Menu Tutup

Tingkatan Maqomat

Tentang beberapa jumlah tangga (maqamat) yang harus ditempuh, para sufi sama pendapatnya, sebagaimana pendapat Muhammad al Kalabazy, yang dikutib harun Nasution dalam bukunya Abuddin Nata, mengatakan bahwa  jumlah maqamat itu ada 10 yaitu: al taubah, al zuhud, al shabr, al faqr, al tawadlu’, al taqwa, al tawakal, al ridla, al mahabbah dan al ma’rifah. Sedangkan menurut Imam al Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, maqamat terdiri atas 8 tingkatan yaitu: taubat, sabar, zuhud, tawakal, mahabbah, ridha, dan ma’rifat. Menurut menurut As-Sarraj ath-Thusi, maqomah terdiri dari tujuh tingkatan, Yaitu Taubah, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Tawakkal  Dan Ridla.  Penjelasan semua tingkatan itu sebagaimana berikut:

Taubah

Sebagai awal dari perjalanan yang harus dilakukan oleh sufi ialah maqam taubat. Yakni upaya pengkosongan diri dari segala tindakan yang tidak baik dan mengisinya dengan yang baik. Makna taubat yang sebenarnya adalah penyesalan diri terhadap segala peilaku jahat yang dilakukan di masa lalu.

Perintah taubat banyak dikemukakan dalam al-Qur’an surah al-Nur ayat 30:

Artunya: ”bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu semua menjadi orang-orang yang beruntung.[1]

Dalam tradiri tasawuf, taubah dikatagorikan kedalam tiga tingkatan. Pertama, yakni taubah pada tingkatan yang paling dasar. Dimana seorang yang melakukan taubah dituntut untuk menyesali segala perilaku kesalahan yang dilakukan, dengan sepenuh hati. Kedua, kembali dari perbuatan yang lebih baik menuju ynag terbaik. Dalam dirinya ada semangat untuk senantiasa meningkatkan kadar kebaikan dan ketaatannya untuk menjadi lebih baik dan taat lagi. Ketiga, yaitu kembali dari yang terbaik menuju kepada Allah. Tingkatan ini seorang bertaubah akan berbuat kebaikan dengan tanpa motivasiapapun kecuali karena Allah dan untuk Allah.[2]

Wara’

Wara’ adalah meningkatkan segala sesuatu yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya.   Dalam tradisi sufi wara’ berarti meninggalkan segala hal yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku.

Ahli tasawuf membagi wara’ menjadi dua bagian yaitu, wara’ yang bersifat lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhai Allah, seangkan wara’ batiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan sesuatu di hatinya kecuali Allah.[3]

Zuhud

Zuhud merupakan maqam yang sangat menentukan. Zuhud merupakan memalingkan seluruh aktifitas jasmani dan rohani dari hal-hal yang bersifat duniawi serta melakukan segala sesuatu hanyalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Seorang zahid tidak lagi tergantung pada hal-hal yang bersifat material tetapi spiritual. Ketika seorang sufi tidak lagi terbelenggu oleh kehidupan duniawi dan hanya membutuhkan Allah, maka dengan sendirinya ia telah sampai pada derajat faqr.[4]

Faqr

Faqr merupaka sebuah sikap hidup yang tidak terlaluberlebihan atau memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu. Tidak menuntut lebih dari apa yang telah diterimakan kepadanya. Karena pada dasarnya segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah milik Allah SWT.[5]

Kekayaan atau kenikmatan duniawi adalah sesuatu yang dapat memalingkan seseorang dari Tuhannya. Untuk dapat menghindarkan dari dari godaan duniawi dibutuhkan kesabaran yang tinggi. Eoleh karenanya orang yang faqr pada dasarnya adalah juga seorang yang telah mencapai maqam shabr.[6]

Shabr

Maqam shabr merupakan maqam yang penting untuk dilalui dalam perjalan spiritualnya. Menurut Ibn Qayyin terdapat tiga macam kesabaran. Sabar untuk senantiasa taat kepada Allah, sabar untuk meninggalkan kemaksiatan, dan sabar terhadap ujian dari Allah.

Pada dasarnya kesabaran adalah konsistensi diri seseorang untuk memegang prinsip yang telah dipegangi sebelumnya. Kesabaran merupakan suatu kekuatan yang mendorong dari gangguan yang datang dari luardirinya. Dimana pengaruh yang datang dari luar tersebut akan dihantarkan oleh nafsunya. Jika seseorang berhasil mnengekang hawa nafsunya, maka ia akan tetap pada pendiriannya.[7]

Tawakkal

Tawakkal yakni menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Seseorang yang ada pada maqam tawakkal akan merasakan ketenangan dan ketentraman. Ia senantiasa merasa optimis dalam bertindak. Hal lain yang dirasakan oleh orang yang tawakkal adalah kerelaan yang penuh atas segala yang diterimanya. Dan selanjutnya ia akan senantiasa memiliki harapan atas segala yang dikehendaki dan dicita-citakan.[8]

Ridla

Ridla merupakan buah dari tawakkal. Diman jika seorang sufi telah benar-benar melaksanakan tawakkal maka dengan sendirinya ia akan sampai pada maqam ridla.

Ridla didefinisikan sebagai kondidi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada atas segala karunia yang diberikan kepadanya. Ia akan senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya. Sikap mental semacam ini merupakan maqam tertinggi yang dicapai oleh seorang sufi.[9]

[1] Muhammad, hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi,,,,,hal 29

[2] Muhammad, hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi,,,,hal 30-31

[3] Muhammad, hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi,,,,hal 31

[4] Muhammad, hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi,,,,hal 34-35

[5] Muhammad, hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi,,,,hal 38

[6] Muhammad, hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi,,,,hal 41

[7] Muhammad, hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi,,,,hal 42

[8] Muhammad, hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi,,,,hal 45

[9] Muhammad, hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi,,,,hal 46

Baca Juga: