Menu Tutup

Zikir dan Doa Yang Dibaca Antara Shalat Tarawih

Doa atau wirid yang dibaca diantara sela atau jeda di dalam raka’at-raka’at shalat tarawih sebenarnya tidak memiliki contoh langsung dari sunnah dari Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam -. Baik wirid itu dalam bentuk doa, dzikir, atau syair-syair yang biasa dilantunkan oleh para jamaah.

Sehingga bila didapati adanya perbedaan bacaan antara jama’ah shalat tarawih bacaan, karena memang tidak ada dasarnya, sehingga masing-masing penyelenggara shalat tarawih berimprovisasi sendiri-sendiri. Terkadang mereka meniru ucapan-ucapan dari tempat lain yang mereka sendiri tidak tahu dasarnya.

Meski demikian, mereka juga berargumentasi atas keabsahan zikir ini dengan keumuman hadits yang melarang menyambungkan antara dua shalat secara langsung, kecuali dengan dipisahkan terlebih dahulu oleh ucapan tertentu.

Dari Nafi’ bin Jubair: Bahwa ia mengutusnya kepada Sa`ib putra saudara perempuan Namir untuk menanyakan sesuatu yang pernah dilihat oleh Mu’awiyah dalam shalat, maka Sa`ib berkata, “Benar aku pernah shalat Jum’at bersama Mu’awiyah di dalam Maqshurah (suatu ruangan yang dibangun di dalam masjid). Setelah imam salam aku berdiri di tempatku kemudian aku menunaikan shalat sunnah. Ketika Mu’awiyah masuk, ia mengutus seseorang kepadaku dan utusan itu mengatakan, ‘Jangan kamu ulangi perbuatanmu tadi. Jika kamu telah selesai mengerjakan shalat Jum’at, janganlah kamu sambung dengan shalat sunnah sebelum kamu berbincang-bincang atau sebelum kamu keluar dari masjid. Karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan hal itu kepada kita yaitu ‘Janganlah suatu shalat disambung dengan shalat lain, kecuali setelah kita mengucapkan kata-kata atau keluar dari Masjid.’ (HR. Muslim)

Meski demikian, tidak sedikit yang menilai bahwa perbuatan ini termasuk bid’ah.

Namun, tentu bid’ah dalam fiqih tidak otomatis dihukumi haram, selama tidak ada unsur yang bertentangan dengan syariah. Begitu pula tidak bisa dianggap wajib untuk dilakukan, sebab mewajibkan suatu perbuatan diperlukan adanya dalil yang pasti. Dan tidak terdapat dalil nash yang pasti tentang masalah ini.

Karena tidak ditemukan dasar praktiknya secara langsung kepada Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam -, hal ini, membuat para ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya.

Terlebih, praktik ini telah menjadi suatu tradisi yang turun menurun dilakukan setiap kali shalat tarawih diselenggarakan. Tentunya dengan menghargai perbedaan ini, merupakan sikap yang terbaik.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (w. 974 H) berkata dalam kumpulan fatwanya yang dikumpulkan oleh muridnya Syaikh Abdul Qadir bin Ahmad al-Fakihi al-Makki (w. 982 H), dalam rangka menjawab persoalan ini:

Imam Ibnu Hajar al-Haitami – fasahallahu fi muddatihi – ditanya, apakah disunnahkan membaca shalawat untuk Nabi – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – antara taslim shalat tarawih atau amalan ini merupakan id’ah yyang mesti dilarang?

Imam Inu Hajar al-Haitami menjawab: membaca shalawat secara khusus pada praktik ini, tidaklah kami mendapati dasarnya di dalam sunnah Nabi ataupun perkataan ashab (ulama Syafi’iyah). Maka amalan ini termasuk bid’ah yang  mesti dilarang jika diniatkan untuk dilakukan atas dasar sunnah yang khusus. Namun jika dimaksudkan sebagai sunnah yang umum, yang pada dasarnya tidak dibatasi waktunya, maka tidak mengapa. [Ahmad bin Muhammad Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, (t.t: al-Maktabah al-Islamiyyah, t.th), hlm. 1/186.]

Sumber:
Isnan Ansory, Lc., M.Ag., I’tikaf, Qiyam al-Lail, Shalat ’Ied dan Zakat al-Fithr di Tengah Wabah, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020.

Baca Juga: