Menu Tutup

Akibat Zina Bagi Kemahraman Menurut Ulama

Mahram yang telah disepakati para ulama telah disebutkan dengan jelas di judul sebelumnya. Dari pemaparan tersebut kita sudah mengetahui siapa saja mahram kita.

Adapun sebab kemahraman yang tidak disepakati oleh para ulama ialah karena terjadinya zina. Maksudnya apakah setelah terjadinya zina maka kemahraman pun akan terjadi bagi masingmasing pezina?. Contoh,  ketika seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, apakah ibu si wanita yang ia zinai tersebut akan otomatis menjadi mahramnya?

Dalam hal inilah terjadi perbedaan pendapat antara ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa  zina akan berakibat kepada terjadinya kemahraman. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa zina tidak menyebabkan kemahraman.

1. Pendapat Pertama

Pendapat pertama adalah pendapat dari ulama mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa  zina dapat menyebabkan kemahraman dengan jalur mahram mushaharah atau pernikahan.

Bahkan, ulama Mazhab Al-Hanafiyah mengkategorikan hal-hal yang dilakukan sebelum zina seperti bercumbu, mencium, dan menyentuh dengan syahwat sebagai sebab terjadinya kemahraman. Karena memang hal-hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya watha’ (hubungan suami istri) atau zina. Maka hukumnya pun sama seperti zina.

Ulama Mazhab Al-Hanabilah juga berpendapat bahwa homoseksual dan lesbi juga bagian dari zina yang menyebabkan kemahraman.

Ketika zina dapat menyebabkan kemahraman,  laki-laki yang menzinai ini haram hukumnya menikahi :

  1. Anak hasil zina
  2. Saudari perempuan yg dizinai
  3. Cucu perempuan dari anak laki-laki hasil zina
  4. Cucu perempuan dari anak perempuan hasil zina
  5. Ibu dari perempuan yang dizinai
  6. Nenek dari perempuan yang dizinai

Apabila laki-laki berzina dengan seorang wanita, anak perempuan dan ibu dari wanita tersebut otomatis menjadi mahram baginya. Begitupula jika seorang suami menziani ibu mertuanya atau anak perempuan dari istrinya secara otomatis pula si istri akan menjadi mahram baginya. Sehingga pernikahannya dengan istrinya menjadi tidak sah.

Dalil yang digunakan oleh para ulama  pendapat ini ialah sebagai berikut:

a. Dalil Pertama

Hadist Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam:

Suatu riwayat mengatakan bahwa seorang lelaki berkata kepada Rasulullah :”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina dengan seorang wanita di masa jahiliyah, apakah aku boleh menikahi anaknya? Beliau menjawab : “Aku tidak setuju dengan itu, dan tidak boleh kamu menikahi dari anak  dari hasil zina seperti halnya kamu menikahi wanita yang engkau zinai tersebut”.

b. Dalil Kedua

Sesungguhnya zina merupakan sebab adanya keturunan, maka penetapan kemahramannya di qiyaskan dengan selain zina seperti pernikahan, dan keharaman zina itu tak berpengaruh.

Dalilnya adalah qiyas, yaitu sepakatnya ulama pendapat pertama ini ketika seorang wanita di dukhul (di jima) dengan akad yang rusak atau akad yang tidak sah maka secara tidak langsung akan terjadi mahram dari jalur pernikahan. Walupun jima yg dilakukan ini pada dasarnya haram.

Dan pendapat ini dibantah, karena qiyas yang digunakan merupakan qiyas dengan suatu hal yang berbeda, karena zina itu diwajibkan adanya had (hukuman) dan tidak bisa ditetapkan adanya nasab karenanya.

Beda halnya dengan watha’ dalam pernikahan. Maka Imam Asy-Syafi’i berkata kepada Muhammad Hasan :”Sesungguhnya pernikahan itu suatu perbuatan yang di puji sedangkan zina adalah perbuatan yang menyebabkan adanya rajam, maka bagaimana kedua hal ini bisa disamakan?

2. Pendapat Kedua

Pendapat kedua adalah pendapat ulama Mazhab Maliki dan ulama Mazhab Syafi’i. Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya zina, pandangan, dan sentuhan tidak menyebabkan terjadinya kemahraman dari jalur pernikahan.

Maka bagi siapa saja yang telah berzina dengan seorang wanita tidak diharamkan baginya menikahi wanita tersebut, dan juga tidak diharamkan untuk menikahi ibu wanita yang dizinai atau pun anak hasil zinanya.

Wanita yang dizinai tersebut pun tidak lantas menjadi mahram kepada para orang tua dari lakilaki yang menzianinya dan tidak pula kepada anakanaknya.

Dan apabila seorang suami menzinai ibu mertuanya atau anak perempuannya, tidak menyebabkan terjadinya kemahraman kepada istrinya sendiri. Hukum ini juga berlaku pada pelaku sodomi.

Oleh sebab itu, Imam As-Syaf’i pernah menulis dalam argumentasinya yang ditujukan pada Muhammad Bin Hasan:

Watha’ itu ada dua. Ada watha’ yang menyebabkan seorang wanita itu dimuliakan dan terjaga kehormatannya (jima’ dalam pernikahan yang sah), adapula watha’ yang menyebabkannya dirajam (zina). Salah satunya adalah nikmat dimana Allah menciptakan darinya hubungan nasab & hubungan mushaharah, juga mewajibkan masing-masing untuk menjaga hak pasangannya. Sedangkan watha’ yang satu lagi merupakan musibah. Maka, bagaimanakah keduanya dapat

disamakan hukumnya?” (As-Syirbini, Mughni AlMuhtaj, jilid 3 hal 178)

a. Dalil Pertama

Hadist Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam ketika ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina :

“Sesungguhnya Nabi Shallalahu Alihi Wasallam ditanya tentang seorang lelaki yang berzina dengan seorang wanita, kemudian ia ingin menikahi wanita tersebut atau anak dari wanita yang ia zinai, maka Beliau berkata : Sesuatu yang haram tidaklah mengharamkan yang halal, yang bisa menjadikan mahram adalah yang dilakukan dengan nikah yang halal.

Imam Ad-Damiri juga sependapat dengan ulama Mazhab Syafi’i bahwa zina tidak bisa menyebabkan kemahraman dari jalur pernikahan. Sehingga seorang lelaki yang berzina boleh saja menikahi ibu dari wanita yang ia zinai.

Pendapat Mazhab ini pun dikuatkan dengan hadist :

“Seorang lelaki  yang pernah berzina dan dirajam tidak boleh menikah kecuali dengan wanita yang ia zinai” ( Riwayat Ahmad & Abu Daud, berkata Ibn Hajar, perawinya dipercayai)

Rasulullah SAW juga pernah memberikan dalil bagi seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita yang pernah berzina.

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu`min. (QS. An-Nur : 3)

b. Dalil Kedua

Pengharaman secara musoharah adalah suatu ni’mat, karena ia menjadikan oang yang dahulunya asing sebagai keluarga. Sedangkan zina adalah suatu perbuatan yang diharamkan syari’at, maka tidak bisa menjadi suatu sebab kenikmatan. Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam bersabda:

“Musoharah (pernikahan) adalah suatu hubungan darah sebagaimana hubungan darah dengan keturunan” ( Riwayat Ahmad, at-

Tobrani, berkata al-Hafiz Nuruddin al-Haithami, perawi dari Ahamd dipercayai)”

c. Dalil Ketiga

Salah satu dari tujuan adanya mahram dari jalur pernikahan adalah untuk menuntaskan syahwat antara laki-laki dan wanita, agar adanya hubungan yang harmonis dan kasih sayang diantara keduanya. Dan juga merupakan suatu perkumpulan yang bebas dari keraguan.

Sedangkan wanita yang di zinai merupakan seorang yang asing bagi si laki-laki yang menzinai, dan tidak ada hubungan apa-apa dengannya secara syari’at. Mereka berdua pun tidak saling mewarisi, tidak wajib pula bagi si laki-laki untuk menafkahi wanita yang ia zinai, mereka berduapu harusnya tidak boleh bertemu semaunya.

Hukumnya sama seperti orang asing yang bukan mahram.  Sehingga tidak bisa dikatakan sebagai mahram seperti halnya mahram dari jalur pernikahan.

d. Dalil Keempat

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :

Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS. An-Nisa : 24)

Ayat diatas telah menegaskan kembali tentang keharaman berzina, karena Ayat sebelumnya telah menerangkan siapa saja mahram yang tidak boleh dinikahi. Sedangkan seorang wanita yang di zinai tidak termasuk dalam ayat. Maka hukumnya boleh saja menikahinya.

Wallahu’alam.

Sumber: Nur Azizah Pulungan, Apakah Zina Menyebabkan Kemahraman? Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018

Baca Juga: