang, karena khawatir akan menimbulkan protes dari umat Islam.

Peradilan agama pasca kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka 17 agustus 1945, atas usul menteri agama, yang di setujui menteri kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan kementrian kehakiman kepada kementrian agama dengan ketetapan pemerintah nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946.

Selama revolusi fisik ada empat yang harus dicermati, yaitu:

Pertama,  keluarnya uu no.22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk menggantikan ordonansi terdahulu.

Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama no.6 tahun 1947 tentang penetapan formasi Pengadilan Agama terpisah dari penghulu kabupaten. Dengan kata lain pemisahan tugas antara penghulu kabupaten sebagai kepala pegawai pencatat nikah dan urusan kepenghuluan lainnya, dan penghulu hakim sebagai ketua Pengadilan Agama, juga sebagai qadli hakim syar’i.

Ketiga, keluarnya uu no.19 tahun 1948yang tidak pernah dinyatakan berlaku.

Keempat, keputusan Recomba Jawa Barat No. Rec. Wj 229/72 tanggal 2 april 1948dan peraturan yang tercantum dalam javaas sche courant1946No. 32 dan 39 tahun 1948 no. 25 dan 1949 no. 29 dan 65.

Referensi:

  • Drs. Cik Hasan Bisri,Ms, Peradilan Agama Di Indonesia
  • Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Di Indonesia
  • Abdul Gani Abdullah, S.H, Pengantar Khi Dalam Tata Hukum Indonesia

Baca Juga: