Daftar Isi
Meskipun pada dasarnya gharar dilarang, tetapi dalam beberapa kondisi tertentu gharar diperbolehkan.
Apa saja gharar yang tidak dilarang itu? Berikut adalah empat kriteria gharar yang diperbolehkan.
1. Gharar yang sedikit
Jika terjadi gharar dalam suatu akad, akan tetapi gharar yang terjadi itu sedikit dan tidak diperhitungkan, maka gharar itu tidak menjadi masalah (tidak haram).
Ibnu al-Qayyim menuturkan:
Tidak setiap gharar menyebabkan keharaman. Gharar jika sedikit atau tidak bisa dihindari, tidak menyebabkan akad menjadi tidak sah… Berbeda dengan gharar yang banyak dan bisa dihindari yaitu jenis-jenis jual-beli yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ atau praktik serupa, maka inilah yang merusak keabsahan suatu akad.
Jadi, yang diharamkan adalah gharar yang banyak, jika gharar-nya sedikit, tidak haram. Tetapi kemudian timbul pertanyaan, apa yang membedakan gharar banyak dengan gharar sedikit? Adakah ukurannya?
Ad-Dasuqi salah seorang ulama mazhab Maliki telah menjawab pertanyaan tersebut. Menurutnya, ukuran gharar yang sedikit itu adalah:
“Yang dimaklumi oleh orang-orang pada umumnya.”
Jadi, gharar sedikit itu adalah gharar yang sudah dimaklumi adanya dalam suatu tradisi pasar. Di mana orang-orang menganggapnya hal yang biasa dan tidak ada yang merasa dirugikan.
Banyak contoh-contoh gharar yang terjadi dalam keseharian kita, tetapi gharar-nya sedikit dan tidak dipermasalahkan.
Seperti ongkos taksi di mana penumpangnya tidak tahu berapa nominalnya pada saat naik melainkan baru diketahui setelah sampai di tujuan. Di sini ada gharar dalam harga, akan tetapi gharar-nya sedikit dan tidak dipermasalahkan dan penumpang pun tidak merasa dirugikan. Sebab ongkosnya tidak ditetapkan semaunya oleh supir taksi, tetapi sesuai dengan perhitungan argo yang sudah ada standar hitungan perkilometernya.
Begitu juga contohnya seperti jual-beli handphone yang masih disegel dalam kotak dan tidak bisa dibuka kecuali setelah dibayar. Di sini ada gharar yang terjadi, sebab pembeli tidak bisa melihat isi di dalam kotak itu, apakah benar-benar handphone yang dimaksud atau bukan, apakah ada cacat atau tidak.
Akan tetapi, gharar ini tidak dipermasalahkan dan sudah dimaklumi. Sebab walaupun tidak bisa dilihat, tetapi biasanya ada garansi dari penjual atau pabrik. Jika pun ternyata ada cacat atau lain hal setelah dibuka, barangnya bisa ditukar. Sehingga tidak ada yang dirugikan di sini.
Contoh lain yang sering disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih dan terjadi juga sekarang adalah harga sewa kamar kecil.
Di tempat-tempat umum seperti terminal, rest area dan sebagainya biasanya disediakan W.C. umum. Ada yang gratis ada yang berbayar. Yang berbayar, harga masuknya biasanya dipatok Rp 2.000,- per sekali masuk. Di sini ada gharar. Sebab setiap orang berbeda-beda dalam pemakaian air di W.C. itu. Ada yang habis dua gayung ada yang habis bergayung-gayung. Akan tetapi harganya sama Rp 2.000,-.
Tetapi ini sudah lumrah adanya, penyedia W.C. pun tidak merasa dirugikan. Sebab seboros apa pun orang yang buang hajat, tidak akan sampai habis satu sumur.
2. Gharar dalam akad tabarru’
Akad tabarru’ adalah akad sosial di mana tidak terjadi pertukaran harta secara dua arah dan pelaku akad tidak mengharapkan keuntungan materi, melainkan untuk tujuan kebaikan. Seperti akad hibah, hadiah dan sebagainya.
Jika terjadi gharar dalam akad tabarru’, tidak menjadikan akadnya haram. Contoh sederhananya, hadiah yang dibungkus kertas kado di mana pada saat diberikan, penerima hadiah tidak tahu isi di dalamnya. Di sini terjadi gharar. Akan tetapi karena akadnya adalah hadiah, maka tidak menjadi haram. Penerima hadiah tidak akan merasa dirugikan, sebab hadiah itu gratis. Sudah diberi pun alhamdulillah.
Lain halnya, jika gharar itu terjadi dalam akad mu’awadhah atau akad tijarah yaitu akad bisnis di mana terjadi pertukaran harta secara dua arah. Seperti akad jual-beli, sewa-menyewa, bagi hasil dan sebagainya.
Gharar yang hinggap dalam akad bisnis berpengaruh dan menjadikannya terlarang.
Contohnya, jika kado tadi tidak jadi dihadiahkan akan tetapi dijual kepada orang lain dan tidak diberitahukan isinya kepada pembeli, maka hukumnya menjadi haram. Sebab pembeli harus membayar sesuatu yang dia tidak tahu seperti apa wujud barangnya.
3. Gharar bukan dalam inti objek akad
Para ulama sepakat bahwa gharar yang diharamkan adalah gharar yang terjadi pada inti dari objek akad yang diperjual-belikan. Sedangkan jika gharar itu ada pada pengikut atau pelengkapnya saja maka dibolehkan. Berdasarkan kaidah: (Gharar) itu dimaafkan dalam pengikut/pelengkap, tapi tidak dalam selain pelengkap (inti objek akad).
Contohnya jual-beli pohon yang berbuah, di mana buahnya masih belum matang. Jika yang dibeli adalah pohonnya, maka hukumnya boleh meskipun buahnya belum matang. Sebab yang menjadi objek akadnya adalah pohon, buah hanya pelengkap/pengikut.
Akan tetapi jika yang kita bayar adalah buahnya dalam kondisi di mana buahnya belum matang, maka tidak diperbolehkan, sebab buah menjadi objek akadnya. Sedangkan nabi melarang jual-beli buah yang belum jelas matangnya.
Contoh lain adalah jual-beli kambing yang sedang mengandung. Jika dibeli bersama induknya, maka diperbolehkan. Sebab janin yang ada dalam perut itu hanya sebagai pengikut/pelengkap. Akan tetapi jika yang dibeli adalah janinnya saja, tanpa induknya ini tidak diperbolehkan.
Contoh dalam praktik muamalah kontemporer adalah jual-beli tiket transportasi umum seperti pesawat terbang, kereta api dan lain-lain yang harganya sudah include biaya asuransi. Atau biaya pengiriman barang berharga yang dikenakan biaya asuransi. Sedangkan asuransi mengandung gharar.
Akan tetapi, karena asuransi hanya pengikut atau pelengkap saja, bukan inti dari objek akad yang diperjual-belikan maka tidak masalah. Sebagaimana kaidah yang sudah dijelaskan sebelumnya.
4. Ada hajat
Para ulama juga sepakat jika ada hajat syar’i terhadap suatu transaksi meskipun mengandung gharar, maka akad itu dibolehkan. Imam anNawawi mengatakan:
Jika ada hajat/kebutuhan terhadap transaksi yang mengandung gharar dan hal itu tidak bisa dihindari kecuali dengan kesulitan, atau ghararnya sedikit, maka jual-beli itu boleh.
Contoh yang terjadi di zaman nabi, adalah ketika Nabi Muhammad ﷺ membolehkan praktik jual-beli salam yang dilakukan orang-orang Madinah.
Jual-beli salam yang dipraktikkan waktu itu adalah jual beli kurma setahun atau dua tahun sebelum panen. Di mana ada unsur gharar yaitu jual-beli barang yang belum ada.
Akan tetapi, transaksi semacam itu sudah menjadi hajat atau kebutuhannya orang Madinah, di mana pembeli mendapatkan harga lebih murah, dan petani kurma mendapatkan modal lebih dulu untuk menanam kurma. Sehingga Nabi membolehkannya dengan syarat spesifikasi dan waktu penyerahannya jelas.
Contoh lain adalah tentang hukum iuran BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Sebagian berpendapat dari awal hukumnya boleh, sebab iuran BPJS adalah iuran sosial. Sehingga masuk kategori akad tabarru’ yang mana gharar tidak berpengaruh di dalamnya.
Tapi sebagian lain berpendapat BPJS sama dengan asuransi konvensional yang tidak sesuai dengan aturan syariah. Akan tetapi di antara yang mengharamkan itu, ada juga yang membolehkan dengan alasan bahwa kesehatan adalah hajat syar’i yang harus dipenuhi. Sehingga meskipun ada gharar, tetap diperbolehkan.
Sumber: Muhammad Abdul Wahab, Gharar dalam Transaksi Moderm, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019