Idealnya, ketika membahas tentang madzhab, maka hal pertama yang harus diulas terlebih dahulu adalah apa definisi madzhab. Baru kemudian berlanjut pada tema-tema tentang bagaimana bermadzhab, ragam bermadzhab, kaidahnya, bahkan juga hukumnya dan hukum berpindah atau berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab yang lain.
Akan tetapi karena fokus buku ini memang sedang menyoroti fenomena sebagian kaum muslimin yang alergi dengan madzhab-madzhab fiqih, dan membungkusnya dengan kemasan ‘madzhabku rasulullah’, maka pembicaraan seputar definisi madzhab baik dalam bahasa, dalam terminologi fiqih, konsep bermadzhab dan lain-lainnya, baru ada di bagian ini.
Tentu saja pembahasan terkait itu semua tidak akan disajikan persis seperti kajian madzhab dalam ushul fiqih pada bab ijtihad dan taqlid. Sebisa mungkin poin-poinnya dipilih secara selektif yang sesuai dengan kebutuhan buku ini. Dan tentu saja dengan model penyajian yang sesederhana mungkin.
1. Madzhab Secara Bahasa
Setiap kata adalah wadah dari makna-makna yang diletakkan oleh pengguna kata tersebut. Maka bisa jadi ada satu kata yang sama, tetapi memiliki perbedaan makna karena penggunanya berbeda.
Demikian juga kata madzhab. Kata yang berasal
dari Bahasa arab dalam pola mashdar mim ini memiliki beragam makna. Kata dasarnya yang berupa dza ha ba bisa bermakna hilang, menghilangkan, telah berlalu, pergi atau berangkat, menuju dan bahkan bisa juga bermakna kematian.
Salah satu makna yang terkait dengan penggunaan kita adalah menuju. Karena madzhab berupa mashdar, maka maknanya bisa menjadi tempat tertuju atau jalannya, atau tujuan yang dimaksud.
Ketika jalan tersebut selalu dilewati oleh seorang fulan atau bahkan dialah yang membuka jalan tersebut, maka orang lain yang mengikuti dan memanfaatkan jalan yang sudah terbuka tersebut bisa dikatakan sedang berjalan di jalan fulan.
Jalan fulan ini kemudian dipakai dalam bahasa arab bukan saja untuk jalan secara fisik. Akan tetapi juga ‘jalan’ secara maknawi yang dalam bahasa Indonesia kita biasa diungkapkan dengan cara atau sudut pandang, atau juga teori.
2. Madzhab Dalam Terminologi Fiqih
Dalam terminologi fiqih, madzhab juga memiliki beragam definisi. Setiap madzhab fiqih seperti madzhab hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali memiliki definisi dan konsep madzhab yang berbeda-beda.
Definisi tersebut walaupun memiliki kesamaan makna, akan tetapi berbeda-beda dari sisi objek dan subjeknya. Definisi madzhab dalam ilmu fiqih juga kemudian berkembang dengan sangat dinamis bukan saja karena perbedaan masa atau zaman, tapi juga bisa disebabkan karena perbedaan tempat.
Ulasan tentang definisi madzhab dalam terminologi fiqih ini barangkali akan terasa agak rumit bagi sebagian pembaca. Namun semoga saja tetap bisa dipahami. Kerumitan itu setidaknya menunjukkan kepada kita bahwa para ulama kita dalam mendedikasikan perjuangan ilmiahnya untuk membangun dan merumuskan sebuah madzhab fiqih sungguh luar biasa.
Mereka melakukan itu semua dalam rangka agar keberislaman kita sama persis dengan apa yang Rasulullah ajarkan dan contohkan. Jadi, kalau mau bermadzhab dengan madzhab rasulullah, sebenarnya paling tepat adalah mengikuti madzhab yang otoritatif itu. Yang mengikutinya tidak sesederhana; yang penting haditsnya sahih.
a. Definisi Masa Pra Madzhab Empat
Sebelum adanya madzhab empat, meskipun belum ada yang merumuskan konsep madzhab, akan tetapi sudah ada sekian pandangan-pandangan hukum fiqih yang berbeda-beda.
Realita perbedaan pandangan hukum fiqih tersebut menunjukan bahwa madzhab benar-benar sudah muncul di masa awal sekali Islam. Bahkan bagi mayoritas ulama ushul fiqih yang menyatakan bahwa ijtihad juga terjadi dan dilakukan oleh rasulullah, maka madzhab juga sudah ada pada saat beliau masih hidup. Yaitu pada saat belum ada wahyu yang turun untuk satu persoalan tertentu yang masih diperdebatkan.
Dan dalam sirah nabawiyah kita menyaksikan bahwa kadang wahyu yang turun kemudian malah berbeda dan menegur pandangan atau madzhab ‘rasulullah’ dan membenarkan pandangan atau ‘madzhab’ beberapa shahabat.
Begitu juga pasca wafatnya nabi, para shahabat juga memiliki dinamika perbedaan hukum fiqih yang cukup menarik. Ada perdebatan antara Zaid ibn Tsabit dengan Abdullah ibn Abbas. Ada madzhab ibnu ‘Umar dan Ibnu Mas’ud. Bahkan ibunda Aisyah dikenal beberapa kali mengoreksi atau berbeda dengan banyak shahabat termasuk para shahabat besar seperti Abu Bakar ayahnya, Umar dan sejumlah shahabat yang lain. Koreksi Aisyah ini dihimpun dengan cukup bagus oleh beberapa ulama syafi’iyyah di antaranya oleh Badrudin Az Zarkasyi dalam Al Ijabah.
Pada masa tabi’in, sudah mulai tampak polarisasi pemikiran berdasarkan wilayah geografis. Ada banyak murid ibnu ‘Abbas dengan madrasahnya di Mekah. Ada Ikrimah, Thawus, Jabir dan lainnya. Namun yang sering dikutip dalam pandangan fiqihnya adalah Atha’ dan Said ibn Jubair.
Di Madinah kita mengenal Ibnu ‘Umar yang muridmuridnya kemudian menjadi guru-guru dari banyak ulama termasuk Imam Malik. Begitu juga di Kufah, Abdullah ibn Mas’ud adalah salah satu akar dari pandangan fiqih Imam Abu Hanifah.
Walaupun jauh lebih banyak kesamaan antara madrasah-madrasah yang berbeda-beda wilayah tersebut, tapi ada juga perbedaan-perbedaannya. Saat berbeda-beda itulah, bisa kita sebut ada madzhab mekah, madinah atau kufah misalnya.
Di masa ini madzhab fiqih yang sudah ada adalah madzhab dengan definisinya yang paling dasar. Yaitu ‘pandangan ijtihadi personal seorang mujtahid dalam hukum syariah yang digali dari sumber
(dalil)nya yang bersifat dzanni’.
Yang paling penting dari definisi diatas adalah sifat ijtihadi itu. Karena madzhab bersifat ijtihadi, maka konsekuensinya; 1. bisa salah bisa benar 2. Boleh dipilih dan boleh ditinggalkan 3. Bisa berubah. Dan karenanya juga, wilayahnya hanya ada pada hal-hal sifatnya dzanni (relatif asumtif) seperti qunut subuh. Sedangkan wajibnya shalat subuh tidak mengenal adanya madzhab. Karena hukum wajibnya merupakan kesimpulan yang sifatnya qath’i.
Maka setiap apa yang diijtihadkan oleh siapapun, asal dia memang memiliki kualifikasi seorang mujtahid, hasil kesimpulannya bisa disebut sebagai madzhabnya. Madzhab dengan definisi ini biasanya dikenal sebagai al madzhab as syakhsyi (madzhab personal).
b. Definisi Masa Madzhab Empat
Di awal munculnya para pendiri madzhab empat, madzhab yang ada adalah madzhab personal itu. Imam Syafi’i misalnya dengan tegas mengatakan, “pandanganku adalah benar, mengandung kemungkinan keliru”. Imam Abu Hanifah melarang, “jangan ikuti madzhabku, tapi ikutilah dari sumber dimana aku mengambilnya”. Dan demikian juga imam-imam yang lain. Pandangan-pandangan ijtihadi mereka adalah madzhab personal mereka.
Namun di saat semua ulama mujtahid tersebut meninggal dunia, sebagian madzhab ada yang tersisa dengan beragam muridnya. Akan tetapi ada juga yang akhirnya punah karena sedikit muridnya dan semakin kalah saing dengan madzhab yang lebih kuat dari beragam sisinya.
Ada yang hanya berusia satu abad, dua abad dan tiga abad. Namun ada juga yang kemudian diterima, dipeluk dan diyakini hingga zaman kita sekarang ini. Yang masih bertahan itulah yang kita kenal sebagai madzhab fiqih yang empat.
Pada masa empat madzhab, definisi madzhab menjadi sangat dinamis. Walaupun definisi lama masih terpakai, akan tetapi bermunculan kemudian definisi-definisi baru sesuai dengan dinamikanya masing-masing empat madzhab.
Dalam madzhab Abu Hanifah misalnya, maka yang dimaksud dengan madzhab dalam definisi lamanya, memang pandangan personal ijtihadi imam Abu Hanifah. Akan tetapi dalam perkembangannya, madzhab dalam definisi baru versi mereka, bukan saja pandangan personal ijtihadi Imam Abu Hanifah. Bahkan kemudian ada sejumlah syarat agar pandangan beliau dikategorikan sebagai madzhab. Dan hasil akhirnya kemudian, kita akan temukan satu kasus dalam madzhab Hanafi, dan itu resmi madzhab Hanafi, akan tetapi bukan merupakan pandangan Imam Abu Hanifah.
Dalam kasus tersebut, pandangan Abu Hanifah malah tidak diambil sebagai madzhab. Walaupun nama madzhabnya berasal dari nama beliau. Karena madzhab dalam definisi ini bukan lagi sekedar pandangan ijtihadi personal individual, tapi sudah menjadi pandangan kolektif.
Dinamika yang sama, kurang lebihnya juga terjadi dalam madzhab-madzhab yang lain. Madzhab syafi’i sebagai madzhab mayoritas muslimin di Indonesia juga memiliki dinamika pendefinisian madzhab yang para santri syafi’iyyah tentu sangat mengenal dengan dinamika ini.
Di masa awal sekali kelahirannya, Imam Syafi’i sebagai pendiri dikenal memiliki dua madzhab; madzhab lama (saat di Iraq) dan madzhab baru (saat di Mesir). Dari sinilah dinamika itu bermula. Para fuqaha syafi’iyyah kemudian harus berijtihad dalam memilah; apakah madzhab lama itu harus ditinggalkan karena sudah tidak dipakai lagi oleh pendirinya ?
Singkatnya, para pengikut generasi awal madzhab ini ternyata juga kadang berbeda-beda dalam berijtihad. Baik ijtihad dalam persoalan baru yang tidak ditemukan teks dari Imam Syafi’i maupun persoalan validasi riwayat sang Imam. Ragam perbedaannya biasa dikenal dengan wajh. Para mujtahidnya disebut dengan ashab al wujuh. Ada juga ragam lain yang dikenal dengan thariq.
Walaupun secara teori antara wajh dan thariq itu berbeda, tetapi dalam praktiknya sangat susah untuk dibedakan. Satu pandangan kadang ditemukan dengan sebutan wajh, tapi oleh ulama lain disebut thariq. Intinya adalah bahwa wajh dan thariq itu merupakan madzhab di dalam madzhab.
Saking banyaknya perbedaan pandangan dalam satu madzhab itulah kemudian muncul persoalan baru; sebenarnya madzhab syafi’i yang mana ? Maka muncullah di abad ketujuh hijriah dua orang ulama besar yaitu An Nawawi dan Ar Rafi’i untuk memutuskan madzhab yang final.
Maka definisi madzhab yang baru, muncul lagi di masa beliau berdua ini. Dalam definisi baru versi ini, madzhab adalah pandangan ijtihadi yang sudah ditahqiq matang dan disepakati oleh dua syaikhan (An Nawawi dan Ar Rafi’i)
Di abad kesepuluh, walaupun definisi abad ketujuh ini juga masih bertahan, muncul definisi baru untuk persoalan yang belum sempat terjadi atau dibahas oleh syaikhan di abad ketujuh. Bahkan definisi tersebut bisa berbeda tergantung wilayahnya juga.
Pada abad kesepuluh ini, muncul dua ulama besar yang juga melakukan kerja yang hampir sama dengan syaikhan sebelumnya. Mereka ada Ibnu Hajar Al
Haitami dan Ar Ramli. Kalau madzhab dalam definisi paling kuat adalah kesepakatan syaikhan, maka di abad kesepuluh ini tidak ada keharusan kesepakatan Ibnu Hajar dan Ar Ramli. Definisi madzhab abad ini bisa dipilih.
Para ulama Hadharamaut, Syam, Kurdi lebih memilih pandangan atau madzhab Ibnu Hajar. Sementara para ulama Mesir lebih memilih Ar Ramli. Sedangkan ulama haramain awalnya di dominasi oleh pandangan (madzhab) Ibnu Hajar, namun saking banyaknya kedatangan ulama Mesir, pandangan Ar Ramli mampu mengimbanginya.
Begitulah kurang lebih deskripsi singkatnya tentang madzhab dalam madzhab versi syafi’iyyah. Yaitu madzhab yang bukan lagi sekedar pandangan ijtihadi personal individual, tapi sudah merupakan pandangan ijtihadi kolektif. Selain diistilahkan dengan al madzhab, biasanya juga disebut sebagai al muktamad.
Sumber: Sutomo Abu Nashr, Madzhabmu Rasulullah? Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Indonesia, 2018