Menu Tutup

Fiqih Kontemporer: Pengertian dan Contoh-contohnya

1. Pengertian Fikih Kontemporer

Fiqih adalah  pemahaman yang mendalam tentang hukum hukum islam. Sedangkan menurut istilah adlah ilmu pengetahuan tentang hukum hukum syari’at dalam bentuk amaliah ( perbuatan mukallaf ) yang diambil dalilnya secara terperinci. Kontemporer dapat diartikan kekinian atau masa kini, jadi fiqih kontemporer adalah perkembangan pemikiran fiqh dimasa kini. Dengan lahirnya persoalan persoalan kontemporer, baik yang sdah terjawab maupun yang sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya persoalan baru mendorong para pakar hukum islam belajar dengan giat mentelaah berbagai metodologi penyelesaian masalah.

Masalah keagamaan yang aktual ( baru ), lebih banyak menggunakan metode ijtihad daripada metode istimbat.metode ijtihad yaang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah masalah masalah yang tidak ada ketentuannya dalam nash, sedangkan dihadapi dan dilakukan oleh umat manusia karena sangat dibutuhkan dalam kelangsungan hidupnya. Tetapi metode istimbat adalah upaya maksimal untuk menarik suatu ketentuan hukum dari nash  yang ada, baik nash Alqur’an atau Hadits.

Sebenanrnya produk fiqh klasik banyak juga bersumber dari prudak penalaran intektual ( upaya rasionalisasi para ulama ) berdasarkan logika keilmuan. Bahkan Imam Syafi’i sendiri sering menggunakan metode ijtihad dengan cara menggunakan instrumen istiqro ( riset atau penelitian ) dalam menentukan suatu ketetapan hukum, misanya : ketika menentukan btas haid seorang wanita serta menentukka s1 Ramadhan dan 1 syawal.

Menentukkan hukum berdasarkan hasil ijtihad ( penalran rasional ) ada beberapa rambu rambu yang tidak boleh dilanggar antra lain:

  1. Tidak boleh merusak ketenyuan dasar yang berkaitan dengan aqidah ( aqidah kepercaan islam ).
  2. Tidak boleh mengurangi atau menghilangkan martabat manusia, lalu disamakan dengan martabat hewan.
  3. Tidak boleh mendahulukan kepentingan kepentingan perorangan atas kepentingan umum.
  4. Tidak boleh mengutamakan hal hsal yang masih samar kemanfaatannya, ats hal yang sudah nyata kemanfaatannya.
  5. Tidak boleh melanggar keutamaan dasar akhlak karimah ( moralitas manusia ).

Abdul Alqadir Ahmad ‘Ata mengatkan , pembahsan masalah aktual yang tidak ada nashnya, sekurang kurangnya dada tiga macam cara yang harus dilakukan ketka menentukan hukumnya dengan menggunakan metode ijtihad, antara lain :

  1. Harus selalu menjaga dasar dasar aqidh islam yaitu tidak boleh ada prudak hukum yang dapat melemahkan atau merusaknya, sehingga dapat menggantikan dengan kepercayaan yang musrik atheis ( anti tuhan )
  2. Hukum menghindari dan menolak perbutan sesat yang pernah dilakukan oleh ahlu Alkitab atau orang orang musrik.

(Mereka bertanya kepadamu tentang haid), maksudnya haid atau tempatnya dan bagaimana memperlakukan wanita padanya. (Katakanlah, “Haid adalah suatu kotoran) atau tempatnya kotoran, (maka jauhilah wanita-wanita), maksudnya janganlah bersetubuh dengan mereka (di waktu haid) atau pada tempatnya (dan janganlah kamu dekati mereka) dengan maksud untuk bersetubuh (sampai mereka suci). ‘Yathhurna’ dengan tha baris mati atau pakai tasydid lalu ha’, kemudian pada ta’ asalnya diidgamkan kepada tha’ dengan arti mandi setelah terhentinya. (Apabila mereka telah suci maka datangilah mereka) maksudnya campurilah mereka (di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu) jauhilah di waktu haid, dan datangilah di bagian kemaluannya dan jangan diselewengkan kepada bagian lainnya. (sesungguhnya Allah menyukai) serta memuliakan dan memberi (orang-orang yang bertobat) dari dosa (dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri) dari kotoran. 3. Harus selalu mengutamakan kehidupan yang bermoral

Yusuf Qordawi menambahkan satu lagi ketentuan yang harus dijadikandasar pertimbangan ketika metode ijtihad dilakukan dalam menentukan suatu hukum, yaitu selalu mencari kemudahan dari kesulitan yang dialami manusia ketika hukum tersebut diterpkan. Dalam hadts dikatakan :

“permudahlah dan jangan mempersulit serta hiburlah dan jangan menjauhi ( H.R bukhari Muslim )”.

Dasar dasar dalam penyelesaian masalah :

  1. Menghindari sifat taqlid dan panatisme mazhab

Umar bin Al-khattab dan Zaid bin Tsabit berpendapat menghindari diri dari fanatisme mazhab tertentu dan taqlid buta terhadap pendapat ulama klasik.  Taqlid adalah mengikuti suatu tanpa mengeahui dasar alasannya tanpa mengetahu dalilnya dan pelakunya di sebut muqallid ( orang yang bertaqlid ), lawan dari taqlid adalah itiba artinya mengikuti deangan mengetahui dasar alasannya dan dalilnya, orang yang itiba dinamai muttabi.

  1. Prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan.
  2. Berdialog dengan masyarakat melalui pendekatan persuasive aktif dan komunikatif.
  3. Bersipat moderat terhadap kelompok tekstualis dan kelompok kontekstualis. Dalam merespon persoalan yang baru muncul ulama bersandar kepada nash sesuai bunyi ayat tanpa menginterpretasilebih lanjut ei luar teks itu.
  4. Ketentuan hukum bersifat jelas tidak mengandung Misalnya ketentuan hukum potong tangan terhadap pencuri sebuah barang yang telah mencapai nisab. Umar bin Khattab pernah tidak memberlakukan hukum had atau potong tangan terhadap pencuri barang tuannya karena sang tan pelit, maka ia mencuri barang sang tuan demi kebutuhan mendesak yaitu kelaparan.

2. Contoh-Contoh Masalah Fiqih Kontemporer

  1. Hukum menikahi wanita hamil

Hukum menikahi wanita hamil memiliki dua makna yang berbeda namun hampir sama, pertama wanita yang diceraikan oleh suaminya dalam kedaan hamil. Kedua, wanita yang telah hamil karena melakukan zina atau hamil diluar nikah. Maka yang menjadi pembahasannya adalah makna yang kedua yaitu hukum wanita yang menikah karena telah mengandung janin terlebih dahulu dai hubungan suami istri diluar nikah. Sedangkan wanita yang di ceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil maka itu tidak ada persoalan yang mendasar yaitu tidak boleh di nikahkan sampai lepas masa iddahnya, dan iddahnya ialah sampai ia melahirkan sesuai firman Allah dalam Al quran surat At Talaq ayat 4:

“dan perempuan perempuan yang hamil waktun iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.”( QS. Th- Thalaq: 4 ).

  1. Hukum Islam Mengenai KB

Bagaimana hukumnya membatasi keturunan atau merencanakan keluarga, Kalau dengan ‘azl (mengeluarkan air mani diluar rahim) atau dengan alat yang mencegah sampainya mani kerahim seperti kondom maka hukumnya makruh. Begitu juga makruh hukumnya kalau dengan meminum obat untuk menjarangkan kehamilan. Tetapi kalau dengan sesuatu yang memutuskan kehamilan sama sekali, maka hukumnya haram, kecuali kalau ada bahaya.

Misalnya saja karena terlalu banyak melahirkan anak yang menurut pendapat ahli tentang hal ini bisa menjadikan bahaya, maka hukumnya boleh dengan jalan apa saja yang ada. Keterangan tersebut diperkuat dengan pendapat ulama dalam kitab asna al-Muthalib sebagai berikut: Adapun Al-Azl (mengeluarkan sperma diluar rahim) adalah makruh walaupun pihak wanita mengizinkan, baik sebagai wanita merdeka maupun budak. Karena al-azl tersebut merupakan cara untuk memtuskan keturunan.

  1. Pandangan Hukum Islam Mengenai BPJS

Sebelum menentukan hukum BPJS harus diketahui terlebih dahulu sistem dan akad yang digunakan di dalam BPJS tersebut. Setelah menelaah beberapa rujukan, didapat beberapa poin di bawah ini, berikut pandangan syariat terhadapnya: berikut pandangan syariah terhadapnya: Pertama: Menarik iuran wajib dari masyarakat, berkenaan dengan hal ini bahwa iuran wajib yang diserahkan kepada pemerintah bisa berupa zakat, yang harus didistribusikan oleh pemerintah yang menerapkan syariah Islam, bisa juga berupa pajak yang mana hukumnya masih diperdebatkan diantara para ulama, dari hasil pajak inilah seharusnya pemerintah  memberikan dana sosial kepada masyarakat dalam pendidikan dan kesehatan. Seandainya BPJS ini dialihkan menjadi pajak wajib bagi masyarakat dan dikhususkan untuk melayani kesehatan masyarakat, maka hukumnya boleh menurut sebagian ulama. Apalagi ada rencana mewajibkan BPJS kepada seluruh rakyat pada tahun 2019. Jika iuran tersebut menggunakan sistem asuransi konvensional, maka peserta yang mendaftar wajib membayar premi setiap bulan untuk membeli pelayanan atas risiko (yang belum tentu terjadi), maka ini hukumnya haram (Fatwa MUI: No.21/DSN-MUI/X/2001).

Baca Juga: