Sebelum menjelaskan tentang dalil-dalil tentang kebolehan istighotsah dan wasilah atau tawasul terhadap orang yang telah meninggal dunia, ada baiknya terlebih dahulu diajukan pertanyaan-pertanyaan dibawah ini :
- Apakah orang yang meninggal dunia dalam kuburnya tetap hidup sehingga kita bias bertawasul dan istighotsah terhadapnya ?
- Apakah di dalam kubur mereka dapat mendenganr istighotsah dan wasilah kita ?
- Dan apakah mereka dapat memberikan pertolongan kepada kita ?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah Ya, dalam artian bahwa mereka di dalam kuburnya tetap hidup, dapat mendenganr dan memberikan pertolongan kekpada orang-orang yang tawasul terhadapnya.
Di bawah ini adalah dalil-dalil al-qur’an yang menguatkannya.
Surat al-imron ayat 169
Artinya:
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati akan tetapi mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS. Ali Imron: 169)
Surat al-baqoroh ayat 154
Artinya:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orangorang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS. Al-Baqoroh:154)
Dan lain-lain
Adapun dalil-dalil dari hadis adalah sebagai berikut :
Artinya:
Dari Abu Huroiroh RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Tidak seorang pun memberikan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruh ku kepadaku, hingga aku membalas salamnya. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Berikut ini adalah pendapat para ulama’ tentang tawasul dan istighotsah.
Syeh Muhammad bin Abdul Wahab
Di dalam kitabnya “al-Muwajjahah li ahlil qoshim..” syeh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan bahwa : sesungguhnya sulaiman bin suhaim telah menyandarkan pendapat-pendapat yang tidak pernah saya katakana, di antaranya adalah : saya mengkafirkan orang-orang yang bertawasul terhadap orang sholih, dan saya, katanya, mengkafirkan syeh Al-Bushoiry, dan telah membakar kitab Dalailul Khoirot. jawaban saya atas tuduhan di atas adalah, bahwa itu merupakan kebohongan yang besar.
Syeh Muhammad bin Abdul Wahab juga pernah ditanya pendapatnya tentang masalah istisqo’, dia menjawab bahwa, di dalam sholat istisqo’ tidak ada masalah diselingi dengan tawasaul kepada orang-orang sholih. Inilah sebagian pendapat syeh Muhammad bin Abdul Wahab tentang kebolehan tawasul[1].
Syeh Ibnu Taimiyah.
Syeh Taqiyudin ibnu Taimiyah pernah ditanya pendapatnya tentang boleh tidaknya tawasul kepada nabi Muhammad s.a.w. lalu beliau menjawab, “Alhamdulillah, bahwa yang demikian itu dianjurkan menurut kesepakatan kaum muslimin”[2]. Syeh Muhammad Nashirudin al-Albani
Al-Albani menuturkan bahwa diperbolehkan tawasul dengan asma’ dan sifat Allah, dengan perbuatan baik kita sendiri dan dengan amal-amal orang sholih. Al-Albani juga mengatakan bahwa tawasul itu disyariatkan atas dasar nash al-Qur’an dan alHadits dan secara terus menerus diamalkan oleh Salafusholih dan disepakati oleh kaum muslimin[3].
Imam Ahmad bin Hambal.
Imam Ahmad al-Maruzi berkata, bahwa Imam Ahmad bin Hambal dalam setiap doanya selalu bertawasul kepada nabi Muhammad s.a.w[4].
Imam Malik bin Anas
Kholifah al-Mansur bertanya kepada imam Malik bin Anas ketika sedang ziyaroh ke makam nabi Muhammad bersamanya, “wahai imam apakah saya harus menghadap kiblat kemudian berdoa, ataukah menghadap makam rosul lalu berdoa ?.””imam Malik kemudian menjawab “jangan pernah kau pallingkan wajahmu dari makam Rasul, karena dia adalah wasilahmu dan wasilahnya bapakmu, Adam, kepada Allah. Menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat kepada-Nya maka Allah akan memberikan pertolongan kepadamu karenanya.[5]
Imam Taqiyudin as-Subki
Imam Taqiyudin abu Hasan as-Subki berkata : ketahuilah bahwa diperbolehkan bahkan dianggap baik melakukan tawasul, istighosah dan meminta syafaat kepada allah dengan perantaraan nabi Muhammad s.a.w. beliau juga berkata, bahwa tawasul kepada nabi adalah boleh secara mutlak, sebelum nabi diciptakan maupun setelah diciptakan, ketika masih hidup maupun setelah wafatnya.[6]
Imam as-Syaukani
Imam Ali as-Syaukani berkata, bahwa tawasul kepada nabi itu boleh dilakukan ketika hidupnya maupun setelah matinya, di dekatnya maupun ketika jauh darinya. Begitu juga boleh tawasul dengan selain nabi Muhammad s.a.w. dengan dasar ijma’ sahabat, yaitu ijma’ sukuti . sebagai dasar atas adanya ijma’ ini adalah diamnya para sahabat ketika Umar bin Khothob berdoa dengan tawasul terhadap Ibnu Abbas dan dengan orang-orang sholih atas amal-amal mereka. Hal ini telah diceritakan oleh imam Tirmidzi dalam kitab “Ad-da’wat”, Ibnu Majah dalam “Sholatul hajat”, al-Bukhori dan Ibnu Khuzaimah.[7]
Imam Syihabudin ar-Romli
Imam Syihabudin ar-Romli as-Syafi’i berkata: bahwa sesungguhnya istighosah dan tawasul dengan para nabi dan rosul, para wali dan orang-orang sholeh adalah diperbolehkan.[8]
Imam Ibnu Muflih al-Hambali
Imam Ibnu Muflih al-Hambali telah berfatwa atas bolehnya tawasul dengan orang-orang sholeh. Bahkan hukumnya mustahab.21
Syeh Yusuf an-Nabhani
Syeh Yusuf an-Nabhani berkata, bahwa mayoritas umat Muhammad dari kalangan ahli hadits, ahli fiqh, mutakallimun, dan kalangan ahli tashawuf, baik orang-orang khos maupun awam, semuanya sepakat atas baiknya istighosah dan tawasul kepada nabi untuk mencapai tujuan duniawi dan uhrowi.
Demikianlah pendapat para ulama’ mengenai kebolehan bahkan kesunnahan melakukan tawasul dan istighosah kepada para nabi, rasul, dan kepada ulama’ sholihin. Ulalma’-ulama’ yang telah disebutkan di atas adalah dari berbagai latar belakang madzhab, Syafi’i, Syi’i, dan juga ada yang dari madzhab Hambali.[9]
[1] . Rasail syeh Muhammad bin abdul wahab, hal.12
[2] . Ibnu Taimiyah “Fatawa al-Kubro”, juz.1,hal.140
[3] . Nashirudin al-albani “syarah aqidah thohawiyah”,hal.46
[4] . Yusuf Hathar “al-mausu’ah al-yusufiah”,hal.118
[5] . Ibnu hajar “jauharul mundzim”.
[6] . As-subki “kitab syifa’ul asqom”,hal.161
[7] . Saukani “tuhfatudzakirin”,hal.37
[8] . Yusuf Hathar “al-mausu’ah al-yusufiah”,hal.120 21. Ibid
[9] . Ibid