Menu Tutup

Tahun Duka Cita dan Isra’ Mi’raj

Abu Thalib dan Khadijah Wafat

Tidak lama setelah pembaikotan itu dihentikan, pada tahun ke-10 dari kenabian, Nabi Muhammad s.a.w. berganti menghadapi tiga peristiwa yang menyedihkan pula sehingga tahun itu disebut dengan tahun duka cita. Bararti selesai dari tahun pembaikotan memasuki tahun kesedihan dan kepedihan atau yang lebih dikenal dengan tahun duka cita.

Adapun tiga peristiwa tersebut; Pertama, pamannya, Abu Thalib, pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun.

Kedua, tiga hari setelah itu, meninggal dunia pula istrinya, Khadijah, dalam usia 65 tahun. Sepeninggal dua pendukung utamanya itu, kafir Quraisy tidak segan-segan lagi melampiaskan nafsu amarah mereka terhadap Nabi. Melihat reaksi penduduk Makkah yang semakin brutal itu, terutama pamannya Abu Lahab dan istrinya. Nabi kemudian berusaha menyebar luaskan Islam keluar kota Makkah, yaitu ke negeri Thaif.

Ketiga, ketika Nabi berdakwah di Thaif, beliau diejek, disoraki, dan dilempari batu, bahkan sampai terluka di bagian kepala dan badannya.

Dari tiga peristiwa yang menyedihkan Nabi tersebut di atas menjadi penyebab tahun  itu disebut dengan tahun duka cita dalam sejarah Islam. Perlu dicatat, tidak ada satu Rasul-pun sebelum Nabi Muhammad yang sampai dikenal dengan tahun duka cita kecuali hanya Nabi Muhammad s.a.w. saja..

Isra’ Mi’raj

Dalam situasi berduka cita di tahun duka cita yang dialami Nabi secara beruntun tahun ke-10 dari kenabian tersebut di atas Allah mengisra’ mi’rajkan Nabi Muhammad s.a.w., pada tahun ke-10 itu juga, antara lain, tujuannya adalah untuk menghibur hati Nabi yang sedang berduka cita tersebut.

Berita Isra’ Mi’raj itu menggemparkan masyarakat Makkah. Nabi yang kesulitan mengumpulkan orang Makkah untuk menyampaikan berita isra’ mi’raj ini dapat dibantu Abu Jahal dengan harapan kaumnya mendustakan Nabi, sedang bagi orang beriman, peristiwa ini merupakan ujian keimanan. Melalui isra’ mi’raj itu, kewajiban  sholat lima kali sehari semalam mulai dilaksanakan.

Kaitan antara tahun duka cita dengan isra’ mi’raj Nabi adalah untuk menghibur hati Nabi yang sedang berduka cita ketika itu dengan memperlihatkan beberapa Rasul yang juga mendapat tantangan dari kaumnya sekaligus memohon pertolongan Allah Swt. menghadapi tantangan orang-orang kafir itu.

Ternyata setelah peristiwa Isra’ mi’raj, muncul perkembangan besar bagi dakwah Islam. Karena sejumlah penduduk Yatsrib yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj yang berhaji ke Makkah, mereka menemui Nabi dan masuk Islam dalam tiga gelombang.[1]

Pertama, pada tahun ke-11 kenabian, 6 orang dari suku Khazraj menemui Nabi dan menyatakan diri masuk Islam. Mereka mengharapkan Nabi agar bersedia mempersatukan kaum mereka yang saling bermusuhan di Yatsrib.

Kedua, pada tahun ke-12 kenabian, terdiri dari 10 orang suku Khazraj, 2 orang suku Aus dan seorang wanita menemui Nabi dan menyatakan ikrar kesetiaan kepada Nabi; “Kami tidak akan mencuri, tidak berbuat zina, tidak akan membunuh anak-anak kami, tidak akan fitnah memfitnah dan tidak akan mendurhakai Nabi Muhammad s.a.w.48

Rombongan ini kembali ke Yatsrib sebagai juru dakwah Nabi di Yatsrib.

Ketiga, pada tahun ke-13 kenabian, sebayak 73 orang dari Yatsrib meminta kepada Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib. Saat ini Nabi ditemani pamannya Abbas yang belum lagi masuk Islam. Abbas meminta kepada merega agar benarbenar membela Nabi, baru dia izinkan hijrah ke Madinah. Selanjutnya Nabi minta perjanjian dari mereka; “Saya ingin mengambil perjanjian dari kamu semua, bahwa kamu akan menjaga saya sebagaimana kamu menjaga keluarga dan anakanak kamu sendiri”. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala macam ancaman. Nabi menyetujui usul yang mereka ajukan.[2]

Setelah kaum Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dan orang-orang Yatsrib itu, mereka semakin gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat Nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib. Dalam waktu dua bulan, lebih kurang 150 orang kaum muslimin telah meninggalkan kota Makkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tinggal bersama Nabi di Makkah. Keduanya menemani dan membela Nabi sampai Nabi hijrah ke Yatsrib karena kafir Quraisy sudah merencanakan akan membunuhnya.

Dalam musyawarah kafir Quraisy yang berencana hendak membunuh Nabi, Abdul Jahal mengusulkan agar pembunuhan dilakukan oleh seluruh kabilah Arab melalui wakil masing-masing. Dengan cara begini, keluarga Nabi tidak akan mampu menuntut balas atas kematiannya. Berita tentang rencana pembunuhan Nabi itu diberitahukan Allah Swt. kepada Nabi dan diperintahkan agar segera meninggalkan kota Makkah.

Sumber: Nasution, Syamruddin. “Sejarah Perkembangan Peradaban Islam.” (2017).

Baca Juga: