Menu Tutup

Talak, Khulu’, Syiqaq, Fasakh, Ila’, Zihar, dan Li’an

Walaupun pada dasarnya melakukan perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya, akan tetapi adakalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan, diputuskan di tengah jalan atau terpaksa diputus dengan sendirinya, atau dengan kata lain terjadi perceraian antara suami istri.[1]

Meskipun Islam menyariatkan perceraian tetapi bukan berarti Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perekawinan, dan perceraian tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Meskipun pada dasarnya perceraian itu diperbolehkan, akan tetapi Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah suatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum Islam.

Adapun sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan (perceraian) menurut hukum Islam ialah sebagai berikut :

Talak

Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu dari pada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi.

Adapun syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah berakal sehat, telah baligh, tidak karena paksaan. Semua para ahli fikih sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah dewasa, baligh dan atas kehendak sendiri, bukan terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga.

Khulu’

Talak khulu’ atau talak tebus ialah perceraian atas persetujuan suami istri dengan jatuhnya talak satu kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan cara khulu’.[2]

Dasar diperbolehkannya khulu’ ialah : surat al-Baqarah ayat 229, sebagai berikut :

Artinya : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah[3]

Adapun syarat sahnya khulu’ ialah sebagai berikut :

  1. Perceraian dengan khulu’ itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan suami istri.
  2. Besar kecilnya jumlah uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami istri.

Apabila tidak dapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang tebusan, hakim Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan itu.

Syiqaq

Syiqa>q itu berarti perselisihan atau menurut istilah fikih berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan satu orang dari pihak istri.

Pengangkatan hakam kalau terjadi syiqa>q ini, ketentuannya terdapat dalam al-Qur’an surat an-Nisa>’ ayat 35, yang berbunyi :

Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.[4]

Menurut Kamal Mukhtar tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut :

  1. berlaku adil di antara pihak yang berperkara;
  2. dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami istri itu;
  3. kedua hakam disegani oleh kedua belah pihak (suami istri);
  4. hendaklah berpikir kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak lain tidak mau berdamai.[5]

Fasakh

Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atau permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.

Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang istri menuntut fasakh di pengadilan ialah :

  1. Suami sakit gila;
  2. Suami menderita penyakit menular yang tidak mungkin untuk sembuh;
  3. Suami tidak mau atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin;
  4. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada istrinya;
  5. Istri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami;
  6. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.[6]
  7. Ta’liq talaq

Arti dari pada ta’liq ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’liq talaq ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu.

Pembacaan ta’liq talaq ini tidak merupakan keharusan hanya secara sukarela, tetapi pada umumnya hampir semua suami mengucapkan ta’liq setelah melakukan akad nikah. Ta’liq talaq ini diadakan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan si istri supaya tidak dianiaya oleh suami.

Ketentuan diperbolehkannnya mengadakan ta’liq itu tercantum di dalam al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 128, yang berbunyi :

Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[7]

Ila’

Ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid Ila’ artinya sumpah suami yang tidak akan mencampuri istrinya dalam masa yang lebih dari 4 bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.[8]

Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaknya ditunggu sampai 4 bulan kemudian kembali baik kepada istrinya sebelum sampai 4 bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat) saja. Tapi kalau sampai 4 bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih di antara dua perkara; membayar kaffarat sumpah serta kembali baik kepada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau tidak mau menjalankan salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka dengan paksa. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah 226-227:

Artinya : Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan jika mereka ber`azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[9]

Mengenai cara kembali dari sumpah ila’ tersebut dalam ayat di atas ada 3 pendapat:

  1. Kembali dengan mencampuri istrinya itu, berarti mencabut sumpah dengan melanggarnya (berbuat) sesuatu yang menurut sumpahnya tidak akan diperbuatnya. Apabila habis masa 4 bulan ia tidak mencampuri istrinya itu, maka dengan sendirinya kepada istri jatuh talak bain;
  2. Kembali dengan campur jika tidak halangan, tetapi jika ada halangan, boleh dengan lisan atau dengan niat saja;
  3. Cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan ataupun tidak.[10]

Zihar

Zihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti zihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa istrinya baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan istrinya. Ketentuan mengenai zihar diatur dalam al-qur’an surat al-Mujadalah ayat 2-4, sebagai berikut :

Artinya: Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguhsungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun, Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukumhukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.[11]

Adapun denda zihar ialah :

  1. Memerdekakan hamba sahaya;
  2. Kalau tidak dapat memerdekakan hamba sahaya, puasa 2 bulan berturutturut;
  3. Kalau tidak kuat puasa, memberi makan 60 orang miskin tiap-tiap orang ½ sa’ fitrah (3/4) liter;

Tingkatan ini perlu berurutan sebagaimana tersebut di atas, dan wajib dijalankan ialah yang pertama dahulu, kalau yang pertama tidak mampu, baru pindah ke jalan yang kedua, begitu seterusnya.

Li’an

Arti li’an ialah laknat yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Dalam hukum perkawinan sumpah li’a>n ini dapat mengakibatkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.

Sedangkan menurut Abu Bakar mendefinisikan, kata li’an itu diambil dari sulasi mujarrad al-la’nu (kutukan), karena sesungguhnya suami mengucapkan pada kali yang kelima setelah bersumpah itu.[12] Akibat li’an suami, timbul beberapa hukum:

  1. Dia tidak disiksa (didera);
  2. Si istri wajib disiksa (didera) dengan siksaan zina;
  3. Suami istri bercerai selama-lamanya;
  4. Kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui oleh suami.

Untuk melepaskan si istri dari siksaan zina, dia boleh meli’an pula, membalas li’an suaminya itu.[13] Firman Allah SWT : surat Al-Nur : 8-9 sebagai berikut :

Artinya : Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa la`nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.[14]

Kematian

Putusnya perkawinan (perceraian) dapat pula disebabkan karena kematian suami atau istri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak mendapatkan harta waris atas harta peninggalan yang meninggal. Walaupun dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka disembunyikan lagi, namun bagi istri yang baru ditinggalkan suaminya sampai menunggu masa iddah habis yang lamanya 4 bulan 10 hari.[15]

[1]Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, hal 103

[2] Ibid., hal 110

[3] Departemen Agama R.I Al-Qur’an dan Terjemah, hal 55

[4] Departemen Agama R.I Al-Qur’an dan Terjemah, hal 123

[5] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal 174

[6] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, hal 114

[7] Departemen Agama R.I Al-Qur’an dan Terjemah, hal 143

[8] Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, hal 410

[9] Departemen Agama R.I Al-Qur’an dan Terjemah, hal 55

[10] Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, hal 410

[11] Departemen Agama R.I Al-Qur’an dan Terjemah, hal 909

[12] Ash-Shan’a>niy, Subul al-Salam, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad, hal 685

[13] Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, hal 415

[14]Departemen Agama R.I Al-Qur’an dan Terjemah, hal 544

[15] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan , hal 120

Baca Juga: