Sertifikasi halal merupakan komponen penting dalam industri makanan, minuman, kosmetik, farmasi, dan produk-produk lain di Indonesia, terutama bagi konsumen Muslim. Sertifikasi ini menjamin bahwa produk tersebut memenuhi standar halal sesuai dengan syariat Islam. Artikel ini akan mengulas secara detail tentang prosedur sertifikasi halal, persyaratan, dan langkah-langkah untuk memperolehnya.

1. Apa Itu Sertifikasi Halal?
Sertifikasi halal adalah proses evaluasi dan pemberian sertifikat kepada suatu produk atau jasa yang memenuhi kriteria halal yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa produk tersebut tidak mengandung bahan-bahan haram dan diproduksi sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, setiap produk yang dipasarkan di Indonesia wajib memiliki sertifikasi halal. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bertindak sebagai badan pengawas dan pelaksana utama, bekerja sama dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) seperti LPPOM MUI, serta Komisi Fatwa MUI yang berperan dalam menetapkan kehalalan produk.
2. Persyaratan Umum untuk Sertifikasi Halal
Sebelum melakukan pendaftaran sertifikasi halal, pelaku usaha harus memenuhi beberapa persyaratan dasar sebagai berikut:
- Nomor Induk Berusaha (NIB): Dokumen ini diperlukan sebagai identitas legal usaha yang berlaku di Indonesia.
- Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH): Perusahaan wajib menerapkan SJPH, yang mencakup kebijakan halal, tim manajemen halal, pembuatan manual SJPH, pelatihan, dan audit internal.
- Dokumen Produk dan Bahan: Termasuk daftar bahan baku, bahan tambahan, diagram alir proses produksi, dan dokumentasi fasilitas produksi. Bahan yang digunakan harus bebas dari unsur haram, seperti babi dan alkohol.
3. Langkah-Langkah Mendapatkan Sertifikasi Halal
Proses sertifikasi halal dilakukan melalui beberapa tahapan yang melibatkan BPJPH, LPH, dan Komisi Fatwa MUI. Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai prosesnya:
- Pendaftaran
Pelaku usaha mendaftar secara online melalui sistem e-sertifikasi BPJPH (SIHALAL) atau sistem CEROL-SS23000 milik LPPOM MUI. Dalam pendaftaran ini, data perusahaan, fasilitas produksi, dan produk yang akan disertifikasi harus diunggah ke sistem. - Verifikasi Dokumen
BPJPH atau LPH melakukan verifikasi terhadap dokumen yang diserahkan untuk memastikan bahwa perusahaan telah memenuhi semua persyaratan yang diperlukan, termasuk manual SJPH dan bukti audit internal. Jika dokumen dinyatakan lengkap dan sesuai, proses dilanjutkan. - Audit Lapangan
LPH akan mengirimkan auditor untuk melakukan inspeksi di tempat produksi. Audit ini bertujuan untuk memverifikasi apakah proses produksi sesuai dengan ketentuan halal, termasuk kebersihan, bahan yang digunakan, dan pemisahan antara produk halal dan non-halal. - Penetapan Fatwa Halal
Setelah audit selesai, hasilnya akan dibahas dalam sidang Komisi Fatwa MUI untuk memutuskan kehalalan produk. Jika disetujui, BPJPH akan menerbitkan sertifikat halal resmi. - Pengambilan Sertifikat
Setelah sertifikat halal diterbitkan, perusahaan dapat mengunduh salinannya melalui sistem online dan menerima dokumen fisiknya dari kantor BPJPH atau LPPOM MUI.
4. Opsi Sertifikasi untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
Untuk mendukung UMKM, pemerintah menyediakan skema self declare yang diperuntukkan bagi pelaku usaha mikro dan kecil dengan biaya minimal bahkan gratis. Dalam skema ini, pelaku usaha dapat menyatakan sendiri kehalalan produknya setelah dilakukan pendampingan oleh PPH yang ditunjuk BPJPH. Komisi Fatwa MUI kemudian akan mengesahkan kehalalan produk tersebut.
5. Biaya Sertifikasi Halal
Biaya sertifikasi halal bervariasi tergantung pada skala dan jenis usaha:
- Usaha Mikro dan Kecil: Dapat menggunakan skema self declare dengan biaya yang ditanggung oleh negara, sehingga gratis bagi pelaku usaha.
- Usaha Menengah dan Besar: Biaya mencakup verifikasi dokumen, audit lapangan, dan penerbitan sertifikat, yang harus dibayar oleh perusahaan melalui sistem pembayaran di platform SIHALAL.
6. Masa Berlaku dan Perpanjangan Sertifikat
Sertifikat halal yang diterbitkan berlaku selama dua tahun. Pelaku usaha wajib memperbarui sertifikat sebelum masa berlaku habis dengan mengajukan kembali ke BPJPH, menyertakan hasil audit, dan memastikan sistem SJPH tetap diterapkan sesuai standar.
7. Sanksi bagi Pelaku Usaha Tanpa Sertifikasi Halal
Mulai 17 Oktober 2024, produk yang tidak memiliki sertifikat halal akan dikenakan sanksi, yang meliputi:
- Peringatan tertulis
- Denda administratif
- Pencabutan izin usaha
- Penarikan produk dari pasar.
8. Tips untuk Pelaku Usaha dalam Proses Sertifikasi
Beberapa tips penting bagi pelaku usaha yang ingin memperoleh sertifikasi halal:
- Persiapkan Dokumen dengan Lengkap: Pastikan semua dokumen legal dan teknis seperti NIB, daftar bahan, dan manual SJPH disusun dengan baik.
- Konsultasi dengan LPH: Sebelum mendaftarkan produk, berkonsultasilah dengan LPH untuk mendapatkan panduan dan mempersiapkan fasilitas produksi sesuai standar halal.
- Ikuti Pelatihan Halal: LPPOM MUI menyediakan program pelatihan tentang penerapan SJPH dan prosedur sertifikasi. Program ini dapat diikuti untuk memastikan perusahaan siap dalam proses audit.
Kesimpulan
Sertifikasi halal adalah langkah penting bagi pelaku usaha di Indonesia untuk memastikan produk mereka sesuai dengan standar halal. Prosesnya memerlukan persiapan dokumen, audit, dan evaluasi yang cermat oleh BPJPH dan MUI. Dengan adanya sertifikasi halal, pelaku usaha tidak hanya mematuhi regulasi, tetapi juga membangun kepercayaan konsumen Muslim terhadap produk yang mereka tawarkan.