Menu Tutup

Sistem Ekonomi pada Masa Khalifah Umar bin Khattab r.a.

Sekilas tentang Khalifah Umar ibn Khattab r.a.

Nama beliau adalah Umar bin Khattab, putera dari Nufail al-Quraisy, dari suku Bani Aidi. Di masa jahiliyyah, Umar bekerja sebagai seorang saudagar. Dia menjadi duta kaumnya di kala timbul peristiwa-peristiwa penting antara kaumnya dengan suku Arab yang lain.[3]Umar masuk Islam tatkaka berumur dua puluh enam tahun.[4]

Beliau diberi gelar dengan nama “ al-Fârûq“, karena dengan pribadi Umar itulah Allah membedakan antara yang hak dan yang batil. Sesuai dengan doa Nabi saw terhadapnya: “Ya Allah! Muliakan Islam dengan kehadiran Umar“.[5]

Umar menerima jabatan khalifah dengan wasiat dari Abu Bakar ra, kemudian disepakati oleh kaum muslimin saat itu. Abu Bakar mengambil inisiatif seperti ini, karena ia berpikir jika tidak dicalonkan siapa yang akan menggantikannya, ia khawatir akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam seperti sebelum pengangkatannya sebagai khalifah. Ketika itu hampir saja terjadi perebutan kekuasaan pemerintahan antar kaum muslimin. Terlebih lagi saat itu umat Islam sedang berperang menghadapi bangsa Persia dan Romawi.

Ketika Umar memegang tampuk kursi khilafah menggantikan Abu Bakar ra pada tahun 13 H, ia menyebut dirinya dengan gelar “Khalîfatu khalîfati Rasûlillâh“, yaitu pengganti penggantinya Rasulullah saw. Selain itu, gelar yang disandang oleh Umar dalam memegang urusan khilafah adalah “amîrul mukminîn“. Hal ini disebabkan karena gelar “khalîfatu khalîfati Rasûlillâh” terlalu panjang hingga sebagian sahabat berkumpul dan mengeluarkan ide dengan gelar baru: “Kami adalah orang-orang beriman sedangkan Umar adalah pemimpinnya (amir)”.[6]Sejak itulah gelar “amîrul mukminîn” untuk sang khalifah populer, dan Umar merupakan orang yang pertama kali mendapat gelar tersebut sebagai khalifah.

Saat Umar memerintah, wilayah kekuasaan Islam sudah begitu meluas, yang mana meliputi jazirah Arab, sebagain wilayah kekuasaan Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir), serta seluruh kekuasaan Persia, termasuk Irak.[7]Karena luasnya wilayah kekuasaan Islam, maka Umar memerlukan usaha yang keras dan kontinyu, baik optimalisasi devisa negara, perencanaan sistem ekonomi, anggaran, operasional kerja ataupun pengawasannya.

Selama Umar memimpin pemerintahan, ia sangat memperhatikan rakyat yang dipimpinnya. Ia selalu mendengarkan keluhan dan protes rakyatnya, jalan ke pasar, keliling mengontrol rakyatnya di jalan, bahkan sering dengan menyamar sebagai rakyat biasa, sebab sulit membedakan antara penampilan dirinya dengan rakyat biasa jika tidak pernah mengenalnya.

Umar wafat pada hari rabu bulan dzulhijjah 23 H. Ia ditikam oleh seseorang yang bernama Abu Lu`lu`ah, ketika sedang memimpin solat subuh berjamaah. Periode pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun 5 bulan 21 malam.

Sistem Ekonomi pada Pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab r.a.

Membangun Lembaga Baitul Mal

Al-Mawardi menyebutkan bahwa baitul mâl adalah semacam pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan dan pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslimin. Tiap hak yang wajib dikeluarkan untuk kepentingan kaum muslimin maka hak tersebut berlaku untukbaitul mâl, maka harta tersebut telah menjadi bagian dari pengeluaranbaitul mâl, baik dikeluarkan dari kasnya maupun tidak.[8]

Adapun kewajiban baitul mâl adalah untuk mengamankan harta benda yang tersimpan di kas, dan untuk mengurus penerimaan kekayaan perbendaharaan yang meliputi: [9]

  • Mengurus nilai yang diterima

Umpamanya dengan cara kompensasi untuk membayar para serdadu atau harga senjata dan kuda.

  • Mengurus kepentingan umum.

Sebenarnya gagasan sistem baitul mâl (puclic treasury) ini sudah ada dan dikenal di zaman Rasulullah saw dan khalifah yang pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq ra, namun tidak secara kelembagaan. Di zaman pemerintahan Umar bin Khattab, fungsibaitul mâl lebih dikembangkan dan diefektifkan lagi, dengan mendirikan lembaga khusus untuk pengurusan dan pengelolaannya

Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi baitul mâl dilator belakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharâj sebesar 500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena itulah, Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan harta hasil pengumpulan pajak tersebut. Maka seluruh anggota kabinet (syûrâ) bersidang dan diminta pendapat mereka tentang penggunaan uang tersebut. Sahabat Ali lebih cenderung membagikannya kepada umat, tapi khalifah Umar menolak. Pada saat-saat yang menentukan itu, Walid bin Hisyam menyatakan bahwa dia pernah melihat raja Syria menyimpan harta benda secara terpisah dari badan eksekutif. Umar menyetujui pendapat ini dan lembaga perbendaraan umat Islam pun mulai terbentuk nyata. Harta benda tersebut pertama kali disimpan di ibukota Madinah. Dan untuk menangani lembaga tersebut, Umar menunjuk Abdullah bin Arqam sebagai bendahara negara dengan Abdurrahman bin Ubaid al-Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.[10]

Riwayat pendirian baitul mâl secara institusional di atas mengisyaratkan bahwa ide pendirian tersebut tidak orisinil dari Islam, akan tetapi berasal dari pengaruh pemerintahan-pemerintahan yang ada di masa itu, seperti pemerintahan kerajaan Romawi dan Persia. Adopsi sistem keuangan tersebut tidak lantas menyebabkan Umar akan mengaplikasikannya sama seratus persen dengan sistem pemerintahan kerajaan yang lain. Akan tetapi sistem dari non-Islam itu tetap dipilah dan dipilih sehingga tidak menyalahi aturan ketentuan syariat Islam.

Kebijakan yang diterapkan oleh Umar dalam lembaga baitul mâl di antaranya adalah dengan mengklasifikasikan sumber pendapatan negara menjadi empat, yaitu:

  • Pendapatan Zakat dan `Ushr.

Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di baitul mâl pusat dan dibagikan kepada delapan ashnâf, seperti yang telah ditentukan dalam al-Qur`an.

  • Pendapatan Khums dan Sedekah.

Pendapatan ini didistribusikan kepada fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang muslim atau bukan.

  • Pendapatan Kharâj, Fai, Jizyah, `Ushr, dan Sewa Tanah.

Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.

  • Pendapatan lain-lain.

Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[11]

Klasifikasi sumber pendapatan negara di atas sangat penting untuk diterapkan dalam pemerintahan Islam. Salah satu tujuannya adalah agar suatu sumber pendapatan tidak tercampur dengan sumber pendapatan yang lain. Seperti zakat dan pajak. Redistribusi pendapatan hasil zakat, sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu kepada 8 golongan (ashnâf) yang berhak menerima zakat. Dan jika terdapat sisa dari hasil pengumpulan zakat, maka khalifah dapat mengambil kebijakan untuk disesuaikan dengan kebutuhan sosial. Sedangkan redistribusi pajak dapat ditentukan oleh khalifah. dan umumnya hasil pemungutan pajak ditujukan untuk pembangunan negara. Karena itulah, para pejabat baitul mâl tidak mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap harta baitul mâl yang berupa zakat.

Selanjutanya dalam mendistribusikan harta baitul mâl, Umar mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:[12]

  • Departemen pelayanan militer.

Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. Besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap penerima dana.

  • Departemen kehakiman dan ekskutif.

Departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat ekskutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktik suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan kalaupun terjadi perbedaan, hal itu tetap dalam batas-batas kewajaran.

  • Departemen pendidikan dan pengembangan Islam.

Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah

  • Departemen jaminan sosial.

Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita

Di samping mendirikan beberapa departemen dalam pendistribusian harta baitul mâl, Umar juga menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikannya. Ia tidak senang memberikan bagian yang sama kepada orang-orang yang pernah berjuang menentang Rasulullah saw dengan orang-orang yang telah berjuang membela beliau. Menurut pendapatnya bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam harus diperhitungkan jika menetapkan bagian seseorang dari kelebihan harta bangsa itu. Prinsip keadilan menghendaki bahwa usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya. [13]

Karena hal itu, Umar membentuk sistem dîwân,yang menurut pendapat terkuat mulai dipraktekkan untuk pertama kalinya pada tahun 20 H. Dalam rangka ini, ia menunjuk sebuah komite nassâb ternama yang terdiri dari Aqil bin Abu Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut`im untuk membuat laporan sensus penduduk.

Setelah semua penduduk terdata, Umar mengklasifikasikan beberapa golongan yang berbeda-beda dalam pendistibusian harta baitul mâl sebagai berikut:[14]

NOPenerimaJumlah
1Aisyah dan Abbas bin Abdul Muthallib@ 12.000 dirham
2Para istri Nabi selain Aisyah@ 10.000
3Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badr@ 5.000 dirham
4Para pejuang Uhud dan migran ke Abysinia@ 4.000
5Kaum muhajirin sebelum peristiwa Fathu Mekah@ 3.000 dirham
6Putra-putra para pejuang Badr, orang-orang yang memeluk Islam ketika terjadi peristiwa Fathu Mekah, anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para pejuang perang Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyyah@ 2.000 dirham
7Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum muhajirin mendapat tunjangan@ 800 dirham
8Warga Madinah@ 25 dinar
9kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak@ 200 – 300 dirham
10serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui@ 100 dirham

Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiun berupa gandum, minyak, madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap wilayah. Peran negara yang turut bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah dunia. [15]

Sebagaimana yang diketahui tentang sosok Umar yang tegas dan bertanggung jawab, maka Umar melarang pihak ekskutif turut campur dalam mengelola harta baitul mâl.[16]Kebijakan Umar ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam tugas, atau penyalahgunaan pendistribusian pendapatan negara untuk kepentingan pribadi.

Pendirian Lembaga al-Hisbah

Hisbah adalah kantor atau lembaga yang berfungsi untuk mengontrol pasar dan moral (adab) secara umum.[17]Dalam implementasinya, lembaga al-hisbah memiliki empat rukun, yaitu:

Muhtasib

Muhtasib adalah orang yang menjalankan tugas-tugas al-hisbah. Pengelola ini harus memenuhi persyaratan seperti: muslim, mukallaf, merdeka, mendapat rekomendasi dari pemerintah setempat, mampu, dan berilmu.

Muhtasab `alaih,

Yaitu orang atau pihak yang melakukan perbuatan-perbuatan atau meninggalkan jenis-jenis perbuatan tertentu yang wajib atau boleh dikenakan tindakan al-hisbah. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang muhtasib tidak boleh pilih kasih dalam menindak dan mengenakan al-hisbah atas mereka.

Mushatab fîh,

Yaitu obyek al-hisbah yang meliputi berbagai macam perbuatan, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Nafs al-ihtisâb,

Yaitu cara atau tindakan al-hisbah.

Tujuan dari tindakan al-hisbah adalah penghapusan segala tindakan kemungkaran sekaligus menggantinya dengan kebajikan dan kemaslahatan sehingga tercipta rasa aman dan tentram serta keadilan dalam komunitas masyarakat.[18]

Adapun segmen kegiatan al-hisbah terhadap kontrol ekonomi itu di antaranya adalah:

  1. Membuat ketentuan hukum yang jelas agar tidak terjadi penyelewengan dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki.
  2. Mengontrol kesempurnaan alat takaran dan timbangan para penjual.
  3. Pedagang tidak dibenarkan untuk menyembunyikan kerusakan atau cacat yang ada pada barang perniagaannya dan dilarang bersumpah palsu dalam transaksi jual beli.
  4. Mengawasi jalur perdagangan tetap terbuka. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan atau penimbunan barang dari segelincir orang yang berakibat pada kelangkaan beberapa jenis barang, yang pada gilirannya berimplikasi pada terjadinya inflasi.
  5. Pedagang dilarang mengadakan monopoli terhadap suatu produk pasar tertentu.
  6. Menentukan harga standar bagi produk-produk yang akan dipasarkan.
  7. Dalam urusan kredit, seorang muhtasib hendaklah memastikan segala urusan perniagaan terbebas dari unsur riba.
  8. Seorang muhtasib memiliki wewenang untuk memaksa peminjam agar membayar pinjamannya jika dianggap mampu, sebaliknya ia juga berkuasa untuk menangguhkan hutang sampai orang yang berhutang dianggap mampu membayar hutangnya.
  9. Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kemudahan pada rakyatnya seperti makanan, pekerjaan, perumahan, dan lain sebagainya. Selain itu, orang-orang miskin dan tidak mampu, diberi modal usaha yang dananya diperoleh dari dana infaq dan sedekah sehingga kemiskinan dapat teratasi.[19]

Menilik sejarah, tanggung jawab al-hisbah mulanya dipikul oleh Rasulullah s.a.w. sehubungan dengan adanya perintah Allah kepada Nabi saw sebagai rasul untuk selanjutnya disampaikan kepada umatnya agar senantiasa mengajak kepada kebaikan dan menghindari kemungkaran. Kemudian beliau mengangkat beberapa orang sahabat yang diberi tugas untuk mengawasi jalannya suatu transaksi bisnis. Di kota Madinah itulah, beliau mengangkat Said bin Ash dan seorang wanita yang bernama Samra binti Nuhak sebagai pengawas pasar.

Lembaga al-hisbah ini dihidupkan kembali oleh Umar dengan mengangkat seorang sahabat wanita yang bernama asy-Syifa binti Abdullah, yang bertugas sebagai pengawas pasar di kota Madinah. Di samping itu, Umar juga mengangkat Abdullah bin Utbah sebagai inspektur pasar sekaligus bertindak sebagai hakim (qâdhi).[20]Perbedaannya, di masa Rasulullah,al-hisbah masih belum berbentuk lembaga. Sedangkan di masa Khalifah Umar,al-hisbah ini sudah menjadi lembaga khusus dalam mengawasi hal-hal yang terjadi dalam pasar.

Reformasi Atas Hak Tanah

Problem hak kepemilikan tanah memang merupakan masalah yang rumit untuk dipecahkan dari zaman ke zaman. Tidak jarang terjadi persengketaan, bahkan pertumpahan darah, akibat dari persoalan hak kepemilikan tanah ini. Seiring dengan pertambahan penduduk, tanahpun menjadi semakin langka atau sempit, dan harganya juga kian meningkat. Alasan utama meningkatnya harga tanah memang pertambahan penduduk. Karena secara alamiah, semakin banyak penduduk di suatu daerah, lahan untuk tempat dan garapan tempat tinggal akan kian dibutuhkan.

Ada tiga sifat tanah yang harus diingat, dan ini tidak dipunyai oleh unit-unit produktif lainnya:

  1. Tanah dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen bagi manusia
  2. Tanah kuantitasnya terbatas
  3. Tanah bersifat tetap
  4. Tanah bukan produk tenaga kerja.

Jadi segala sesuatu yang selain tanah adalah produk tenaga kerja. Tetapi bumi pun akan memberikan hasil baik jika digarap dengan baik.[21]Sifat-sifat tanah ini harus diketahui terlebih dahulu sebelum mengambil kebijakan dalam persoalan hak kepemilikan tanah.

Sepanjang pemerintahan Umar, banyak daerah yang ditaklukkan melalui perjanjian damai. Penaklukkan ini memunculkan banyak masalah baru. Di antaranya mengenai hak kepemilikan tanah yang sudah ditaklukkan. Islam memandang tanah dan semua yang terkandung di dalamnya harus digunakan untuk kepentingan umum dan rakyat, dan setiap orang berhak mendapatkan makanan dari pengelolaan tanah.

Dari sudut Islam, tanah sesungguhnya milik Allah, dalam pengertian milik setiap kelompok masyarakat (komunitas). Dan tak seorang pun boleh mendapatkan hak istimewa atasnya, oleh karena itu siapa yang mengerjakan tanah yang terlantar, maka dialah pemiliknya. Ini sesuai dengan sebuah hadits Rasulullah dari penuturan Aisyah:[22]

Pengolahan tanah terbengkalai yang bukan milik siapapun, maka dialah yang memilikinya” (HR. Bukhari).

Umar menafsirkan hadits tersebut bahwa Rasulullah menginginkan agar tanah-tanah luas yang telah dikuasai kaum muslimin haruslah dipikirkan pemanfaatannya di masa depan. Maka ketika para pejuang mendesak dengan sangat agar tanah taklukan dibagi-bagikan kepada mereka, bersama beberapa rampasan perang lainnya, Umar menolak dengan tegas. Ia tidak mau menyerahkan tanah perkebunan dari tanah taklukan lainnya kepada para prajurit.

Dari sini ia sampai kepada kesimpulan akan perlunya pengawasan yang ketat dalam pendistribusian tanah untuk mencegah terjadinya pembagian yang tidak adil. Hak kepemilikan tanah dicabut dari pemilik aslinya, dan kemudian si pemilik asli beralih menjadi petani biasa atau hamba atau budak pengelola tanah. Selanjutnya hak kepemillikan diberikan menurut ketentuan-ketentuan baru. Jika salah seorang pemilik baru menjual tanahnya, pengelolaannya itu dialihkan kepada pembeli berikut tanahnya. [23]

Umar menetapkan beberapa ketentuan, di antaranya jika suatu saat komunitas muslim semakin bertambah banyak, maka negara berhak untuk mengambil kembali tanah tersebut sebagai perbendaharaan guna memenuhi kebutuhan negara. Jadi jelas meskipun berwenang mengambil alih hak kepemilikan, negara juga harus dan berhak mengatur jangka waktu pemilikan tanah. Bisa saja tanah dijadikan milik pribadi dengan mengenakan pajak tanah atasnya, tapi negara juga bisa menguasai tanah yang luas dengan memberi ganti rugi dan kemudian menjadikannya milik umum.

Umar menyadari pentingnya sektor pertanian untuk memajukan ekonomi negeri. Karena itu beliau mengambil langkah-langkah pengembangan dan mengembalikan kondisi orang-orang yang bekerja di bidang itu. Dia menghadiahkan kepada orang yang sejak awalnya mengolahnya. Tapi siapa saja yang selama tiga tahun gagal mengolahnya, maka yang bersangkutan akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut.[24]

Semasa Umar, tanah yang dinyatakan sebagai milik negara berjumlah sekitar 4.000.000 hektar. Pendapatan dari tanah ini mencapai 7.000.000 dinar setiap tahun, yang semata-mata digunakan untuik kesejajahteraan umat. Jumlahkharâjdari Iraq berkisar 86.000.000 dirham setiap tahun. Dengan penerapan sistem ini, tanah-tanah yang sebelumnya tidak terurus, kemudian terolah baik, sehingga pada tahun kedua terjadi lonjakan pendapatan yang tinggi sekali, dari 86.000.000 menjadi 100.020.000 dirham. [25]

Keutamaan dan Kelemahan Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab

Abu Ubaid pernah menuturkan sebuah riwayat tentang kesuksesan Umar dalam kitab nya al-Amwâl sebagai berikut: [26]

Pada masa Umar, Muadz bin Jabal pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah,[27]karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun Umar mengembalikannya. Ketika Muadz mengirimkan kembali sepertiga hasil zakat tersebut, Umar juga kembali menolaknya dan berkata: “Aku tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi aku mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga.” Muadz menjawab: “Seandainya aku menjumpai orang miskin di sana, tentu aku tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu.”

Pada tahun kedua setelah itu, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipunugutnya di Yaman kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Dan pada tahun ketiga, Muadz berkata: “Aku tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang aku pungut.”

Riwayat di atas menunjukkan kesuksesan Umar dalam memerintah, khususnya dalam bidang ekonomi. Namun bukan berarti semua kebijakan yang ia ambil itu sempurna. Salah satunya adalah prinsip keutamaan yang ia terapkan dalam mendistribusikan uang negara kepada rakyatnya. Prinsip ini menyebabkan ketimpangan di bidang ekonomi dan sosial. Dan sikapnya ini mengundang reaksi dari salah seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam. Menurutnya, tindakan Umar ini akan memicu lahirnya sifat malas di kalangan para pedagang yang berakibat fatal bagi kelangsungan hidup mereka sendiri, jika suatu saat pemerintah menghentikan kebijakan tersebut.[28]

Umar menyadari kekeliruannya ini dan mengubah pendapatnya serta bersumpah jika ia masih hidup di tahun yang akan datang, ia akan menyamakan semua bantuan dan pembagian kepada seluruh rakyatnya. Dalam pernyataannya yang populer berbunyi: [29]

Aku bersumpah demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang tidak mempunyai hak atas kekayaan (harta) ini (yang diterima dari orang banyak) meskipun dalam prakteknya ia mungkin memperoleh atau memiliki hak melebihi dari yang lainnya selain seorang budak. Kedudukanku dalam hal ini sama dengan kalian dan derajat kita akan ditentukan berdasarkan Kitab Allah dan Rasulullah saw. Demi Allah! Sesungguhnya jika aku masih hidup, maka pengembala di bukit sanapun akan memperoleh bagian dari harta ini di tempatnya sendiri”.

Namun sayangnya, Umar wafat sebelum harapannya tersebut belum dapat ia realisasikan dalam kepemimpinannya. Meskipun demikian, Umar tetap merupakan salah satu pemimpin yang disegani oleh rakyatnya, baik muslim maupun non-muslim, bahkan ia adalah salah satu sosok pemimpin yang banyak dikagumi sampai saat ini.

[1] Kahf, Monzer, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka pelajar, September 1995, cet. Ke-1, hal. 7.

[2] Ibid., hal. 8.

[3] Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, Juli 2003, cet. Ke-6, jilid I, hal. 203

[4] Al-Jauzi, Ibnu, Manâqib Amîr al-Mukminîn Umar ibn Khattâb, Beirut: Dar wa Maktabat al-Hilal, hal. 15

[5] Ibid., hal. 32

[6] Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Târîkh ath-Thabari, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, cet. Ke-1, juz 2, hal. 569

[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, September 2004, cet. Ke-1, edisi kedua, hal. 58

[8] Al-Mawardi, Abu al-Husain Ali ibn Muhammad,al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Dar al-Fikr, 1960, cet. Ke-1, hal. 213

[9] Mannan, M. Abdul, Ekonomi Islam: Teori dan Paktek, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, Terj. Nastangin, hal. 180

[10] Ra`ana, Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn Khattab, Pustaka Firdaus, 1977, Terj. Mansuruddin Djoely. cet. Ke-2, hal. 150

[11] Adiwarman, op.cit., hal. 74

[12] Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, Jilid I, hal. 169-173

[13] Afzalurrahman, op.cit., hal. 164

[14] Essays on Iqtisâd. Editor: Dr. Baqir al-Hasani dan Dr. Abbas Mirakhor, USA: NUR, 1989, hal. 159-160

[15] Ra`ana, op.cit., hal. 160.

[16] Ra`ana, op.cit., hal. 61

[17] A. Wahab Afif, Mengenal Sistem Ekonomi Islam, MUI Provinsi Banten, hal. 85

[18] Ibid., hal. 72-73

[19] Ibid., hal. 74-75

[20] Ibid., hal. 86

[21] Ra`ana, op.cit., hal. 18-19

[22] Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah,Shahîh al-Bukhâri, Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Thaha Putra, tt, juz 3, hal. 70

[23] Ibid., hal. 32

[24] Ibid., hal. 39. dan Muhammmad, Quthb Ibrahim,Kebijakan Ekonomi Umar ibn Khattab, Pustaka Azzam, Juni 2002, Terj. Ahmad Syarifuddin Shaleh, cet. Ke-1, hal. 95

[25] Ibid., hal. 127

[26] Sallam, Abu Ubaid Qasim ibn,Kitâb al-Amwâl, Kairo: Darus Salam, 2009, cet. ke-1 hal. 596

[27] Muadz bin Jabal adalah seorang sahabat sekaligus staf Rasulullah saw yang diutus untuk memungut zakat di wilayah Yaman. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana

[28] Adiwarman, op.cit., hal. 64

[29] Afzalurrahman, op.cit., hal. 176

Baca Juga: