Asal-usul Hak
Ketergantungan seseorang kepada yang lain dirasakan ada ketika manusia itu lahir. Seseorang hanya ahli dalam bidang tertentu saja, seperti seorang petani mampu (dapat) menanam ketela pohon dan padi dengan baik, tetapi dia tidak mampu membuat cangkul. Jadi, petani mempunyai ketergantungan kepada seorang ahli pandai besi yang membuat cangkul. Juga sebaliknya, orang yang ahli dalam pandai besi tidak sempat menanam padi, padahal makanan pokoknya adalah beras. Jadi, seorang yang ahli dalam pandai besi memiliki ketergantungan kepada petani.
Setiap manusia mempunyai kebutuhan sehingga sering terjadi pertentangan-pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan masing-masing, perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar manusia itu tidak melanggar dan memperkosa hak-hak orang lain. Maka timbullah hak dan kewajiban diantara sesama manusia.[1]
Pengertian Hak Milik
Menurut pengertian umum, hak ialah:
Artinya: “Suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasan atau suatu beban hukum.”
Pengertian hak sama dengan arti hukum dalam istilah ahli ‘Uşul :
Artinya: “Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta.”
Ada juga hak didefinisikan sebagai berikut:
Artinya: “Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang lainnya.”
Milik didefinisikan sebagai berikut:
Artinya: “Kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar`i.”[2]
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara`, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain.[3]
Islam juga memberikan batas-batas tentang hak milik agar manusia mendapat kemaslahatan dalam pengembangan harta tadi dalam menafkahkan dan dalam perputarannya, yaitu melalui prinsip-prinsip diantaranya:
Hakikatnya harta itu adalah milik Allah SWT.
Firman Allah dalam surat Al-Hadid ayat 7:
Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadid : 7)
Harta kekayaan jangan sampai hanya ada atau dimiliki oleh segolongan kecil masyarakat
Firman Allah dalam surat Al Hasyr ayat 7:
Artinya: “Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr : 7)
Ada barang-barang yang karena dlaruri-nya adalah untuk kepentingan masyarakat seluruhnya.[4]
Mazhab Maliki dan Hanafi mengemukakan teori ta`asuf yang didalam penerapannya terhadap hak milik sebagai berikut:
- Tidak boleh menggunakan hak kecuali untuk mencapai maksud yang dituju dengan mengadakan hak tersebut.
- Menggunakan hak dianggap tidak menurut agama jika mengakibatkan timbulnya bahaya yang tidak lazim.
- Tidak boleh menggunakan hak kecuali untuk mendapat manfaat bukan untuk merugikan orang lain.
- Tidak boleh menggunakan hak melebihi aturan syari’ah.
- Tidak boleh menggunakan hak yang lebih condong ke madharatnya dari pada manfaatnya.
Hak yang dijelaskan di atas, adakalanya merupakan sultah dan taklif.
- Sultah terbagi dua, yaitu:
- Sultah ‘ala al nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak pemeliharaan anak.
- Sultah ‘ala syai’in mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.
- Taklif adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif adakalanya tanggungan pribadi (`ahdah syakhşiyah) seperti seseorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah) seperti membayar utang.
Pembagian Hak
Dalam pengertian umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Haq mal ialah:
Artinya: “Sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda-benda atau utang-utang.”
Haq gairu mal ialah sesuatu yang berpautan selain harta.
Hak gairu mal ada dua bagian: haq syakhşi dan haq `aini
Haq syakhşi ialah:
Artinya: “Suatu tuntutan yang ditetapkan syara’ dari seseorang terhadap orang lain.”
Haq ‘aini
ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Haq ‘aini ada 2 macam: aşli dan ţab`i.
Haq ‘aini aşli ialah adanya wujud benda tertentu dan adanya şahub al-haq seperti hak milkiyah dan hak irtifaq.
Macam-macam haq ‘aini ashli sebagai berikut:
- Haq al-milkiyah; hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah
- Haq al-intifa’ ialah hak hanya boleh dipergunakan dan diusahakan hasilnya.
- Haq al-irtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas kebun yang lain, yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun pertama.
- Haq al istihan, hak yang diperoleh dari harta yang digadaikan
- Haq al-ihtibas ialah hak menahan suatu benda.
- Haq qarar (menetap) atas tanaf wakaf.
- Haq al-jiwar hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdempetnya batas-batas tempat tinggal.
- Haq syafah atau haq syurb ialah kebutuhan manusia terhadap air untuk kebutuhan sehari-hari.
Ditinjau dari haq syurb, air dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
- Air umum, misalnya air sungai.
- Air ditempat yang ada pemiliknya, misalnya air sumur.
- Air yang dikuasai pemiliknya, dipelihara dan disimpan disuatu tempat, misalnya air di kendi dan bejana-bejana.
Hak ‘aini thab’i ialah hak menentukan jaminan yang ditetapkan untuk seseorang yang mengutangkan uangnya atas yang berhutang.[5]
Sebab-sebab Pemilikan
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki, yaitu:
- Ikraj al Mubahat, untuk harta yang belum dimiliki oleh seseorang (mubah) Untuk memiliki benda-benda mubahat diperlukan dua syarat, yaitu:
- Benda mubahat belum diikhrazkan (dikelola) oleh orang lain.
- Adanya niat (maksud) memiliki.
- Khalafiyah, yaitu bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat di tempat yang lama, yang telah hilang berbagai macam haknya.
Khalafiyah ada dua macam, yaitu:
- Khalafiyah syakhsy ‘an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta benda yang ditinggalkan oleh muwaris, harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut tirkah.
- Khalafiyah syai’an syai’in, yaitu apabila seseorang merugikan milik orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak ditangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik harta. Maka khalafiyah syai’an syai’in ini disebut tadlmin atau ta’widl (menjamin kerugian).
- Tawallud min Mamluk, yaitu segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki, menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut. Misalnya bulu domba menjadi milik pemilik domba.
- Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun. Umar r.a. ketika menjabat khalifah ia berkata,”Sebidang tanah akan menjadi milik seseorang yang memanfaatkannya dari seseorang yang tidak memanfaatkannya selama tiga tahun.” Hanafiyah berpendapat bahwa tanah yang belum ada pemiliknya kemudian dimanfaatkan oleh seseorang, maka orang itu berhak memiliki tanah itu.[6]
Hak milik yang sempurna dapat beralih dari seseorang pemilik kepada orang lain sebagai pemilik yang baru, yaitu salah satunya dengan cara :
- Jual beli atau tukar menukar
- Hibah
- Wakaf
- Perkawinan yang sah atau kekerabatan (hubungan kekeluargaan)
- Ashobah `Uhsubah Sabababiyah, yaitu ahli waris yang terikat oleh `ushubah sababiyah yaitu kekerabatan itu ditentukan berdasarkan hukum. Ashobah sababiyah menurut hukum itu terjadi lantaran :
- Adanya perjanjian untuk saling tolong-menolong.
- Wala`ul ataqoh atau wala`ul `itqi, yaitu `ushubah yang disebabkan karena memerdekakan budak (membebaskannya), sehingga ia memperoleh kedudukan yang bebas dan mempunyai hak serta kewajiban sebagai manusia bebas lainnya. Dan apabila yang dimerdekakan itu meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris, maka bekas tuannya yang membebaskannya (mu`tiq) itulah yang berhak menerima harta warisannya. Tetapi apabila si tuan meninggal dunia, bekas budak yang dibebaskan tidaklah mewaris dari harta benda bekas tuannya itu.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu sebagai berikut :
Artinya : “Hak wala’ itu orang yang memerdekakan.” (Muttafaq’alaih)[7]
Proses pemindahan hak milik bisa dikelompokkan dalam dua macam:
- Pengalihan hak milik dengan maksud atau ikhtiar dari pemiliknya
- Pengalihan hak milik tanpa kehendak dan ikhtiar pemiliknya tapi mengikuti keadaan dan kenyataan. Misalnya pengalihan dikarenakan orang yang sedang menjadi pemiliknya meninggal dunia. Pengalihan hak milik yang demikian namanya pengalihan hak ijbariyah yang tidak memerlukan adanya kerelaan pihak yang menerima sekalipun. Menurut Fiqh Islam para ahli waris dalam menerima pengalihan hak atas harta waris tidak diperlukan kerelaan.[8]
[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm. 3
[2] Ibit, halm. 33
[3] Imron Abu Amar, Terjemahan Fat-hul Qarib, Menara Kudus, Kudus, 1982, hlm. 326
[4] A. Dzajuli, Fiqh Siyasah, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2003, hlm. 209-212
[5] Hendi Suhendi, Op. Cit, hlm. 35-37
[6] Hendi Suhendi, Op. Cit, hlm. 38
[7] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, PT Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, 1995, hlm. 32
[8] Ahcmad Kuzari, Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 39