Menu Tutup

Abu Dzar al-Ghifari

Sebelum Masuk Islam

Tidak diketahui pasti kapan Abu Dzar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan tinggal dekat jalur kafilah Makkah, Syria. Riwayat hitam masa lalu Abu Dzar tak lepas dari keberadaan keluarganya. Nama lengkapnya Jundab (Jundub) bin Junādah bin Qais bin Amr.

Abu Dzar yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghifar saat itu,   tetapi ia dan pengikutnya hanya merampok orang-orang kaya dan hasil rampokannya dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Kerusakan dan derita korban yang disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya, insaf dan berhenti dari aksi jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala perbuatan jahatnya itu, tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya. Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis al-Ghifar, Abu Dzar hijrah ke Nejed. Ini merupakan hijrah pertama Abu Dzar dalam mencari kebenaran.

Masuk Islam

Keislaman Abu Dzar bermula dari saudaranya yang bernama Anīs al-Ghiffārī. Ketika itu, saudaranya baru pulang dari Makkah. Kepada Abu Dzar, Anīs menceriterakan bahwa ia bertemu dengan seorang Nabi (Muhammad Saw.) yang menyebarkan agama sama seperti yang diamalkan Abu Dzar, yaitu mewajibkan orang kaya memberikan sebagian hartanya kepada fakir miskin. Seperti Abu Dzar, Nabi pembawa agama baru itu sangat mengecam orang yang tidak memperhatikan orang lemah, seperti anak yatim dan fakir miskin. Berita ini memberikan daya tarik yang luar bisaa kepada Abu Dzar.

Abu Dzar kemudian menuju Makkah. Secara terang-terangan, ia mengucapkan kalimat syahadat di dekat Ka’bah. Suasananya saat itu sangat mencekam dan menakutkan, yang menyebabkan para sahabat takut menyatakan keisalannya secara terang-terangan. Hal itu disebabkan oleh adanya ancaman dan penganiayaan kaum musyrik Makkah terhadap penganut agama Islam.

Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, Abu Dzar disiksa kaum musyrik Makkah sampai tubuhnya berlumuran darah. Setelah menyatakan keislamannya ia kembali ke kampung halamannya dan mengajak sanak keluarganya dan kerabat dekatnya masuk Islam.

Beberapa bulan setelah Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah, Abu Dzar membawa  rombongannya darI  kabilahGhiffār  dan  Aslam  ke  Madinah.  Mereka menyatakan sumpah setia kepada Nabi. Ia termasuk ahl al-suffah, ayitu sekelompok sahabat yang tinggal di serambi Masjid Nabawi yang senantiasa beribadah, zuhud dari dunia dan miskin.

Di kalangan sufí, Abu Dzar dipandang sebagai perintis gaya hidup sufí. Sepanjang hidupnya dia memilih hidup dalam kefakiran, meskipun punya peluang untuk hidup kaya. Bagi sufí, kefakiran menduduki derajat tinggi di jalan kebenaran dan orang faquir sangat mereka hargai. Mereka merujuk kepada firman Allah Swt. QS. Al-Baqarah (2): 273.

Artinya: (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. (QS. Al-Baqarah [2]: 273)

Di kalangan ahli hadiś, Abu Dzar dikenal sebagai perawi hadiś, ia meriwayatkan 281 hadiś Nabi Saw. 31 hadiś diantaranya diriwayatkan oleh al- Bukhari (194-256 H/810-870 M) dan Muslim (202/206-261 H/817/821-875 M) dalam kitab sahihnya.

Kematian Abu Dzar persis seperti yang diprediksi oleh Rasulullah Saw.di Rabazah: “Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan mati dalam kesendirian, tetapi serombongan orang yang saleh dari Irak kelak akan mengurus pemakamanmu.” Sebelum Abu Dzar wafat, istrinya terlebih dahulu meninggal dunia. Ketika hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia berpesan kepada anaknya, “Pergilah ke atas bukit, di sana ada orang Irak yang akan mengurus penguburanku. Sampaikan kepada mereka, jangan kafani aku dengan kain yang dibeli dari upah pegawai pemerintah.”

Pelayan Dhuafa dan Pelurus Penguasa

Semasa hidupnya, Abu Dzar al-Ghifari sangat dikenal sebagai penyayang kaum mustadh’afun. Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abu Dzar. Sudah menjadi kebisaaan penduduk Ghiffar pada masa jahiliyah merampok kafilah yang lewat. Abu Dzar sendiri, ketika belum masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya. Namun hasilnya dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa. Kebisaaan menyayangi kaum lemah ini, tidak berhenti ketika sudah memeluk Islam.

Ada suatu riwayat, ketika pasukan Muslim berhasil menaklukkan Mesir, Abu Dzar menjadi salah satu sahabat yang berperan. Untuk itu, atas jasanya tersebut Abu Dzar dan sahabat-sahabat yang lain mendapatkan bagian sebidang tanah di Fusthath. Akan tetapi, tanah bagiannya tersebut ditinggaIkannya dan ia lebih memilih tinggal di Keteguhannya dalam membela kaum lemah, menjadi ciri khas corak perjuangan

Abu Dzar al-Ghifari. Hingga suatu saat ia tidak sepakat kepada kebijakan Khalifah Utsman bin Affan yang akan mendirikan bait al-māl (perbendaharaan negara) guna mengurus harta umat Islam (māl al-muslimin) karena dikhawatirkan akan terjadi perampasan harta umat Islam dengan dalih untuk harta Allah Swt. Begitu juga saat berkunjung ke Damaskus pada tahun 32 H/652 M, Abu Dzar menyaksikan Gubernur Mu’awiyah bin Abu Shufyan sedang membangun istana hijaunya, al-Khizra yang megah. Abu Dzar berkata kepada Mu’awiyah, “….kalau engkau membangun istana dengan hartamu, itu berlebih-lebihan. Kalau engkau membangun dengan harta rakyat, engkau berkhianat.” Keberanian dan ketegasan sikap Abu Dzar ini mengilhami tokoh-tokoh besar selanjutnya, seperti al-Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan lainnya.

Diriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw. berpesan kepada Abu Dzar al-Ghifari dengan tujuh wasiat, yaitu: (1) mencintai orang miskin, (2) lihatlah orang yang lebih rendah dalam hal materi dan penghidupan, (3) menyambung silaturrahim, (4) perbanyaklah ucapan lā haula walā quwwata illā billāh, (5) berani berkata benar meskipun pahit, (6) tidak takut celaan ketika berdakwah di jalan Allah, dan (7) tidak meminta-minta.

Baca Juga: