Menu Tutup

Suara Wanita Aurat atau Bukan?

A. Pengertian

Secara bahasa suara adalah bunyi. Menurut istilah suara adalah apa-apa yang keluar dari mulut berupa bunyi yang membentuk suatu perkataan.

Islam sangat memuliakan wanita, sehingga ada beberapa syariat yang hanya dikhususkan bagi seorang wanita. Seperti halnya dalam masalah haidh, nifas, istihadhoh, aurat dan lain sebagainya.

Aurat wanita pada dasarnya adalah seluruh bagian tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan menurut jumhur ulama. Walaupun dalam Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa telapak kaki bukanlah aurat. Dalam hal ini jelas sekali bahwa ulama tidak menyebutkan suara wanita sebagai aurat.

B. Hukum

Jumhur ulama sepakat bahwa suara wanita itu bukan aurat. Sehingga laki-laki asing yang bukan mahramnya boleh mendengar suara seorang wanita dewasa. Sehingga mendengar wanita berbicara atau bersuara, tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam Islam.

Syaikh Dr. Wahbah Zuhaili Hafizhahullah berpendapat bahwa suara wanita menurut jumhur ulama bukanlah aurat, karena para sahabat Nabi mendengarkan suara para istri Nabi SAW untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita  yang disuarakan dengan melagukan dan mengeraskannya, walaupun dalam membaca Al Quran, dengan sebab khawatir timbul fitnah.[1]

Dalam Hasyihah Qolyusii dikatakan : “Ada pun suara wanita,  jika si pendengarnya berlezat-lezat dengannya atau menikmatinya, atau khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan mendengarkannya, jika tidak khawatir dengan fitnah maka tidak diharamkan. Para sahabat radhiyallahu’anhum mendengarkan suara wanita ketika berbincang dengan mereka (dan itu tidak mengapa).2

C. Dalil-dalil

Di antara dalil bahwa suara wanita bukan aurat adalah bahwa para istri Nabi berbicara langsung dengan para shahabat, tanpa menggunakan perantara mahram atau juga tidak dengan tulisan.

Ketika ibunda mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan hadist dari Rasulullah SAW, beliau tidak menuliskannya di dalam sebuah makalah atau buku, melainkan beliau berbicara langsung kepada para shahabat Rasulullah SAW.

Padahal beliau termasuk perawi hadits yang sangat produktif, sehingga bisa kita bayangkan bahwa sosok beliau adalah seorang guru atau dosen agama wanita yang banyak berceramah atau memberi kuliah di depan para shahabat lainnya. Bahkan hampir semua hadits tentang fiqih wanita, didapat oleh para shahabat dari kuliahkuliah yang disampaikan oleh Aisyah ra.

Semua ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan dalam syariah untuk mendengar suara wanita. Sebab kalau suara wanita dikatakan sebagai aurat, seharusnya kita tidak akan pernah menemukan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dan ummahatul mukminin lainnnya.

Namun kenyataannya, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh istri-istri nabi SAW sangat banyak menghiasi kitab-kitab hadits.

Demikian juga klta ketahui bahwa Rasulullah SAW berbicara langsung juga dengan para wanita shahabiyah, juga tidak menggunakan perantaraan atau pun tulisan. Bahkan ketika Rasulullah SAW berbai’at, beliau berbicara dengan para wanita secara langsung. Tidak lewat surat atau tulisan sebagaimana yang sering kita lihat di zaman sekarang ini.

Dan tentunya kita ingat bahwa Rasulullah SAW punya satu hari khusus untuk mengajarkan para wanita ilmu-ilmu agama. Dan pengajaran ini diberikan langsung oleh Rasulullah SAW tanpa perantaraan para istrinya. Beliau berbicara dan berdialog secara langsung dengan para wanita.

Lebih jauh lagi, kita pun mendapatkan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW dan beberapa shahahat diriwayatkan pernah mendengar nyanyian yang dinyanyikan para wanita anshar. Dan beliau tidak melarang mereka dari bernyanyi. Lepas dari perbedaan para ulama dalam menetapkan hukum nyanyian.

Maka dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang wanita bersuara di depan orang laki-laki, karena suara mereka bukan termasuk aurat. Dan hal ini sudah sampai kepada suara mayoritas dari nyaris hampir semua ulama. Boleh dikatakan bahwa jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa suara seorang wanita pada dasarnya bukan aurat.

1. Al-Qur’an

Allah Subhanahuwata’ala menceritakan wanita yang mengadu kepada Nabi Shallalahu Alaihi Wasallam tentang dzihar yang dilakukan suami wanita tersebut. Firman-Nya adalah sebagai berikut :

قدَْ سََِعَ ا هللَُّ قوَْلَ الهتِِ تَُُادِلَُُ فِِ زَوْجَِِا وَتشَْ تكَِِ اِلََ ا هللَِّ وَا هللَُّ يسَْمَعُ تَََاوُرَكُُمَ اِ هن ا هللََّ سََِيعٌ بصَِير.

“Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua . ( QS. Al Mujadalah : 1)

Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Ath-Thabar dalam kitabnya Jamî’ al-Bayn ‘an Ta’wil Ay alQur’an vol 22, halaman 447. Ayat ini turun berkenaan dengan masalah yang dihadapi Khaulah binti Tsa’labah yang ditinggal suaminya, Aus ibn Samit.

Diriwayatkan oleh Siti Aisyah, pada suatu ketika datanglah Khaulah binti Tsa’labah yang mengadu dan mendebat kepada Rasulullah tentang sikap suaminya, Aus ibn Samit, yang tiba-tiba meninggalkannya. Khaulah menyampaikan bahwa selama menjadi istri, ia selalu melayani Aus dengan penuh kasih. Tetapi, saat usia mulai beranjak tua dan ia tak dapat melahirkan, Aus justru menziharnya. Khaulah pun mempertanyakan kepantasan zihar yang dilakukan suaminya tersebut kepada Rasul.

Dan tentu saja pengaduan Khaulah tersebut kepada Nabi mengunakan kata-kata, bukan dengan bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam akan mau mendengar suara wanita tersebut bila hal tersebut adalah aurat.

Dalam al Qur’an terdapat kisah tentang dialog Nabi Musa Alaihissalam dengan dua wanita kakak beradik, yakni putri nabi Syu’aib, Firman-Nya

“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembalapengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” (QS. Al Qashash : 23)

Dan disambung diayat selanjutnya :

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalumaluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami”. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.” (QS: Al-Qashash: 25)

Demikianlah, masih banyak dalil dalam AlQur’an yang menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat. Baik dalil-dalil tersebut bersifat umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu.

2. Sunnah

Shahabiyah (sahabat wanita) mereka berbicara dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Banyak hadits yang menceritakan bahwa para Shahabiyah dahulu juga bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini :

Dari Ibnu Abbas h, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari no : 1852)

Para Shahabat mendatangi ummul mukminin untuk bertanya hukum agama. Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara dengan orang-orang yang datang.

Al Ahnaf ibn Qais berkata : “Aku telah mendengar hadits dari mulut Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku mendengarnya dari mulut ‘Aisyah.” (HR. Al Hakim)

Musa bin Thalhah ra. berkata :

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَفْصَحَ مِنْ عَائِشَةَ

“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah.” (HR. Tirmidzi)

[1] Dr. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islam Wa Adillatuhu” jilid 1 hal. 755 2 Hasyihah Qolyusii jilid 3 hal. 208

Sumber: Aini Aryani, Traveling Tanpa Mahram, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019

Baca Juga: