Menu Tutup

Tawadhu’: Pengertian, Dalil, Contoh dan Hikmah

1. Pengertian dan Pentingnya Tawadhu’

Tawadhu’ berasal dari Bahasa Arab yang artinya meletakkan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia Tawadhu’ berarti rendah hati. Yang dimaksud dengan tawadhu’ adalah sikap dan perbuatan manusia yang menunjukkan adanya kerendahan hati, tidak sombong dan tinggi hati, mudah tersinggung. Gambaran tawadhu’ disebutkan pada Al-

Qur’an surah ke 25, Al-Furqan ayat 63:

Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.(QS. Al- Furqan [25]:63)

Pengertian yang lebih dalam adalah kita tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Orang yang tawadhu’ adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah Swt. yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potensi dan prestasi yang sudah dicapainya.

Ia tetap rendah hati dan selalu menjaga hati dan niat untuk segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain niat karena Allah. Tetap menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah.

Tawadhu’ ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan takabur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan kita. Tawadhu’ merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia, jadi sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu’, karena tawadhu’ merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam.

Sikap tawadhu’ sangat penting artinya dalam pergaulan sesama manusia, sikap tawadhu’ disukai dalam pergaulan sehingga menimbulkan rasa simpati dari pihak lain. Berbicara lebih jauh tentang tawadhu’, sebenarnya tawadhu’ sangat diperlukan bagi siapa saja yang ingin menjaga amal shaleh atau amal kebaikannya, agar tetap tulus ikhlas, murni dari tujuan selain Allah.

Karena memang tidak mudah menjaga keikhlasan amal shaleh atau amal kebaikan kita agar tetap murni, bersih dari tujuan selain Allah. Sungguh sulit menjaga agar segala amal shaleh dan amal kebaikan yang kita lakukan tetap bersih dari tujuan selain mengharapkan ridha-Nya. Karena sangat banyak godaan yang datang, yang selalu berusaha mengotori amal kebaikan kita.

Apalagi disaat pujian dan ketenaran mulai datang menghampiri kita, maka terasa semakin sulit bagi kita untuk tetap bisa menjaga kemurnian amal shaleh kita, tanpa terbesit adanya rasa bangga dihati kita. Di sini lah sangat diperlukan tawadhu’ dengan menyadari sepenuhnya, bahwa sesungguhnya segala amal shaleh, amal kebaikan yang mampu kita lakukan, semua itu adalah karena pertolongan dan atas ijin Allah Swt.

2. Perintah mempunyai sikap tawadhu’

Tawadhu’ di hadapan kedua orang tua, yang ditegaskan pada surah ke 17, Al-Isra ayat 24:

Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil.” (QS. Al-Israa’ [17]:24)

Sikap tawadhu’ terhadap kedua orang tua ini dalam bentuk rasa hormat yang disertai perasaan kasih sayang. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat betapa besar kebaikan kedua orang tua kepada anak-anaknya.

Tawadhu’ terhadap sesama muslim, yang ditegaskan pada surah ke 26, asy-Syu’ara ayat 215:

Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”.(QS. Asy-Syu’araa’ [26]:215)

Sesama muslim harus ada perilaku tawadhu’, karena sesama muslim merupakan kesatuan yang saling memperkuat. Sehingga rasa ukhuwah islamiyah umat Islam tidak terputus.

Tawadhu’ di saat dalam Sebagaimana disebutkan pada surah ke 31, Luqman ayat 19:

Artinya: “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”( QS. Luqman [31]:19)

Orang yang tawadhu’ menyadari bahwa karunia besar yang dimiliki itu merupakan karunia dari Allah Swt. dan sebagai bentuk ujian dari Allah Swt. Sehingga bukanlah penampilan yang dikedepankan, namun fungsi yang menjadi ukuran. Dan kekayaan bukanlah jumlah yang diperhitungkan, namun proses cara mendapatkan yang harus dipikirkan.

3. Bentuk-bentuk dan Contoh Tawadhu’

Tanda orang yang tawadhu’ adalah di saat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya.

Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka. Ini karena orang yang tawadhu’ menyadari akan segala nikmat yang didapatnya adalah dari Allah Swt., untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur.

Berikut beberapa contoh ketawadhu’an Rasulullah Saw.:

  1. Anas ra jika bertemu dengan anak-anak kecil maka selalu mengucapkan salam pada mereka, ketika ditanya mengapa ia lakukan hal tersebut ia menjawab: Aku melihat kekasihku Nabi Saw. senantiasa berbuat demikian. (HR. Bukhari, Fathul Bari’- 6247).
  2. Dari Anas ra berkata: Nabi Saw. memiliki seekor unta yang diberi nama al-’adhba` yang tidak terkalahkan larinya, maka datang seorang ‘a’rabiy dengan untanya dan mampu mengalahkan, maka hati kaum muslimin terpukul menyaksikan hal tersebut sampai hal itu diketahui oleh nabi Saw., maka beliau bersabda: Menjadi hak Allah jika ada sesuatu yang meninggikan diri di dunia pasti akan direndahkan-Nya. (HR. Bukhari). (Fathul Bari’-2872).
  3. Abu Said al-Khudarii ra pernah berkata: Jadilah kalian seperti Nabi Saw., beliau menjahit bajunya yang sobek, memberi makan sendiri untanya, memperbaiki rumahnya, memerah susu kambingnya, membuat sandalnya, makan bersama-sama dengan pembantu-pembantunya, memberi mereka pakaian, membeli sendiri keperluannya di pasar dan memikulnya sendiri ke rumahnya, beliau menemui orang kaya maupun miskin, orang tua maupun anak-anak, mengucapkan salam lebih dulu pada siapa yang berpapasan baik tua maupun anak, kulit hitam, merah, maupun putih, orang merdeka maupun hamba sahaya sepanjang termasuk orang yang suka shalat.

Sikap tawadhu’ seseorang dapat dilihat dari perilakunya sehari-hari. Adapun bentuk-bentuk perilaku tawadhu’ seseorang antara lain:

  1. Menghormati orang yang lebih tua atau orang yang lebih pandai daripada dirinya
  2. Sayang kepada yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya
  3. Menghargai pendapat atau pembicaraan orang lain
  4. Bersedia mengalah demi kepentingan umum
  5. Santun dalam berbicara kepada siapapun
  6. Tidak suka disanjung orang lain atau keberhasilan yang dicapai

4. Hikmah Tawadhu

Jalan menuju surga

Allah berfirman, “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Qoshos [28]: 83)

Mengangkat derajat seorang hamba

Selayaknya bagi setiap muslim untuk berhias diri dengan sifat tawadhu’, karena dengan tawadhu’ tersebut Allah akan meninggikan derajatnya.

Rasulullah shallallohu alaihi wassalam bersabda, “Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim: 2588)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini mempunyai dua makna. Pertama, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia, dan mengokohkan sifat tawadhu’nya dalam hati hingga Allah mengangkat derajatnya di mata manusia. Kedua, pahala di akhirat, yakni Allah akan mengangkat derajatnya di akhirat disebabkan tawadhu’nya di dunia.

Mendatangkan rasa cinta, persaudaraan, dan menghilangkan kebencian

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian tawadhu’, hingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya atas orang lain, dan tidak ada lagi orang yang menyakiti atas yang lain.” (HR. Muslim: 2865)

Baca Juga: