Menu Tutup

Beberapa Kelemahan Bank Syariah

Meski sudah digadang-gadang untuk dijadikan alternatif pengganti dari bank konvensional, namun keberadaan bank syariah yang ditunggu-tunggu nampaknya masih harus membuat kita bersabar. Ada begitu banyak kendala teknis yang membuat akhirnya peran bank syariah di negeri kita menjadi kurang optimal.

Tidak Merata

Keberadaan bank syariah yang tidak merata dan tidak tersedia di banyak tempat memang ada benarnya, hal itu mengingat bahwa wilayah NKRI sangat luas. Indonesia negeri dengan 17 ribu pulau yang tersebar di 34 provinsi, 415 kabupaten, 93 kota dan 5 kota administrasi.

Sementara tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah bank syariah itu sangat terbatas, sudah dipastikan tidak bisa menjangkau seluruh wilayah negeri. Begitu kita keluar kota Jakarta dan masuk ke wilayah, saat itu juga keberadaan bank syariah tidak kita temukan.

Sejak awal tahun 90-an memang sudah berdiri bank-bank syariah. Dan hingga hari ini jumlahnya lumayan banyak. Setidaknya tercatat dalam bentuk Bank Umum Syariah (BUS) ada 12 bank, dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS) ada 21 bank dan dalam bentuk Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) ada 83 bank.

Namun jumlah segitu belum bisa meng-cover semua penduduk Indonesia, khususnya di pelosok. Padahal tidak semua bangsa Indonesia tinggal di Jakarta atau wilayah perkotaan, masih banyak mereka yang tinggal jauh dari kota dan tidak tercover pelayanan bank syariah. Jangan ditanya lagi kalau di pulau terpencil atau daerah terisolir, maka kita tidak akan menemukannya.

Dan faktanya, penyebaran bank syariah terbatas hanya di kota-kota besar saja. Di kota yang agak kecil sudah tidak kita temukan bank syariah. Meski orang bilang sudah ada bank syariah, tapi sebenarnya belum merata dan tidak semua penduduk negeri kita bisa mendapatkan pelayanannya.

Oleh karena itulah ketika mengeluarkan fatwa haramnya bunga bank konvensional, Majelis Ulama Indonesia memberikan pertimbangan khusus dalam hal ketidak-tersediaan bank syariah ini.

Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional

3. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak di bolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.

4. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari’ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasar-kan prinsip dharurat/hajat.

Minimnya Fasilitas

Mereka yang sudah terbiasa bermuamalah dengan bank konvensional pasti akan tahu bahwa

dari sisi pelayanan dan fasilitas, bank-bank syariah ternyata kalah jauh dan kalah mutlak dibandingkan bank konvensional.

1. E-Money

Sebut yang mudah saja dalam urusan e-money yang sudah mulai menjadi trend life style kita. Masyarakat DKI Jakarta ketika naik bus Transjakarta, kereta komuter line, masuk jalan tol, mau tidak mau harus menggunakan uang elektronik, kartu e-money atau e toll card.

Beberapa bank konvensional menerbitkannya, setidaknya ada 5 jenis kartu, yaitu e-Toll Card, BNI Tap Cash, Falzz BCA, Brizzi BRI, dan Blnk BTN. Tapi tidak ada satu pun bank syariah yang punya produk semacam ini.

Padahal 82% penduduk Indonesia ini muslim, namun dalam hal uang elektronik, kita tetap masih setia menggunakan produk jasa bank konvensional. Ini jelas fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa bank syariah masih jauh tertinggal di belakang.

2. Kartu Kredit

Apalagi kalau kita bicara tentang kartu kredit yang tidak bisa dipungkiri kepraktisan dan kemurahan yang ditawarkan bila kita berbelanja. Harga hotel, pesawat, dan lainnya akan jauh lebih murah bila kita membelinya menggunakan kartu kredit.

Malahan ada begitu banyak barang atau jasa yang hanya bisa dibeli dengan menggunakan kartu kredit, tidak bisa dibayar dengan transfer pakai kartu debit.

Sayangnya, peluang besar semacam ini masih

belum ada pemain dari pihak bank syariah, kecuali hanya satu produk yaitu dari BNI kartu kredit Hasanah. Entah mengapa layanan kartu kredit ini seolah sepi dari pemain di pihak bank syariah? Ada apa dengan bank syariah?

Lebih Berat Dari Bank Konvensional

Boleh jadi salah satu alasannya karena bank syariah mengalami kendala internal yang tidak jelas sebabnya. Yang pasti semua itu seolah nampak nyata saat banyak sekali didapat kasus dimana bank-bank syariah menetapkan syarat yang amat memberatkan.

Contoh yang paling sering dalam urusan kredit rumah KPR. Dibandingkan dengan KPR di bank-bank konvensional, selisih angkanya terpaut jauh lebih mahal dan lebih memberatkan bagi peminjam.

Maka wajar kalau alternatif yang ditawarkan oleh bank syariah tidak terlalu menggiurkan, bahkan termasuk oleh kalangan muslim yang kuat sekalipun. Sebab secara rasional kadang dianggap kurang masuk akal.

Banyak Kelemahan Aplikasi Syariah

Ada pendapat yang berkembang di sebagian kalangan bahwa bank syariah itu nyaris sama saja dengan bank konvensional. Jadi seolah percuma ikut bank syariah, karena pada dasarnya masih tetap riba juga.

Anggapan ini barangkali terlalu naif, meski tetap punya dasar hujjah juga, antara lain :

1. Modal dari Bank Konvensional

Biar bagaimana pun pada akhirnya semua bank syariah di Indonesia hanyalah anak yang dilahirkan oleh induknya yang bukan syariah. Sehingga dari segi permodalan didapat dari induknya yang merupakan bank konvensional.

Sejak dari awal masalah ini sebenarnya sudah menjadi ganjalan. Bagaimana mungkin kita mengatakan bank ini syariah, kalau modalnya saja datang dari bank non syariah alias bank konvensional.

2. SDM Bukan Ahli Syariah

Problem kedua dari segi sumber daya manusia (SDM) yang menjalankan roda bank syariah. Kebanyakannya atau malah semuanya bukan merkea yang terdidik secara formal dalam bidang syariah. Mulai dari para direksi dan komisaris yang kebanyakan ‘bajakan’ dari bank konvensional dan tidak pernah duduk di fakultas syariah, hingga level karyawan di lapangan, rata-rata bukan dari kalangan yang terdiri secara formal dalam hukum syariah.

Jadi yang mereka kerjakan semata-mata berdasarkan SOP formal saja, sementara ruh dan jiwa dari akad-akad syariah kurang dipahami secara mendalam.

Akibatnya seringkali didapati praktek yang masih saja mengacu kepada praktek ribawi, sebagaimana yang biasa mereka lakukan pada induknya yang merupakan bank konvensional. Sehingga ada terkesan label syariah hanya sebatas penampakan luarnya saja. Begitu dibedah isinya, sama saja dengan konsep bank konvensional.

3. Dewan Pengawas Syariah

Karena rata-rata pelaku bisnis perbankan syariah tidak punya latar belakang pendidikan syariah, maka muncul ide adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) di tiap bank.

Ide ini sebenarnya cemerlang, kalau saja memang mereka yang duduk di DPS benar-benar ahli di bidang fiqih muamalah. Dalam kenyataanya, meski rata-rata lulusan dari timur tengah, spesialisasinya masih belum sesuai disiplin ilmu yang dibutuhkan.

Ada yang doktor di bidang aqidah, ushuludin, tafsir, hadits, bahkan bahasa Arab dan sastra. Memang sedikit banyak mereka tahu juga hal-hal terkait dengan hukum muamalah, namun karena posisinya sebagai dewan pengawas, semestinya latar belakang keilmuannya harus yang benar-benar membidangi. Bukan hanya dilihat dari sisi ketokohan atau sososknya yang berpengaruh.

Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa keberadaan DPS di suatu bank tidak jelas jam ngantornya. Tidak pernah sempat menularkan ilmunya kepada direksi dan karyawan yang memang buta dengan fiqih syariah. Datangnya hanya pas ada rapat-rapat khusus saja, itu pun kalau sempat diundang. Boleh jadi sudah diundang, tetapi yang bersangkutan lagi umrah, keluar kota atau keluar negeri.

Jadi fungsi pengawasan syariah benar-benar dirasakan amat minim. Maka kalau produk-produk perbankan syariah masih dirasa lubang menganga yang belum terkover dengan hukum syairah, tidak bisa ditampik dan memang begitulah kenyatannya.

Kalau masyarakat masih enggan bermuamalah dengan bank syariah, tidak bijak rasanya kalau hanya menyalahkan masyarakat saja.

4. Bank Syariah Bangkrut

Fenomena ini terjadi pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank pertama murni syariah. BMI awalnya bukan saja murni syariah, tetapi murni milik bangsa Indonesia.

Namun 30 tahun menapaki hidup, nampaknya BMI kurang bisa bertahan, neracanya kurang meyakinkan. Lama-lama bank ini kolaps dan akhirnya dijual kepada negeri jiran, Malaysia.

Kalau kita masih menemukan BMI saat ini, sebenarnya bank ini sudah berganti tuan, bukan lagi milik kita bangsa Indonensia, tetapi menjadi bank asing milik negeri jiran.

Yang menjadi pertanyaan, kalau memang keuangannya sehat, kenapa harus sampai dijual? Kalau memang bank syariah yang pernah kita banggakan ini bisa survive tanpa didukung oleh induk besar, kenapa sekarang sahamnya malah dibeli asing?

Banyak pertanyaan muncul dan spekulasinya lebih banyak lagi bermunculan. Tetapi satu hal yang perlu dicatat, bahkan bank pertama murni syariah pun kolaps juga.

Boleh jadi hal semacam ini yang membuat tingkat

kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah semakin hari semakin menurun.

Wallahua’lam

Sumber:

Sumber: Ahmad Sarwat, Lc., MA, Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional, Rumah Fiqh Indonesia

 

Baca Juga: