Menu Tutup

Akhir Masa Negara Kolonial Belanda

Negara Hindia Belanda menjadi salah satu wilayah jajahan paling penting bagi Kerajaan Belanda sejak abad ke-19 sampai ke-20. Negara ini meliputi wilayah Indonesia saat ini, serta sebagian Malaysia dan Papua Nugini. Selama lebih dari tiga abad, Belanda menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia di Hindia Belanda, terutama rempah-rempah, kopi, teh, karet, minyak bumi, dan timah1.

Namun, negara ini runtuh pada tahun 1942 setelah diserang oleh Jepang dalam Perang Dunia II. Serangan Jepang merupakan pukulan telak bagi Belanda, yang sebelumnya menganggap Hindia Belanda sebagai “permata mahkota” kerajaannya. Bagaimana proses berakhirnya kolonialisme Belanda di Indonesia? Apa dampaknya bagi bangsa Indonesia? Artikel ini akan membahas hal-hal tersebut secara kronologis dan analitis.

Serangan Jepang dan Penyerahan Belanda

Serangan Jepang terhadap Hindia Belanda dimulai pada bulan Desember 1941, bersamaan dengan serangan terhadap Pearl Harbor di Hawaii. Jepang ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara untuk mendukung perangnya melawan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan lain-lain). Jepang juga ingin membebaskan Asia dari penjajahan Barat dengan slogan “Asia untuk Asia”2.

Belanda tidak siap menghadapi serangan Jepang, yang memiliki keunggulan militer dan strategi. Selain itu, Belanda juga terisolasi dari negara induknya, yang telah diduduki oleh Jerman Nazi sejak Mei 1940. Meskipun mendapat bantuan dari Sekutu, Belanda tidak mampu mempertahankan Hindia Belandanya. Salah satu pertempuran penting adalah Pertempuran Laut Jawa pada 27 Februari 1942, yang berakhir dengan kekalahan besar armada Sekutu oleh armada Jepang3.

Setelah itu, Jepang berhasil menguasai berbagai wilayah di Hindia Belanda, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan Papua. Pada 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menandatangani perjanjian penyerahan tanpa syarat kepada Jenderal Jepang Hitoshi Imamura di Kalijati, Subang. Dengan demikian, kuasa Belanda secara resmi berakhir di bumi Nusantara45.

Baca Juga:  Sistem Politik Otoriter: Pengertian, Jenis, dan Dampaknya

Kondisi Bangsa Indonesia di Bawah Penjajahan Jepang

Meskipun Jepang mengklaim sebagai pembebas Asia dari penjajahan Barat, nyatanya mereka juga melakukan penindasan dan eksploitasi terhadap bangsa Indonesia. Jepang menerapkan sistem pemerintahan militer yang otoriter dan represif. Mereka melarang penggunaan bahasa Belanda dan simbol-simbol nasionalisme Indonesia. Mereka juga melakukan penyensoran media massa dan pendidikan6.

Jepang juga memaksa rakyat Indonesia untuk bekerja keras demi kepentingan perangnya. Salah satu bentuk kerja paksa yang paling terkenal adalah romusha, yaitu pekerjaan berat seperti membangun jalan raya, jembatan, rel kereta api, bandara, dan benteng pertahanan. Banyak romusha yang meninggal karena kelelahan, kelaparan, penyakit, atau kekerasan7.

Di sisi lain, Jepang juga memberikan beberapa konsesi politik kepada bangsa Indonesia. Misalnya, mereka mengizinkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan mengadakan latihan militer bagi pemuda-pemudi Indonesia. Mereka juga mendirikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945, yang bertugas menyusun rancangan dasar negara Indonesia.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Perang Kemerdekaan

Pada 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima, Jepang. Tiga hari kemudian, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki. Bom atom ini menewaskan ratusan ribu orang dan menghancurkan dua kota besar Jepang. Akibatnya, Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945. Hal ini membuka peluang bagi bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaannya.

Pada 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta, yang merupakan tokoh nasionalis Indonesia, dibawa oleh pemuda-pemuda ke Rengasdengklok, Karawang. Di sana, mereka dipaksa untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia sebelum Belanda kembali menguasai Indonesia. Setelah berunding dengan para pemimpin Jepang, Soekarno dan Hatta akhirnya menyetujui tuntutan pemuda-pemuda tersebut.

Pada 17 Agustus 1945, Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Teks proklamasi tersebut ditulis oleh Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo dengan bantuan Sayuti Melik. Teks proklamasi tersebut berbunyi:

Baca Juga:  Proses Integrasi Nusantara: Peranan Para Ulama, Perdagangan Antarpulau, dan Bahasa

“Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05

Atas nama bangsa Indonesia,

Soekarno/Hatta.”

Dengan demikian, bangsa Indonesia secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara merdeka dan berdaulat. Namun, perjuangan belum selesai. Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan berusaha untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia. Mereka mendapat dukungan dari Sekutu, yang menganggap Indonesia masih sebagai bagian dari Hindia Belanda.

Perang kemerdekaan antara Indonesia dan Belanda berlangsung selama empat tahun, dari 1945 sampai 1949. Perang ini terdiri dari empat fase utama, yaitu:

  • Agresi Militer I (21 Juli 1947 – 4 Agustus 1947), yang dilakukan oleh Belanda untuk merebut wilayah-wilayah strategis di Jawa dan Sumatra.
  • Perjanjian Renville (17 Januari 1948), yang merupakan perjanjian gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda dengan perantaraan PBB. Perjanjian ini mengakui keberadaan Republik Indonesia, tetapi juga membatasi wilayahnya dengan garis demarkasi yang disebut Garis Van Mook.
  • Agresi Militer II (19 Desember 1948 – 5 Januari 1949), yang dilakukan oleh Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia dengan menangkap Soekarno, Hatta, dan para pemimpin lainnya di Yogyakarta.
  • Perjanjian Roem-Royen (7 Mei 1949), yang merupakan perjanjian politik antara Indonesia dan Belanda dengan perantaraan Amerika Serikat. Perjanjian ini mengakhiri Agresi Militer II dan membebaskan para tawanan politik Indonesia.
  • Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949 – 2 November 1949), yang merupakan konferensi internasional di Den Haag, Belanda, untuk menyelesaikan masalah status Indonesia. Konferensi ini menghasilkan perjanjian yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) atas seluruh wilayah Hindia Belanda kecuali Papua Barat.
Baca Juga:  Sejarah Indonesia: Dampak Positif dan Negatif Kolonialisme dan Imperialisme

Pada 27 Desember 1949, Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada RIS di Istana Merdeka, Jakarta. Presiden Soekarno menjadi presiden pertama RIS, sedangkan Hatta menjadi wakil presiden pertama RIS. RIS terdiri dari 16 negara bagian dan daerah istimewa, yang masing-masing memiliki pemerintahan sendiri.

Posted in Ragam

Artikel Terkait: