Menu Tutup

Syarat Sah Khutbah Jumat

[otw_shortcode_dropcap label=”S” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]etelah membahas 5 rukun Khutbah, Imam Nawawi meneruskan penjelasannya dengan menyebutkan syarat-syarat sah khtubah yang jumlahnya ada 8. Artinya rukun yang dibaca itu mnejadi percuma jika 8 syarat ini tidak terpenuhi.

Dan disyaratkan;

  1. khutbah itu disampaikan dengan bahasa Arab secara berurutan di 3 rukun pertama.
  2. Dan itu (khutbah) dilakukan setelah waktu zawal (tergelincir matahari ke arah barat).
  3. Berdiri bagi yang mampu,
  4. Duduk diantara kedua khutbah,
  5. Memperdengarkan khutbah kepada 40 orang sempurna, Pendapat al-jadid menyebutkan tidak diharamkan berbicara bagi para pendengar khtubah, akan tetapi disunnahkan diam (mendengarkan). Aku (al-Nawawi) mengatakan bahwa yang paling shahih itu rukun yang berurutan bukanlah syarat. Wallahu a’lam.
  6. Pendapat yang azhar, (syarat khutbah) haruslah bersambung (muwalat),
  7. Dan suci dari hadats (kecil dan besar), kotoran (badan, pakain & tempat) dan
  8. juga tertutup auratnya (khathib).

Menggunakan Bahasa Arab

Syarat sah-nya khtubah jumat adalah semua rukun disampaikan dengan bahasa Arab. Alasannya karena ini adalah ibadah ritual, alias ta’abbudiy, maka untuk menunaikannya harus sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi s.a.w., dan beliau s.a.w. tidak menyampaikan kecuali dengan bahasa Arab.

Ini seperti takbiratul Ihram dan Surat al-fatihah dalam shalat. Ia harus dikerjakan sebagaimana datangnya; yakni dengan bahasa Arab. Karena kesemua adalah dzikir yang diwajibkan, maka tidak bisa diganti dengan selain bahasa yang dicontohkan.

Karenanya, jika dalam satu kampung tidak satupun ada yang bisa berbahasa arab, setidaknya untuk melaksanakan rukun khutbah ini, maka gugur kewajiban jumat bagi mereka. Dan kesemuanya diwajibkan untuk mempelajari bahasa arab secara kifayah (Fardhu Kifayah).

Dan pembacaan 3 rukun khutbah pertama selain diharuskan dengan bahasa Arab, ia juga diharuskan berurutan. Jadi dimulai dengan Hamdallah, kemudian Shalawat kepada Nabi s.a.w., lalu wasiat taqwa.

Dilakukan Setelah Zawal

Dalam pandangan madzhab al-Syafi’iyyah, shalat Jumat itu waktunya adalah waktu zuhur; yakni setelah zawal (tergelincirnya matahari ke arah barat). Karena memang khutbah adalah rangkaian awal shalat Jumat, maka itu khutbah harus dipastikan dilakukan di waktunya; yakni waktu zuhur, bukan sebelumnya.

Dalam al-Majmu’ Imam Nawawi menyebutkan: bahwa sudah menjadi sesuatu yang diketahui banyak orang bahwa Nabi s.a.w., keluar rumah untuk shalat jumat itu langsung menuju mimbar untuk memulai khutbah, dan itu beliau s.a.w. lakukan setelah zawal.

Berdiri Bagi Yang Mampu

Syarat berdiri ketika khutbah ini karena memang begitu yang dicontohkan oleh Nabi s.a.w., dalam banyak riwayat tentang khutbah beliau s.a.w.; karenanya itu juga dijadikan syarat sah.

Tentu kondisi wajibnya berdiri bagi seorang khathib adalah ketika ia mampu. Jik ia tidak mampu berdiri, boleh baginya duduk, sampai seterusnya sebagaimana keringanan yang diberikan dalam shalat.

Duduk Diantara 2 Khutbah

Dalilnya sama seperti syarat-syarat yang lain, bahwa ini semua adalah ittiba’an alias mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi s.a.w., dan khutbah ini kan hanya rangkaian doa dan dzikir; karenanya berdiri dan duduk menjadi syarat sah, bukan rukun. Berbeda dengan shalat yang menjadikan berdiri serta duduk sebagai rukun; karena memang shalat itu rangkaian gerakan dan ucapan.

Nah, duduknya khathib diantara 2 khutbah disyaratkan adanya thuma’ninah sebagaimana duduk dalam shalat. Dan lamanya thuma’ninah paling sebentar itu adalah sekedar bacaan tasbih; yakni subhanallah.

Memperdengarkan Khutbah Kepada 40 Orang

Maksudnya adalah khutbah yang disampaikan termasuk rukun-rukunnya tersebut haruslah mencakup kepada 40 orang yang wajib jumatan. Terepas dari apakah si makmum itu menyimak atau tidak, memahami atau tidak. Yang jadi standar adalah suara khathib dengan rukun-rukun khutbahnya tersebut mencapai telinganya.

Karena memang syarat kuota jemaah dalam madzhab al-Syafi’iyyah adalah 40 orang; maka kewajiban memperdengarkan khutbah itu juga harus mencapai 40 orang.

Semua Rukun Khutbah Bersambung (Muwalat)

Muwalat itu bersambungnya rukun yang satu dengan rukun selanjutnya tanpa ada kalimat penghalang atau jeda panjang yang memisahkan. Artinya dalam menyampaikan khutbah, dari rukun saru sampai rukun selanjutnya ke akhir, disampaikan tanpa adanya jeda, atau dipisahkan dengan kalimat yang bukan bagian dari rukun khutbah.

Ada 2 pendapat sebenarnya dari Imam al-Syafi’i dalam masalah ini. Satu pendapat, beliau melihat tidak wajib atau tidak harus rukun-rukun khutbah itu penyampaiannya bersambung satu dengan yang lain; maksudnya boleh terpisah. Itu karena maksud dan tujuan khutbah itu memberikan peringatan tentang ketaqwaan dan juga ketaatan, dan itu bisa dilakukan waluapun terpisah.

Akan tetapi pendapat lain dari Imam al-Syafi’i mensyaraytkan muwalat dalam khutbah; karena itu jauh lebih mengena kepada hati. Dan pendapat inilah yang dinilai azhar2 oleh Imam Nawawi.

Suci Dari Hadats

Karena khutbah itu juga rangkain dari pada shalat Jumat, maka untuk keabsahannya, disyaratkan suci dari hadats baik kecil atau besar. Dan badan, pakaian serta tempat harus bebas dari najis yang tidak dimaafkan.

Menutup Aurat

Ini juga syarat yang ditetapkan mengikuti apa yang disyaratkan dalam shalat, karena memang khutbah bagian dari rangkaian shalat Jumat. Karenanya, sang Khathib haruslah orang yang tertutup auratnya dalam melasanakan syarat shalat jumat tersebut.

Baca Juga: