Menu Tutup

Unsur-Unsur Pengetahuan

Ada tiga unsur dalam tahu/pengetahuan, yakni subyek yang mengetahui (knowing subject), obyek yang diketahui (known object), dan kegiatan pengetahuan itu sendiri (knowing activity). Berikut penjelasan tentang ketiga unsur tersebut.

knowing subject

Di atas disebutkan bahwa gejala tahu dan pengetahuan terdapat pada makhluk hidup. Tumbuhan dan hewan, makluk hidup yang tingkatannya di bawah manusia, dalam arti tertentu tahu (memiliki pengetahuan). Tapi, pengetahuan yang sesungguhnya hanya dimiliki manusia. Mengapa? Sebab, kegiatan mengetahui selalu mengandaikan rasio, dan, kita tahu, hanya manusia memiliki rasio.

Karena kemampuan rasio terbatas, maka pengetahuan manusia pun terbatas, dan berkembang sepotong demi sepotong sebelum mencapai pengetahuan yang sempurna. Louis Leahy menunjuk tiga syarat yang dipenuhi subyek agar dapat tercipta pengetahuan, yang sempurna, yakni keterbukaan, kemampuan menyambut, dan interioritas.

Subyek harus terbuka agar bisa menangkap eksistensi dan kodrat obyek yang diketahui. Batu, misalnya, tak dapaYanenjadi subyek pengetahuan karena tidak memiliki keterbukaan. Kemampuan menyambut memungkinkan obyek tinggal dalam diri subyek dalam rupa gambar, ingatan, atau ide.

Kembali kita kepada definisi tentang pengetahuan sebagai kemanunggalan subyek-obyek.Interioritas memungkinkan subyek makin banyak dan baik mengetahui. Itu ibarat daya tampung, semakin besar daya tampungnya semakin banyak pula yang diperolehnya. Ketiga unsur tersebut merupakan dimensi supramaterial atau imaterialitas dari subyek. Artinya, karena dalam kegiatan pengetahuan subyek mengatasi batas-batas jasmaniahnya, maka dia harus memiliki immaterialitas. Disini berlaku prinsip: imaterialitas yang dinikmati suatu pengada merupakan akar dan ukuran dari pengetahuan yang dikuasainya. Dan tentu subyek yang mengetahui itu harus berkesadaran. Artinya, dia harus memiliki pengetahuan akan kegiatan clan dirinya, pada saat dia mengetahui suatu yang lain dari dirinya tersebut.

knowing Object

Ini menyangkut apa yang ada dan yang mungkin ada. Seperti dijelaskan di atas, manusia bertanya tentang segala hal, yang konkrit maupun abstrak, yang dulu, sekarang, maupun yang akan datang. Pendeknya, yang ada clan yang mungkin ada. Jadi, dengan rasionya manusia dapat mengetahui tentang ide-ide abstrak seperti kebaikan, kejahatan, keindahan, nilai moral, bahkan tentang Tuhan dan keabadian.

Obyek yang dikenal harus mempengaruhi subyek. Pertanyaannya: apa yang menyebabkan, misalnya, bahwa pohon dikenal sebagai pohon (dan bukan sebagai manusia)? Obyek itu hams memiliki eidos, kata Yunani yang berarti bentuk. Eidos (juga morphe) berarti aspek dari suatu benda, clan unsur yang menstruktur benda itu dari dalam sehingga A adalah A (bukan B). Lewat eidos itulah suatu benda bukan saja mendapat kodrat, tapi juga dapat diketahui maksud clan tujuannya

Kegiatan Mengetahui Ini merupakan proses psikologis yang sangat rumit. Tetapi, yang jelas, unsur ini seakanakan berada di antara S dan O. Kegiatan inilah yang menandai gejala persatuan (union) antara S dan O.

knowing Activity

Masalah yang sering diperdebatkan oleh para filsuf ialah apakah tahu/pengetahuan itu sama dengan pengalaman? Dengan kata lain, apakah mengetahui sesuatu sama dengan mengalami sesuatu? Reuben Abel, dalam bukunya Man is the Measure mengatakan bahwa tahu dan pengalaman tidak sama. Filsuf Bertrand Russell membedakan tahu melalui pertemuan langsung (knowledge by acquaintance) dan tahu melalui deskripsi (knowledge by description). Yang pertama bersifat langsung.

Bambang, misalnya, mengatakan bahwa dia tahu/kenal si Budi atau si Vina, kenal candi Borobudur atau Lembang, kenal rendang atau nasi gudeg Yogya. Russell menyamakannya dengan seorang pencinta anjing yang mengenal baik anjingnya. Pengenalan semacam ini punya tingkatan, tapi tidak pernah palsu.

Saya bisa mengatakan bahwa pemeran dalam sinteron itu adalah teman kelasku Vicky. Kalaupun itu tidak benar, maka yang tidak benar itu pernyataanku, bukan pengetahuanku. Pengetahuan jenis inilah yang dimitiki antara seorang kekasih terhadap orang atau sesuatu yang dicintainya, guru terhadap muridnya, dokter terhadap pasiennya. Martin Buber, misalnya, berkata spontan bahwa dia mengenal Tuhan lewat pertemuan langsung.

Pengetahuan melalui deskripsi adalah pengetahuan ilmiah. Artinya, saya tahu bahwa yang itu memang begitu. Atau, merupakan deskripsi atas fakta, dan sebab itu harus ditampilkan dalam bentuk proposisi atau kalimat-kalimat. Tapi tahu bahwa (knowing that), harus dibedakan dari tahu bagaimana (knowing how). Si Eva dapat tahu bagaimana berenang, bagaimana mengikat dasi, tanpa perlu melukiskan dengan tapat bagaimana berenang atau mengikat dasi. Ini berlaku, misalnya, pada hal-hal menyangkut keterampilan dan kerajinan, merasakan anggur atau memecahkan teka-teki.

Michael Polanyi mengatakan bahwa tahu bagaimana duduk seimbang di atas sepeda belum tentu berarti bahwa tahu bahwa “untuk suatu sudut ketidakseimbangan, lekukan setiap belokan secara berbanding terbalik dengan kwadrat kecepatan”. Pengalaman (experience) adalah suatu yang menyangkut segalanya yang kita lakukan atau apa saja yang terjadi pada kita. la menyangkut sensasi, emosi, rasa sakit, pengalaman estetik dan pengalaman mistik. Pengalaman tak dapat disamakan dengan pengetahuan proposisional.

Pengetahuan tidak berfungsi menggandakan pengalaman, tapi memerihkannya (deskripsi). Pengetahuan tidak berfungsi mereproduksi apa yang terjadi, tapi menjelaskannya. Tahu apa itu marah (knowing what anger is), misalnya, tidak sama dengan menjadi marah (being angry). Menikmati anggur tidak sama dengan tahu komposisi anggur. Kehidupan lebih luas yang seringkali tidak cukup dilukiskan dengan kata-kata. Oleh sebab itu J.L.Austin mengatakan fakta lebih kaya dari kata-kata (fact is richer than diction).

Meskipun demikian, pengalaman dan pengetahuan bukan saling berkompetisi. Pengalaman bisa menjadi insentif untuk memperoleh pengetahuan, atau menjadi bukti untuk pengetahuan tertentu, atau menjadi obyek pengetahuan. Tetapi pengalaman bukan pengetahuan itu sendiri.

Kita jangan mencampurkan deskripsi dengan apa yang dideskripsikan, penjelasan dengan apa yang dijelaskan, pengetahuan dengan pengalaman. Dokter pria tidak ipso facto tahu lebih sedikit tentang menstruasi dan kelahiran dibanding rekannya yang wanita. Jadi, pengalaman dan pengetahuan langsung (knowledge by acquantance) merupakan unsur yang sangat penting bagi pengetahuan deskriptif, tapi tidak pernah menggantikan, atau menjadi rival, pengetahuan deskriptif.

Sampai hari ini masih belum ada kesepakatan di kalangan para filsuf tentang apakah pengetahuan harus bersifat proposisional (diungkapkan dalam kalimat). Ada dua kubu yang bertentangan. Kubu pertama mengatakan pengetahuan harus proposisional, dan kubu kedua yang berpendapat bahwa pengetahuan tidak harus proposisional. Mereka yang masuk kubu pertama antara lain Rudolf Carnap (ilmu pada prinsipnya dapat mengatakan semua yang dapat dikatakan), Hans Reichenbach (apa yang kita tahu dapat dikatakan, dan apa yang tak dapat dikatakan tak dapat diketahui), dan Wittgenstein awal (apa saja yang dapat dikatakan dapat dikatakan dengan jelas).

Scdangkan yang mewakili kubu kedua antara lain Polanyi (kita tahu lebih banyak daripada yang dapat kita katakan). Termasuk kubu ini adalah mereka yang mengatakan bahwa pengetahuan sebenamya dapat dimiliki oleh semua tingkatan makluk hidup. Jadi, bagi mereka ini, seorang bayi pun bisa tahu bahwa api panas. Anjing tahu dan bisa membedakan kapan ia digiling dan kapan ditendang. Tumbuhan tahu mana bagian atas mana bagian bawah.

Paradigma untuk pengetahuan proposisional adalah Saya tahu bahwa p(I know that p), di mana p adalah suatu kalimat, yakni statemen yang benar atau salah. Misalnya Hari ini hari Kamis, atau Habibie menggantikan Soeharto sebagai presiden RI. Analisis terhadap kalimat saya tahu bahwa p menunjukkan bahwa harus dipenuhi empat persyaratan:

  1. Bahwa p adalah benar. Oleh karenanya kalau saya katakan “Saya tahu bahwa 2 + 2= 5” pasti Anda mengatakan: “Anda tidak tahu, sebab tidak benar”. Itulah sebabnya Plato mengatakan bahwa “hanya apa yang benar dapat diketahui”.
  2. Bahwa saya yakin bahwa p. Keyakinan (belief) adalah sikap atau tindakan akal. Keyakinan itu bukan pengetahuan, tapi syarat untuk pengetahuan. Jadi, saya dapat mengatakan: “saya yakin bahwa p, tapi saya tidak tahu”. Sebaliknya, saya tak dapat berkata: “saya tahu bahwa p, tapi saya tidak yakin”. Keyakinan adalah persyaratan wajib (necessary condition) bagi pengetahuan, tapi bukannya syarat yang cukup (sufficient condition). Orang dapat percaya sepenuh hati tanpa tahu, tapi orang tak da pat tahu tanpa percaya.
  3. Bahwa saya punya alasan, atau bukti yang cukup, bagi keyakinanku bahwa p. Keyakinan saya harus dibuktikan. Ini untuk membedakan pengetahuan dari lucky guess atau astrologi. Kalau saya katakan bahwa path Lebaran tahun 1999, orang yang mu dik dari Jakarta mencapai dua juta orang, Anda akan minta bukti, atau bertanya lagi dari mana saya memperoleh angka tersebut. Jadi, bukti yang cukup belum otomatis membuat orang tahu. Misalnya, ketika seorang selesai membaca cerita detektif yang seru, ia berkata spontan: mustinya saya tahu! Atau setelah penyebab kanker ditemu kan, para ahli yang menyadari bahwa mereka sudah pusing mencarinya bertahun tahun, berkata bahwa mereka memang baru tahu. Jadi, bukti adalah persyaratan yang wajib bagi pengetahuan, bukan persyaratan yang cukup.

Dalam kaitan dengan ini, sering muncul perdebatan tentang apakah mungkin ada pengetahuan tanpa disadari. Dengan perkataan lain, agar saya tahu bahwa p, apakah saya harus tahu bahwa saya tahu? Apakah Anda tahu sepatu mana yang selalu pertama Anda pakai? Kiri atau kanan? Atau lagu apa yang diperdengarkan radio ketika Anda membaca koran? Dalam psikoanalisa, Freud menunjukkan bahwa pengetahuan tanpa disadari itu mungkin saja.

Bahwa saya tidak punya bukti lain yang dapat menentang keyakinanku. Saya, misalnya mengatakan “saya tahu bahwa sekarang pukul 12.00” sebab jarum jamku memang menunjukkan bahwa sekarang pukul 12.00.

DAFTAR PUSTAKA

S.M.N. Al-Attas, 1984,  Konsep Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, Cet. I

  1. A Van Peurson 1980Orientasi di Alam Filsafat Jakarta, PT Gramedia.

Ahmad Saebani, 2009 Filsafat Ilmu, bandung;CV Pustaka Setia,

Lorens bagus. 1996 Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Harun Hadiwijono. 1993 Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius,