Menu Tutup

Perang Bubat: Latar Belakang, Kronologi, Dampak, dan Interpretasi Sejarah

I. Pendahuluan

Perang Bubat merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang penting dalam sejarah Nusantara, khususnya dalam hubungan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda. Terjadi pada abad ke-14, Perang Bubat tidak hanya menggambarkan konflik militer tetapi juga intrik politik dan budaya yang rumit. Insiden ini sering kali diingat karena dampak besar yang ditimbulkannya terhadap kedua kerajaan besar tersebut serta hubungan politik di Nusantara pada masa itu.

Perang Bubat terjadi sekitar tahun 1357, pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Peristiwa ini berawal dari rencana pernikahan antara Raja Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka, putri dari Kerajaan Sunda. Rencana ini, yang pada awalnya dimaksudkan untuk mempererat hubungan antara dua kerajaan, berakhir tragis dengan bentrokan di alun-alun Bubat. Dalam insiden ini, rombongan Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Maharaja Linggabuana terbunuh, termasuk Dyah Pitaloka.

Pentingnya Perang Bubat dalam sejarah Indonesia bukan hanya terletak pada peristiwa tragis itu sendiri, tetapi juga pada dampak politik dan sosial yang dihasilkannya. Peristiwa ini mengubah dinamika kekuasaan dan hubungan diplomatik antara kerajaan-kerajaan di Nusantara, serta meninggalkan jejak mendalam dalam budaya dan sastra Indonesia. Kisah Perang Bubat tercatat dalam berbagai sumber sejarah, termasuk kitab Pararaton dan Kidung Sunda, yang memberikan gambaran mendalam tentang peristiwa tersebut.

Dalam konteks yang lebih luas, Perang Bubat mencerminkan kompleksitas politik dan budaya pada masa Majapahit, yang merupakan salah satu kerajaan terbesar dan paling berpengaruh di Nusantara. Melalui pembahasan yang ilmiah dan rinci, kita dapat memahami latar belakang, kronologi, dan dampak dari peristiwa ini, serta refleksi yang dapat diambil dari sejarah untuk masa kini.

II. Latar Belakang Sejarah

Perang Bubat terjadi pada masa ketika Kerajaan Majapahit berada di puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Untuk memahami latar belakang Perang Bubat, penting untuk mengetahui konteks politik dan sosial di Jawa pada abad ke-14, serta hubungan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda.

Situasi Politik di Jawa pada Abad ke-14

Pada abad ke-14, Kerajaan Majapahit, yang didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293, telah berkembang menjadi salah satu kerajaan terbesar di Nusantara. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar kepulauan Indonesia dan bahkan mencapai wilayah-wilayah di Semenanjung Malaya, Filipina, dan Papua. Majapahit dikenal dengan struktur pemerintahan yang terorganisir dan kekuatan militernya yang tangguh. Di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dan Mahapatih Gajah Mada, Majapahit mencapai puncak kejayaannya.

Di sisi lain, Kerajaan Sunda, yang berpusat di wilayah Jawa Barat, juga merupakan salah satu kerajaan penting di Nusantara. Sunda memiliki hubungan politik dan ekonomi dengan berbagai kerajaan lain, termasuk Majapahit. Meskipun tidak sebesar Majapahit, Kerajaan Sunda memiliki kekuatan dan pengaruh yang signifikan di wilayahnya.

Hubungan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda

Hubungan antara Majapahit dan Sunda pada dasarnya bersifat diplomatis dan perdagangan. Kerajaan Sunda dikenal sebagai salah satu pemasok beras dan rempah-rempah yang penting bagi Majapahit. Dalam upaya untuk mempererat hubungan diplomatik, Raja Hayam Wuruk mengusulkan pernikahan dengan Dyah Pitaloka, putri dari Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda. Rencana pernikahan ini diharapkan dapat memperkuat aliansi antara kedua kerajaan dan memastikan stabilitas politik di wilayah tersebut.

Namun, meskipun ada niat baik dari kedua belah pihak, terdapat perbedaan pandangan mengenai status pernikahan tersebut. Kerajaan Sunda menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan yang setara antara dua kerajaan besar, sementara Majapahit, melalui Mahapatih Gajah Mada, melihat pernikahan ini sebagai bentuk penyerahan dan pengakuan kekuasaan Majapahit atas Sunda. Ketegangan inilah yang menjadi salah satu pemicu utama Perang Bubat.

Gambaran Umum tentang Kedua Kerajaan

Kerajaan Majapahit adalah sebuah kerajaan maritim dengan ibu kota di Trowulan, Jawa Timur. Dikenal karena kemajuan dalam bidang seni, sastra, dan arsitektur, Majapahit meninggalkan banyak peninggalan budaya yang masih dapat dilihat hingga hari ini, seperti Candi Penataran dan berbagai prasasti. Majapahit juga memiliki sistem pemerintahan yang terstruktur dengan baik, yang terdiri dari raja, mahapatih, dan berbagai pejabat tinggi lainnya yang mengatur berbagai aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat.

Kerajaan Sunda, yang berpusat di Pakuan Pajajaran (sekarang Bogor), Jawa Barat, juga merupakan kerajaan yang makmur. Sunda terkenal dengan kekayaan alamnya, termasuk hasil pertanian dan rempah-rempah. Kerajaan ini memiliki budaya yang kaya dan unik, dengan bahasa Sunda sebagai bahasa utama dan adat istiadat yang khas.

III. Penyebab Perang Bubat

Perang Bubat, yang terjadi sekitar tahun 1357, adalah hasil dari serangkaian kejadian dan dinamika politik yang rumit. Untuk memahami penyebab dari insiden tragis ini, penting untuk menganalisis rencana pernikahan antara Raja Hayam Wuruk dari Majapahit dan Dyah Pitaloka dari Kerajaan Sunda, serta peran kunci yang dimainkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam peristiwa tersebut.

Baca Juga:  Sejarah Bahasa Indonesia: Dari Melayu Hingga Menjadi Bahasa Persatuan

Rencana Pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka

Rencana pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka pada awalnya dimaksudkan sebagai langkah diplomatis untuk mempererat hubungan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda. Hayam Wuruk, raja muda Majapahit yang dikenal karena kebijaksanaannya, melihat pernikahan ini sebagai cara untuk menjalin aliansi strategis dengan Sunda, sebuah kerajaan yang kaya dan makmur di bagian barat Pulau Jawa.

Menurut berbagai sumber sejarah, termasuk Pararaton dan Kidung Sunda, pernikahan ini diusulkan oleh Hayam Wuruk sendiri, yang terkesan dengan kecantikan dan kebijaksanaan Dyah Pitaloka. Proposal ini diterima oleh Maharaja Linggabuana dari Sunda, yang melihatnya sebagai kesempatan untuk memperkuat hubungan diplomatik dengan kerajaan terkuat di Nusantara pada waktu itu.

Kontroversi dan Ketegangan yang Muncul

Meskipun rencana pernikahan ini disetujui oleh kedua belah pihak, terdapat perbedaan mendasar dalam interpretasi makna pernikahan tersebut. Dari perspektif Kerajaan Sunda, pernikahan ini adalah sebuah aliansi yang setara antara dua kerajaan besar. Dyah Pitaloka dianggap sebagai calon permaisuri yang akan menikah dengan Hayam Wuruk atas dasar kesetaraan dan saling menghormati.

Namun, di pihak Majapahit, terutama di mata Mahapatih Gajah Mada, pernikahan ini dipandang sebagai bentuk penyerahan diri dari Kerajaan Sunda kepada kekuasaan Majapahit. Gajah Mada, yang terkenal dengan sumpah Palapa-nya untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit, melihat kesempatan ini sebagai cara untuk mengukuhkan kekuasaan Majapahit atas Sunda.

Peran Gajah Mada dalam Insiden Ini

Mahapatih Gajah Mada adalah tokoh kunci dalam Perang Bubat. Sebagai penasihat utama dan komandan militer yang sangat berpengaruh di Majapahit, Gajah Mada memiliki visi yang jelas tentang penyatuan seluruh Nusantara di bawah Majapahit. Dalam pandangannya, pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka harus dianggap sebagai pengakuan atas supremasi Majapahit.

Ketika rombongan Kerajaan Sunda tiba di Bubat, Gajah Mada menuntut agar Dyah Pitaloka diserahkan sebagai upeti, bukan sebagai calon permaisuri. Tuntutan ini jelas menghina Kerajaan Sunda, yang datang dengan niat baik untuk pernikahan yang setara. Maharaja Linggabuana merasa terhina dengan tuntutan ini dan menolak menyerahkan putrinya sebagai upeti.

IV. Kronologi Perang Bubat

Perang Bubat adalah peristiwa tragis yang berlangsung di alun-alun Bubat sekitar tahun 1357. Untuk memahami secara menyeluruh bagaimana peristiwa ini terjadi, perlu disusun kronologi yang rinci dari kejadian-kejadian yang memicu konflik ini. Kronologi ini mencakup kedatangan rombongan Kerajaan Sunda di Bubat, tuntutan Gajah Mada terhadap Kerajaan Sunda, reaksi dari pihak Sunda, hingga terjadinya pertempuran yang mematikan.

Kedatangan Rombongan Kerajaan Sunda di Bubat

Rombongan Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Maharaja Linggabuana tiba di wilayah Bubat dengan niat baik untuk melaksanakan pernikahan antara Dyah Pitaloka, putri dari Maharaja Linggabuana, dan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Rombongan ini membawa serta para bangsawan, prajurit, dan berbagai hadiah sebagai simbol kesopanan dan penghormatan terhadap Kerajaan Majapahit.

Menurut sumber-sumber sejarah seperti Kidung Sunda dan Pararaton, rombongan Sunda disambut dengan baik pada awalnya, dan mereka ditempatkan di alun-alun Bubat, yang terletak tidak jauh dari ibu kota Majapahit. Alun-alun ini merupakan tempat yang cukup strategis dan luas, cocok untuk menampung rombongan besar dari Kerajaan Sunda.

Tuntutan Gajah Mada terhadap Kerajaan Sunda

Setelah rombongan Sunda menetap di Bubat, Mahapatih Gajah Mada, yang merupakan penasihat utama dan komandan militer Majapahit, mengajukan tuntutan yang mengejutkan. Alih-alih memperlakukan Dyah Pitaloka sebagai calon permaisuri yang setara dengan Hayam Wuruk, Gajah Mada menuntut agar Dyah Pitaloka diserahkan sebagai tanda penyerahan dan pengakuan kekuasaan Majapahit atas Sunda.

Tuntutan ini didasarkan pada pandangan Gajah Mada tentang penyatuan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Bagi Gajah Mada, pernikahan ini bukan sekadar aliansi diplomatik, melainkan simbol dominasi Majapahit terhadap Sunda. Tuntutan ini sangat menghina Kerajaan Sunda, yang datang dengan niat baik untuk menjalin hubungan setara.

Reaksi dan Tanggapan dari Pihak Kerajaan Sunda

Tuntutan Gajah Mada menimbulkan kemarahan dan penghinaan di pihak Sunda. Maharaja Linggabuana, yang membawa putrinya dengan niat baik untuk pernikahan yang bermartabat, merasa terhina dengan tuntutan tersebut. Dyah Pitaloka, sebagai putri kerajaan, juga merasa terhormat dan tidak menerima diperlakukan sebagai tanda penyerahan.

Maharaja Linggabuana menolak tuntutan Gajah Mada dan menegaskan bahwa mereka datang untuk pernikahan yang setara, bukan untuk menyerahkan putrinya sebagai tanda penyerahan. Penolakan ini memperlihatkan ketegasan dan harga diri Kerajaan Sunda, yang menolak tunduk di bawah kekuasaan Majapahit.

Terjadinya Pertempuran di Bubat

Penolakan dari Maharaja Linggabuana menyebabkan ketegangan meningkat. Gajah Mada, yang merasa bahwa penolakan ini merendahkan kekuasaan Majapahit, memutuskan untuk mengambil tindakan militer. Pasukan Majapahit diperintahkan untuk mengepung dan menyerang rombongan Sunda yang berada di alun-alun Bubat.

Baca Juga:  4 Kegunaan dari Mempelajari Sejarah

Pertempuran yang terjadi sangat sengit dan brutal. Rombongan Sunda, yang tidak mempersiapkan diri untuk perang, berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Mereka bertempur dengan gagah berani namun akhirnya kewalahan oleh pasukan Majapahit yang lebih terorganisir dan bersenjata lengkap. Dalam pertempuran ini, Maharaja Linggabuana dan banyak bangsawan serta prajurit Sunda gugur. Dyah Pitaloka, menurut beberapa sumber sejarah, memilih untuk bunuh diri sebagai bentuk penghormatan terakhir dan penolakan terhadap penghinaan yang mereka terima.

V. Dampak Perang Bubat

Perang Bubat, yang terjadi pada tahun 1357, meninggalkan dampak yang sangat signifikan terhadap hubungan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda, serta mempengaruhi dinamika politik, sosial, dan budaya di Nusantara pada masa itu. Berikut ini adalah uraian mendalam mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa tragis ini.

Dampak Langsung terhadap Kerajaan Sunda

Perang Bubat memiliki dampak langsung yang sangat merugikan Kerajaan Sunda. Kematian Maharaja Linggabuana dan banyak bangsawan Sunda lainnya dalam pertempuran tersebut melemahkan struktur kekuasaan kerajaan. Kehilangan ini tidak hanya berdampak pada stabilitas politik tetapi juga pada moral rakyat Sunda. Kematian Dyah Pitaloka, yang menurut beberapa sumber memilih untuk bunuh diri sebagai bentuk protes dan menjaga kehormatan, meninggalkan luka mendalam dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda. Tragedi ini mengubah persepsi Sunda terhadap Majapahit dari mitra diplomatik menjadi musuh yang berbahaya.

Dampak Langsung terhadap Kerajaan Majapahit

Bagi Kerajaan Majapahit, meskipun mereka memenangkan pertempuran di Bubat, dampak yang dihasilkan tidak sepenuhnya positif. Mahapatih Gajah Mada, yang memainkan peran utama dalam memicu konflik ini, mendapat kritikan dari berbagai pihak, termasuk dari dalam kerajaan sendiri. Tindakan agresifnya dianggap merusak reputasi Majapahit sebagai kekuatan diplomatik dan mengurangi kepercayaan dari kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Meskipun Hayam Wuruk tetap sebagai raja yang kuat, insiden ini menimbulkan ketegangan internal dan mengganggu stabilitas politik di Majapahit.

Pengaruh terhadap Hubungan Antar Kerajaan di Nusantara

Perang Bubat mengubah dinamika hubungan antar kerajaan di Nusantara. Banyak kerajaan yang sebelumnya memiliki hubungan baik dengan Majapahit mulai waspada dan meningkatkan kewaspadaan mereka terhadap kekuatan besar ini. Kerajaan-kerajaan kecil merasa terancam oleh ambisi ekspansionis Majapahit dan mulai mencari aliansi baru untuk mempertahankan kedaulatan mereka. Dampak ini memperumit politik regional dan membuat proses penyatuan Nusantara di bawah satu kekuasaan menjadi lebih sulit.

Konsekuensi Politik dan Sosial

Secara politik, Perang Bubat menandai titik balik dalam ambisi penyatuan Nusantara yang diusung oleh Gajah Mada. Meskipun Gajah Mada dikenal dengan sumpah Palapa-nya, insiden ini menunjukkan batas dari pendekatan agresifnya. Peristiwa ini juga mengajarkan pentingnya diplomasi yang lebih halus dan menghormati kedaulatan kerajaan lain untuk mencapai stabilitas dan harmoni regional.

Secara sosial, tragedi Bubat menjadi simbol perjuangan dan pengorbanan bagi masyarakat Sunda. Cerita tentang Dyah Pitaloka dan perlawanan Maharaja Linggabuana terhadap tuntutan Majapahit menjadi bagian penting dari warisan budaya Sunda. Kisah ini sering kali diceritakan dalam berbagai bentuk sastra dan seni, mengabadikan nilai-nilai kehormatan, keberanian, dan martabat.

Pengaruh terhadap Budaya dan Sastra

Perang Bubat juga mempengaruhi perkembangan budaya dan sastra di Nusantara. Tragedi ini diabadikan dalam berbagai karya sastra, seperti Kidung Sunda dan Pararaton. Kidung Sunda, misalnya, menceritakan kisah tragis ini dengan nada elegi yang menyentuh, menggambarkan kepahlawanan dan pengorbanan Dyah Pitaloka dan keluarganya. Pararaton, di sisi lain, mencatat peristiwa ini dari perspektif sejarah Majapahit, meskipun dengan bias yang jelas terhadap kepentingan kerajaan tersebut.

Warisan Jangka Panjang

Dampak jangka panjang dari Perang Bubat adalah pembentukan narasi sejarah yang kompleks di mana hubungan antara Majapahit dan Sunda terus dikenang dengan campuran kebanggaan dan penyesalan. Peristiwa ini menjadi pengingat akan pentingnya diplomasi, penghormatan antar kerajaan, dan konsekuensi dari ambisi politik yang berlebihan. Dalam konteks modern, Perang Bubat sering kali dirujuk sebagai pelajaran dalam menjaga hubungan harmonis dan menghormati kedaulatan dalam interaksi antar negara dan budaya.

VI. Interpretasi dan Pandangan Sejarawan

Perang Bubat merupakan salah satu peristiwa sejarah yang paling kontroversial dan banyak diperdebatkan di Nusantara. Interpretasi dan pandangan sejarawan mengenai peristiwa ini beragam, tergantung pada sumber-sumber sejarah yang digunakan serta perspektif yang diambil. Dalam bagian ini, kita akan mengulas beragam perspektif dari sejarawan tentang Perang Bubat, analisis terhadap sumber-sumber sejarah yang tersedia, serta kontroversi dan debat mengenai keaslian dan interpretasi peristiwa ini.

Beragam Perspektif dari Sejarawan tentang Perang Bubat

Sejarawan memandang Perang Bubat dari berbagai sudut pandang yang berbeda, tergantung pada fokus penelitian mereka. Beberapa sejarawan menekankan aspek politik dan militer, sementara yang lain lebih tertarik pada dimensi sosial dan budaya dari peristiwa tersebut.

  1. Perspektif Politik dan Militer:
    • Sejarawan yang fokus pada aspek politik dan militer melihat Perang Bubat sebagai bagian dari ambisi Mahapatih Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Mereka menilai bahwa tindakan Gajah Mada di Bubat adalah manifestasi dari sumpah Palapa yang terkenal, yang menyatakan tekadnya untuk tidak menikmati kemewahan sebelum berhasil menaklukkan seluruh Nusantara.
    • Beberapa sejarawan berpendapat bahwa Gajah Mada menggunakan taktik diplomasi yang kasar dan agresif untuk memperkuat dominasi Majapahit, yang pada akhirnya memicu konflik dengan Kerajaan Sunda.
  2. Perspektif Sosial dan Budaya:
    • Dari perspektif sosial dan budaya, Perang Bubat dipandang sebagai peristiwa yang mencerminkan nilai-nilai kehormatan dan martabat yang tinggi dalam masyarakat Sunda. Kematian Dyah Pitaloka dan Maharaja Linggabuana sering kali diinterpretasikan sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi asing dan penghormatan terhadap kedaulatan kerajaan.
    • Sejarawan dalam perspektif ini juga menyoroti bagaimana cerita Perang Bubat diabadikan dalam tradisi lisan dan sastra Sunda, seperti dalam Kidung Sunda, yang memberikan gambaran emosional dan simbolis dari peristiwa tersebut.
Baca Juga:  Prasasti Peninggalan Kerajaan Singasari

Analisis terhadap Sumber-Sumber Sejarah

Sumber-sumber sejarah mengenai Perang Bubat meliputi berbagai teks dan catatan, baik dari pihak Majapahit maupun Sunda. Dua sumber utama yang sering dirujuk adalah Pararaton dan Kidung Sunda.

  1. Pararaton:
    • Pararaton, yang juga dikenal sebagai Kitab Raja-Raja, adalah salah satu sumber sejarah utama yang mencatat peristiwa-peristiwa penting di Majapahit, termasuk Perang Bubat. Pararaton memberikan perspektif dari pihak Majapahit, seringkali dengan bias yang mendukung legitimasi dan kekuasaan Majapahit.
    • Dalam Pararaton, peran Gajah Mada digambarkan sebagai pahlawan yang berusaha menyatukan Nusantara, meskipun dengan cara yang kontroversial.
  2. Kidung Sunda:
    • Kidung Sunda adalah sebuah teks sastra yang berasal dari tradisi Sunda dan memberikan narasi yang berbeda mengenai Perang Bubat. Kidung ini menyoroti keberanian dan kehormatan Dyah Pitaloka serta penderitaan yang dialami oleh rombongan Kerajaan Sunda.
    • Dalam Kidung Sunda, tindakan Gajah Mada digambarkan sebagai tindakan yang kejam dan tidak adil, menekankan aspek tragis dari peristiwa ini.

Kontroversi dan Debat mengenai Keaslian dan Interpretasi Peristiwa

Perang Bubat menjadi subjek dari banyak kontroversi dan debat di kalangan sejarawan, terutama mengenai keaslian dan interpretasi dari peristiwa tersebut.

  1. Keaslian Sumber:
    • Beberapa sejarawan meragukan keaslian dan keakuratan sumber-sumber sejarah seperti Pararaton dan Kidung Sunda. Mereka berargumen bahwa teks-teks ini mungkin telah dipengaruhi oleh bias politik dan budaya dari penulisnya.
    • Ada juga yang mempertanyakan apakah peristiwa Perang Bubat benar-benar terjadi seperti yang digambarkan dalam teks-teks tersebut, atau apakah ini adalah konstruksi naratif yang muncul belakangan untuk tujuan tertentu.
  2. Interpretasi yang Berbeda:
    • Interpretasi mengenai peran Gajah Mada dalam Perang Bubat juga sangat beragam. Ada yang melihatnya sebagai tokoh heroik yang berusaha menyatukan Nusantara, sementara yang lain menganggapnya sebagai pemimpin yang kejam dan oportunis.
    • Perspektif Sunda dan Majapahit terhadap peristiwa ini sering kali bertentangan, mencerminkan ketegangan dan konflik yang lebih luas di antara dua kerajaan tersebut.

Kesimpulan

Perang Bubat merupakan salah satu peristiwa penting dan kontroversial dalam sejarah Nusantara, yang terjadi pada tahun 1357. Peristiwa ini dipicu oleh rencana pernikahan antara Raja Hayam Wuruk dari Majapahit dan Dyah Pitaloka dari Kerajaan Sunda, yang kemudian berubah menjadi konflik berdarah akibat tuntutan Mahapatih Gajah Mada. Beragam perspektif dari sejarawan menunjukkan kompleksitas dan kerumitan peristiwa ini, baik dari sudut pandang politik, militer, sosial, maupun budaya.

Dampak Perang Bubat sangat luas, mempengaruhi hubungan antara Majapahit dan Sunda, serta dinamika politik dan sosial di Nusantara. Tragedi ini meninggalkan jejak mendalam dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda dan Majapahit, serta diabadikan dalam berbagai karya sastra seperti Pararaton dan Kidung Sunda. Kontroversi dan debat mengenai keaslian dan interpretasi peristiwa ini mencerminkan pentingnya pendekatan kritis dalam studi sejarah untuk memahami secara mendalam dinamika kekuasaan, intrik politik, dan budaya pada masa lalu.

Referensi

  1. Djoened Poesponegoro, Marwati, dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
  2. Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford: Stanford University Press, 1981.
  3. Empu Prapanca. Negara Kertagama. Terjemahan oleh Slamet Muljana. Jakarta: Bhratara, 1979.
  4. Pararaton (Kitab Raja-Raja). Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1966.
  5. Kidung Sunda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
  6. Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Terjemahan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan, 1983.
  7. Supomo, S. “The Royal Mandalas in Majapahit Java: A Study of the Pararaton.” Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 49, No. 2 (1986): 355-379.
  8. Christie, Jan Wisseman. “The State and Economy in Majapahit Java: A Consideration of Stimulus and Response.” Indonesia, No. 39 (April, 1985): 1-19.
  9. Hadi, G. “Dyah Pitaloka dan Perang Bubat: Sebuah Kajian Historis.” Jurnal Sejarah dan Budaya Nusantara, Vol. 4, No. 1 (2010): 43-59.
  10. Moertono, Soemarsaid. State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, 1968.
Posted in Sejarah

Artikel Terkait: