Menu Tutup

Tradisi Dan Upacara Islami Bugis

Upacara Adat Ammateang

Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, yaitu jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan budaya maupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek, seperti ajaran Islam.

Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku Bugis di pulau bagian timur tepatnya di Sulawesi Selatan. Adat tersebut dikenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan Islam yang sejalan dengan perkembangan zaman.

Upacara Adat Ammateang atau Upacara Adat Kematian yang dalam adat Bugis merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat seseorang dalam suatu kampung meninggal dunia. Keluarga, kerabat dekat maupun kerabat jauh, juga masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang meninggal itu berbondong-bondong menjenguknya.

Pelayat yang hadir biasanya membawa sidekka (sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan) berupa barang seperti sarung atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada juga yang membawa passolo (amplop berisi uang sebagai tanda turut berduka cita). Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan dan seterusnya sebelum semua anggota terdekatnya hadir.

Baru setelah semua keluarga terdekatnya hadir, mayat mulai dimandikan, yang umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memang biasa memandikan mayat atau oleh anggota keluarganya sendiri. Hal ini masih sesuai ajaran Islam dalam tata cara mengurus jenazah dalam hal memandikannya sampai menshalatkannya.

Mabbarasanji (Barzanji)

Islam masuk di Sulawesi Selatan, dengan cara yang sangat santun terhadap kebudayaan dan tradisi masyarakat Bugis Makassar. Bukti nyata dari sikap kesantunan Islam terhadap budaya dan tradisi Bugis Makassar dapat kita lihat dalam tradisi-tradisi keislaman yang berkembang di Sulawesi Selatan hingga kini. Seperti mengganti pembacaan kitab La Galigo dengan tradisi pembacaan Barzanji, sebuah kitab yang berisi sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw, dalam setiap hajatan dan acara, doa- doa selamatan, bahkan ketika membeli kendaraan baru, dan lain sebagainya.

Mabbarasanji/Barzanji/Barazanji yang biasa dikenal dalam masyarakat Bugis sebagai nilai lain yang mengadung estetika tinggi dan kesakralan, mempunyai macam-macam pembagian menurut apa yang ada dalam keseharian mereka seperti yang didapatkan sebagai berikut :

  1. Barazanji Bugis ‘Ada’ Pa’bukkana’.
  2. Barazanji Bugis ‘Ri Tampu’na’ Nabitta’.
  3. Barazanji Bugis ‘Ajjajingenna’.
  4. Barazanji Bugis ‘Mappatakajenne’.
  5. Barazanji Bugis ‘Ripasusunna’.
  6. Barazanji Bugis ‘Ritungkana’.
  7. Barazanji Bugis ‘Dangkanna’.
  8. Barazanji Bugis ‘Mancari Suro’.
  9. Barazanji Bugis ‘Nappasingenna Alena’.
  10. Barazanji Bugis ‘Akkesingenna’
  11. Barazanji Bugis ‘Sifa’na Nabit’ ta’.
  12. Barazanji Bugis ‘Pa’donganna’.
  13. Barazanji Bugis ‘Ri Lanti’na’.

Macam-macam dari Barazanji di atas, apabila ditelaah dengan baik, maka semua makna dari Barazanji di atas menceritakan mengenai segala macam dari hal-hal keseharian kita, merupakan wujud penceritaan terhadap berbagai perilaku keseharian baginda Rasulullah Muhammad Saw. dan sahabatnya. tersirat pula makna lain mengenai nilai-nilai yang seirama atas apa yang juga dirasakan dan ada dalam realitas sosial keseharian kita, yang mana sebenarnya menunjukkan bahwa seperti inilah jalan yang sebenarnya dilalui agar tidak sesat jalan yang seirama dengan Rasulullah dan sahabatnya.

Maka dari ini, budaya Barazanji yang ada pada masyarakat Bugis sekiranya sulit akan pudar dalam kebudayaan dan keseharian masyarakat khususnya Bugis Makassar, karena ini sudah dianggap kewajiban; bukan lagi sunah yang bisa saja tidak dilakukan.

Baca Juga: