Menu Tutup

Wahyu: Pengertian, Cara Penyampaian, dan Konsep Wahyu

Pengertian Wahyu

Dikatakan wahaituilaih dan auhaitu, bila kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat.Itu terjadi melalui pembicaran yang berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.

Al-wahy atau wahyu adalah kata masdar; dan materi kata itu menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu maka dikatakan bahwa wahyu adalah: pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat dan khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.

Secara istilah wahyu didefinisikan sebagai: kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi. Definisi ini menggunakan pengertian maf`ul, yaitu al muha (yang diwahyukan).[2]

Ibnu Mandzur mendefinisikan, ahyu adalah pemberian informasi yang tersembunyi yang khusus disampaikan kepada para nabi Allah SWT.ma’na al qaththan wahyu adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi dari para Nabi-Nya.sebagaimana diungkapkan oleh Al-Asfahani, bahwa wahyu adalah ilmu rabbaniy dan bersifat pasti.[3]

Ustadz Muhammad Abduh membedakan antara wahyu dengan ilham. Ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui darimana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan rasa lapar, haus sedih dan senang.[4]

Wahyu dan Tanzil

Catatan dari al-Qaththan bahwa wahyu itu munazzal; diturunkan langsung, perlu mendapatkan perhatian tersendiri. Karena itu berarti bahwa apa yang diterima Nabi adalah murni sebagai firman Allah Swt secara utuh.  Tidak terkandung didalamnya penafsiran dan pengalihan bahasa oleh malaikat atau oleh Nabi sendiri. Dalam berbagai ayat al-Qur’an penegasan wahyu sebagai tanzil ini dapat ditemukan:

“Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya (langsung menyiksanya). Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya.Maka sekali-sekali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. (QS. Al-Haqqah: 43-47)

“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orrag-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa arab yang jelas”. (QS. As-Syu’ara: 192-195)

Dalam ayat ini Allah swt dengan sangat tegas menyatakan bahwa al-Qur’an tanzil; diturunkan langsung dalam bahasa arab kedalam sanubari Nabi Muhammad saw. Tidak ada campur tangan malaikat sedikitpun.Termasuk juga Nabi, sebagaimana dinyatakan dalam ayat sebelumnya.

Jelas sekali bahwa wahyu yang diturunkan Allah swt kepada para Nabi, termasuk kepada Nabi Muhammad saw, adalah kalam Allah, dan tentunya tidak akan sama dengan hasil kreasi manusia. Dengan sendirinya wahyu ini pun metahistoris; tidak terikat sejarah; tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Kalau memang wahyu, khususnya al-Qur’an merupakan hasil kreasi manusia tepatnya Nabi Muhammad saw, tentu manusia-manusia yang lainpun akan mampu membuat karya yang serupa dengan al-Qur’an. Akan tetapi fakta berbicara lain, al-qur’an tidak bisa disamai oleh karya manusia yang ada waktu itu, bahkan sampai hari ini.

Allah menentang manusia membuat yang serupa dengan al-Qur’an, mulai dari satu mushaf seperti al-Qur’an, sepuluh surat, bahkan sampai satu surat, akan tetapi sampai hari ini memang tidak ada yang bisa membuatnya. Ini menjadi bukti shahih bahwa al-Quran bukan dihasilkan oleh kreasi manusia yang terikat oleh sejarah itu, melainkan kalam Allah swt yang melintasi sejarah.[5]

Cara Penyampaian Wahyu

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Dalam proses pewahyuannya, terdapat beberapa cara untuk menyampaikan wahyu yang dibawa Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, diantaranya:

  1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi. Dalam hal ini, Nabi tidak melihat sesuatu apapun, hanya merasa bahwa wahyu itu sudah berada di dalam kalbunya. Mengenai hal ini, Nabi mengatakan: Ruhul Qudus mewahyukan ke dalam kalbuku,
  2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi menjadi seorang lelaki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga Nabi mengetahui dan dapat menghafal kata-kata itu.
  3. Wahyu datang kepada Nabi seperti gemerincingnya lonceng. Cara ini dirasakan paling berat bagi Nabi. Kadang pada keningnya berkeringat, meskipun turunnya wahyu di musim dingin. Kadang unta Baginda Nabi terpaksa berhenti dan duduk karena merasa berat bila wahyu turun ketika Nabi sedang mengendarai unta.
  4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki, tetapi benar-benar sebagaimana rupa aslinya.[6]

Konsep Tentang Wahyu

Secara umum gagasan tentang wahyu muncul pada saat manusia mempunyai gagasan tentang tuhan yang transeden, sehingga diperlukan adanya cara/perantara yang menghubungkan kehidupan manusia yang “real” dengan tuhan yang “transeden”.Maka lahirlah gagasan tentang wahyu.Gagasan tentang wahyu tidak muncul dan mengemukakan pada saat manusia memahami tuhan/dewa sebagai sesuatu yang personal. Karena sebagai tuhan yang personal, tuhan akan bicara kepada manusia selayaknya cara manusia.

Seiring berjalannya waktu,konsep tentang wahyu itu sendiri menjadi sangat bervariasi. Ada yang mengatakan bahwa tuhan bicara secara “verbatim” seperti kisah “bertemunya” Musa dengan tuhan di gunung dan kemudian Musa turun membawa lempengan batu yang berisi “firman tuhan”.

Ada pula konsep lain yang mengatakan firman tuhan (wahyu) sampai pada nabi/rasulnya melalui perantara malaikat Jibril, dan wahyu ini tidak disampaikan secara “verbatim” tapi dengan cara yang bevariasi, ada yang berisikan wahyu bisa datang ke Muhammad berupa suara lonceng, yang dengan demikian tugas Muhammad adalah menerjemahkan suara lonceng tadi menjadi sebuah kalimat yang bisa dipahami oleh umatnya.[7]

Memahami konsep wahyu dapat terbagi kedalam dua besaran. Salah satunya makna wahyu alam arti yang lebih luas yakni sebagai proses komunikasi. Dalam pemaknaan demikian wahyu merupakan proses pemberian informasi.

Tampaknya tidak berlebihan jika Izutsu kemudian mengupasnya dalam perspektif semantik linguistik untuk memahami konsep ini.Dalam makna inilah (firman) maka wahyu menjadi sakral dan memerlukan penalaran keagamaan untuk memahaminya. Hal ini terjadi, karena dalam suatu dimensi tertentu, wahyu meliputi keseluruhan informasi yang Tuhan berikan kepada manusia.

Akan tetapi dalam Al-Qur’an, wahyu diperlukan sedemikian istimewa, sesuatu yang misterius dan tidak tertangkap oleh pikiran manusia biasa, yang karenanya memerlukan perantara “nabi”. Jadi dalam konteks ini wahyu dalam makna firman tuhan harusnya diterima para nabi untuk kemudian disampaikan kepada umat  manusia. Satu hal yang unik, wahyu dalam islam disampaikan tuhan tidak dengan bahasa yang misterius, bahasa yang berjarak dengan manusia, melainkan dengan bahasa manusia itu sendiri.[8]

Konsep Tentang Sumber Wahyu

Konsep tentang sumber wahyu juga bervariasi.Ada yang mengemukakan gagasan bahwa sumber wahyu itu tunggal (dari tuhan), ada juga yang berpendapat sumber wahyu itu plural[9]. Dari sisi literal tekstual-penggunaan ayat-ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa pewahyuan, turunnya dan penjagaan al-Qur’en menggunakan kata “kami” bukan “saya/aku”-maupun proses kesejarahan al-qur’an sendiri, sumber dan proses al-qur’an memang tidak tunggal, tapi plural: berasal dari “sumber dan proses kreatif-kolektif” yang lebih mengarah pada konteks dimana Nabi Muhammad itu hidup, baik sebelum dia menerima wahyu ataupun setelahnya. Malah, proses kreatif “pewahyuan” itu lebiyh banyak sebelum Mugammad menerima wahyu. Hanya saja, periode Muhammad sebelum menerima wahyu adalah “tahun-tahunyang hilang” ataupun tidak menjadi perhatian.Tujuannya adalah untuk menunjukkanpewahyuan yang tunggal dari tuhan, tidak ada pengaruh konteks dan sejarah terhadap pewahyuan itu.[10]

Deskontruksi Konsep Wahyu

Saat ini konsep wahyu yang sangat jelas dan gamblang sebagaimana diuraikan diatas, didekonstruksi oleh sebagian pihak.Wahyu dinilai bukan kalam Allah, melainkan teks yang dibuat oleh sejarah.Maka hermeneutika pun menjadi satu-satunya model penafsiran yang tepat untuk al-Qur’an.

Menurut komaruddin, al-Qur’an haruslah dilihat dari persefektif teologi filsafat linguistik.Sebuah pandangan teologis menyebutkan al-Qur’an adalah suci, kebenarannya absolut, berlaku dimana dan kapan saja.Sehingga dia tidak bisa dirubah dan diterjemahkan. Begitu diterjemahkan dna ditafsirkan, maka ia bukan lagi al-Qur’an, melainkan terjemahan dan tafsiran al-Qur’an.

Komaruddin juga menjelaskan, wahyu itu pada dasarnya bukanlah bahasa tertulis.Wujud wahyu adalah “suara” atau “bisikan”. Proses kalam Allah yang abadi, universal dan metahistoris tersebut menjadi bahasa arab yang bersifat budaya, berdimensi lokal dan partikular merupakan sebuah hal yang selalu memancing nalar kritis.

Komaruddin juga menjelaskan lebih lanjut, dalam al-qur’an yang telah tersaji saat ini, setidaknya telah melalui dua proses penafsiran, yaitu:

  1.  penafsiran al-quran yang dilakukan oleh jibril yang kemudian didiktekan kepada Muhammad secara filosofis, persoalan siapa jibril, masih bisa diperdebatkan.
  2.  penafsiaran yang mungkin terjadi dalam diri muhammad Rasulullah. Bukankah Muhammad sebagai sosok yang cerdas, jujur, amanah, dan sebuah kaset kosong untuk diisi rekaman?Jadi, ketika mendapat wahyu, Muhammad bertindak aktif memahami, menyerap dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arab.

Dekonstruksi yang dilakukan dikalangan liberal tertuju pada dua hal, yaitu:

  1. Hakikat wahyu yang berujung pada pemberlakuan heurmeneutika
  2. Kedudukan mushaf ‘Utsmani yang menurut mereka sudah tidak otentik lagi.[11]

[1] Desakralisasi adalah penghapusan atau pelenyapan nilai yang dianggap keramat (sakral)

[2]http://alfarabi1706.blogspot.com/2012/10/konsep-wahyu.html

[3]http://.google.com/gt/x?=id&u=http://iraanmalik.blogspot.com/2013/05/konsep-wahyu.html&q=konsep+wahyu&sa=X&ei=DRmKoW8MlaRrAeOhoDADw&ved=OCCsQFjAEOBQ/2013/11/19/11:39

[4]http://alfarabi1706.blogspot.com/2012/10/konsep-wahyu.html

[5] Nashruddin syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, 2010, hal  148-153

[6]ahmadbudi2991.blogspot.com/2012/03/konsep-wahyu.html

[7]http://ww.google.com/gwt/x?hl=id&u=http:/qiemo.tumblr.com/post/875683055/konsep-tentang wahyu&q=konsep+wahyu&sa=X&ei=TeGJUuayJYaCrAegilGIA&ed=OCCoQFjAC/2013/11/18/17:41

[8] http://w.google.com/gt/x?hl=id&u=http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/117-tinjauan-islam-tentang-konsep-wahyu-dan-pewarisan-amanat-keagungan-ilahi&q=konsep+wahyu&sa=X&ei=ufOJUtGfL8v9rAfltlG4BQ&ved=OCCgFjABOAo/2013/11/19/11:25

[9] Plural adalah lebih dari satu, jamak

[10]http://ww.google.com/gwt/x?hl=id&u=http:/qiemo.tumblr.com/post/875683055/konsep-tentangwahyu&q=konsep+wahyu&sa=X&ei=TeGJUuayJYaCrAegilGIA&ed=OCCoQFjAC/2013/11/18/17:41

[11] Nashiruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal (Panduan Worldvie Untuk Para Aktivis Da’wah). Bandung, hal. 164

Baca Juga: