Menu Tutup

Ta’widh dan Ta’zir : Pengetian, Konsep dan Ketentuannya dalam Hukum Islam dan Perdata

Pengertian Ganti Rugi (Ta’widh)

Kata al-ta’widh berasal dari kata ‘iwadha (عوض), yang berarti ganti atau konpensasi. Sedangkan al ta’widh sendiri secara bahasa berarti maengganti (rugi) atau membayar konpensasi. Adapun menurut istilah adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan.

Adanya dhaman (tanggung jawab) untuk menggantikan atas sesuatu yang merugikan dasarnya adalah kaidah hukum Islam, “bahaya (beban berat) dihilangkan,” (adh-dhararu yuzal), artinya bahaya (beban berat) termasuk di dalamnya kerugian harus dihilangkan dengan menutup melalui pemberian ganti rugi. Kerugian disini adalah segala gangguan yang menimpa seseorang, baik menyangkut dirinya maupun menyangkut harta kekayaannya, yang terwujud dalam bentuk berkurangnya kuantitas, kualitas ataupun manfaatnya.

Dalam kaitan dengan akad, kerugian yang terjadi lebih banyak menyangkut harta kekayaan yang memang menjadi objek dari suatu akad atau manyangkut fisik seseorang. Sedangkan yang menyangkut moril kemungkinan sedikit sekali, yaitu kemungkinan terjadinya kerugian moril. Misalnya seorang dokter dengan membukakan rahasia pasiennya yang diminta untuk disembunyikan sehingga menimbulkan rasa malu pada pasien tersebut.

Sedangkan Menurut pasal 1243 KUH Perdata, pengertian ganti rugi adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. Pada masa ini telah dikenal adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut.

Dasar Hukum Ta’widh

Surah Al-Maidah Ayat 1

Artinya “ hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu………..

Hadis Nabi riwayat ibnu majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya :

 “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”

Kaidah Fikih :

“pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan”.

“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan”

Konsep Ganti Rugi Menurut Hukum Perdata

Menururut ketentuan pasal 1243 KUHPdt,  ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabilah debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.

Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M Yahya Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai dalam bahasa belanda disebut dengan ”in gebrekke stelling” atau ”in morastelling”. Ganti kerugian sebagaimana termasuk dalam pasal 1243 di atas, terdiri dari tiga unsur yaitu:

  1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkosa cetak, biaya materai, biaya iklan.
  2. Kerugian karena Kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buah karena kelambatan penyerahan, amburuknya rumah karena kesalahan konstruksi sehingga merusakkan prabot rumah tangga.
  3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat diserahkan  (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.

Untuk menghindari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang memberikan batasan-batasan ganti kerugian yang harus oleh debitur sebagai akibat dari kelalaiannya (wanprestasi) yang meliputi:

  1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (pasal 1247 KUHP).
  2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang ditentukan dalam pasal 1248 KUHPdt. Untuk menentukan syarat ”akibat langsung” dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selaku manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur.
  3. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 ayat 1 KUHP). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi menurut Yurisprudensi, pasal 1250 KUHPdt tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.

Konsep Ganti Rugi Menurut Hukum Islam.

Ganti rugi perdata dalam hukum islam lebih menitikberatkan tanggung jawab para pihak dalam melaksanakan suatu akad perikatan. Apabila salah satu pihak tidak melaksankan kewajibannya sebagaimana yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak, maka tentu akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang lain. Dalam hukum Islam tanggung jawab melaksanakan akad disebut dengan dhaman al-’aqdi. Dhaman al-’qdi adalah bagian dari tanggung jawab perdata. Jadi yang dimaksud ganti rugi perdata dalam hukum islam adalah tanggung jawab perdata dalam memberikan ganti rugi yang bersumber dari adanya ingkar akad.

Ganti rugi pidana dalam hukum Islam adalah ganti rugi yang dibebankan kepada pihak debitur akibat tidak melaksanakan perikatannya mungkin karena kesalahannya sendiri atau karena ada sebab diluar kehendak debitur. Dalam hukum Islam ganti rugi pidana disebut dengan dhaman al-’udwan, yaitu tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti rugi yang bersumber kepada perbuatan merugikan (al-fi’l adh-dharr) orang lain, atau dalam istilah KUH Perdata disebut dengan perbuatan melawan hukum.

Dalam Islam istilah tanggung jawab yang terkait dengan konsep ganti-rugi dibedakan menjadi dua:

  1. Daman akad (daman al’akd), yaitu tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti rugi yang bersumber kepada ingkar akad.
  2. Daman udwan (daman al’udwan), yaitu tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti rugi yang bersumber kepada perbuatan merugikan (al-fi’l adh-dharr) atau dalam istilah hukum perdata indonesia disebut dengan perbuatan melawan hukum.

Ketentuan-ketentuan dalam Ganti Rugi

Ketentuan Umum

  • Ganti  rugi  (ta`widh)  hanya  boleh  dikenakan  atas  pihak  yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang  dari  ketentuan  akad  dan  menimbulkan  kerugian pada pihak lain
  • Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana  dimaksud dalam  ayat  1  adalah  kerugian  riil  yang  dapat  diperhitungkan dengan jelas.
  • Kerugian  riil sebagaimana  dimaksud  ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan  dalam rangka  penagihan  hak yg seharusnya dibayarkan.
  • Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan  bukan  kerugian  yang  diperkirakan  akan  terjadi  (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity  loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
  • Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah.
  • Dalam  akad  Mudharabah  dan  Musyarakah,  ganti  rugi  hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah  apabila  bagian  keuntungannya  sudah  jelas  tetapi tidak dibayarkan.

Ketentuan Khusus

  • Ganti  rugi  yang diterima  dalam  transaksi  di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
  • Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
  • Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
  • Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.

Sebab-sebab Ganti Rugi Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata

Menurut Hukum Islam

Sebab-sebab ganti rugi dalam perspektif hukum Islam fiqh muamalat yang berkaitan dengan hukum perikatan Islam. Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai sebab adanya ganti rugi. Menurut Syamsul Anwar, ada dua macam sebab terjadinya ganti rugi (dhaman). Pertama, tidak melaksanakannya akad, dan kedua, alfa dalam melaksanakan akad. Yakni apabila akad yang sudah tercipta secara sah menurut ketentuan hukum itu tidak dilaksanakan oleh debitur, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya (ada kealpaan), maka terjadilah kesalahan di pihak debitur, baik kesalahan itu karena kesengajaanya untuk tidak melaksanakan akad, atau kesalahan karena kelalaiannya. Kesalahan dalam ilmu fiqh disebut dengan at-ta’addi, yakni suatu sikap yang bertentangan dengan hak dan kewajiban dan tidak diizinkan oleh syarak.

Menurut Hukum Perdata

Dalam pasal 1248 KUH Perdata menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sebab-sebab ganti rugi adalah ganti rugi yang merupakan akibat ’langsung’ dari wanprestasi. Dengan kata lain harus ada hubungan sebab-akibat atau kausal-verband antara kerugian yang diderita dengan perbuatan wanprestasi. Atau akibat langsung dari perbuatan debitur yang ingkar melaksanakan suatu perjanjian menurut selayaknya.

Menurut Yahya Harahap, untuk menentukan sebab-sebab ganti rugi sangat sulit, undang-undang sendiri dalam perumusannya sering memuat secara berbarengan beberapa akibat tentang ”satu feit” yang disebutkannya. Kesulitan yang terjadi pada hubungan sebab-akibat antara kerugian dan wanprestasi ditimbulkan oleh masalah lingkungan hukum. Menurutnya, kadang-kadang satu peristiwa / satu feit, pada waktu yang bersamaan sekaligus menyentuh dua lingkungan hukum, yaitu lingkungan hukum pidana dan hukum perdata. Dengan demikian sebab-sebab ganti rugi dalam hukum perdata hanya didasarkan pada wanprestasi semata.

 

Sanksi Nasabah Mampu Yang Menunda Pembayaran

Pengertian Ta’zir

Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata “azzara” yang berarti menolak dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong. Dari pengertian tersebut yang paling relevan adalah pengertian pertama yaitu mencegah dan menolak, dan pengertian kedua yaitu mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Pengertian ini sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wa dan Wahbah Zuhaili.

Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :

“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.

Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).

Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

Dasar Hukum Ta’zir

  • Firman Allah QS. Al-Ma’idah ayat 1

Hai orang-orang yang beriman ! Penuhilah akad-akad itu ………….

  • Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf:

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”.

  • Hadits Nabi riwayat Jama’ah (Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’I, Abu Daud, Tirmidzi, Malik, Darami dari Abu Hurairah, Ibnu Majah dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar) :

Artinya “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedhaliman ………”.

  • Hadits Nabi saw riwayat Nasa’I, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahamad dari Syuraid bin Suwaid :

لي الواجد يحل عرضه وعقوبته ( رواه النسائى و ابو داود وابن ماجه و أحمد)

Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya. (HR  An Nasa’i, Abu dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).

Ketentuan Umum Ta’dzir

  1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.
  2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
  3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.
  4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
  5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani
  6. Dana yang berasal dari denda dieruntukkan sebagai dana sosial.

SANKSI KAITANNYA DENGAN HUTANG PIUTANG

sanksi adalah metode untuk mencapai tujuan yaitu memberikan  efek jera bagi si pelaku pelanggaran.  Adanya sanksi berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal dan sebagai penebus dosa seorang muslim  dari  azab  Allah  di  hari  kiamat.  Yang  dimaksud  tindakan  kriminal adalah suatu perbuatan yang tercela. Oleh karena itu, suatu perbuatan tidak dapat  dikatakan  sebagai  tindak  kriminal  kecuali  jika  syara’  telah menentukannya   dengan   nash   sebagai   perbuatan   tercela,   maka   barulah dianggap  sebagai  tindakan  kriminal.   Sebagaimana  telah  ditetapkan  dalam nash Al-Qur’an tentang sanksi dalam Islam yang berfungsi sebagai pencegah yang berbunyi :

Artinya

“Dan  Kami  telah  tetapkan  terhadap  mereka  di  dalamnya  (At Taurat)  bahwasannya  jiwa  (dibalas)  dengan  jiwa,  mata  dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,  dan  luka luka  (pun)  ada  qishasnya,  Barang  siapa  yang melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus  dosa baginya.  Barang siapa  tidak memutuskan  perkara menurut  apa  yang  diturunkan  Allah,  maka  mereka  itu  adalah orang-orang yang zalim.”  (QS. Al-Maidah : 45)

Adapun pengertian hutang piutang asecara bahasa hutang piutang (al-qordh) berarti al-qoth’ (terputus). Harta yang dihutangkan kepada pemilik lain dinamakan qordh karena ia terputus dari pemiliknya. Sedangkan secara istilah menurut Ahli Fiqih: hutang-piutang adalah transaksi antara dua pihak, yang satu menyerahkan uangnya kepada yang lain secara sukarela untuk dikembalikan lagi kepadanya oleh pihak kedua dengan hal yang serupa. Atau seseorang menyerahkan uang kepada pihak lain untuk dimanfaatkan dan kemudian orang ini mengembalikan penggantinya.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa dalam hal hutang piutang, harus ada satu pihak untuk memberikan haknya kepada orang lain, dan adanya  pihak  tersebut  untuk menerima haknya, untuk ditasyarufkan  yang  pengembaliannya  ditanggungkan  pada waktu yang akan datang.

Oleh karena  itu Islam dalam hutang  piutang  mewajibkan  sikap  adil dengan melunasi hutang jika sudah sanggup membayarnya, agar terlepas tanggung jawabnya. Jika seseorang mampu membayar hutang tetapi ia tidak melakukannya maka ia bertindak zalim dan berhak menerima sanksi di dunia maupun di akhirat. Demikian juga orang yang menunda membayar hutang ini ternyata orang yang sebenarnya mampu membayar hutang itu tepat pada waktunya, maka penundaan yang dilakukannya adalah satu kezaliman, yaitu kezaliman kepada orang yang memberi hutang kepadanya.

DAFTAR PUSTAKA

  • Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, tahun 1993.
  • Daeng Naja, Contract Drafting, Bandung: Citra Aditya Bakti, tahun 2005.
  • Hasbi As-Shiddiqie, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, tahun 1974.
  • Iyan Pramadya Puspa, Kamus hukum edisi lengkap, Semarang: Aneka Ilmu, Tahun 2007.
  • Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya),Bandung: alumni, tahun 1999.
  • Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, cet.II, Bandung: Penerbit Alumni, tahun 1986.
  • Martiman Prodjohamidjojo, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, cet.II, Jakarta: Ghalia Indonesia, tahun 1986.

Baca Juga: