Menu Tutup

Hukum Harta Perkawinan

Pada umumnya harta kekayaan keluarga itu dapat dibedakan dalam empat bagian yaitu:

Harta warisan

Suatu asas hukum adat Indonesia, yang berlaku umum ialah bahwa warisan yang diperoleh dari kerabat sendiri tetap menjadi milik suami atau isteri berasal dari kerabat yang memberikan warisan tersebut. Jadi pada pembubaran perkawinan karena perceraian, harta itu tetap mengikuti suami atau isteri selaku pemilik semula, sesudah pemiliknya meninggal, harta tersebut tidak berpindah ke luar, jadi tidak jatuh ke tangan isteri atau suami yang masih hidup, dan di Jawa juga tidak diwariskan kepada anak-anak angkatnya, kata orang agar harta tersebut tidak hilang

Harta yang diperoleh atas usaha dan untuk diri sendiri oleh suami atau isteri masing-masing sebelum atau selama perkawinan.

Kemungkinan buat seorang suami atau seorang isteri semasa perkawinan untuk memiliki harta pribadi bagi dirinya, di satu pihak bersangkut paut dengan daya serap (harta) kerabat, dipihak lain bertalian dengan daya serap harta bersama dari keluarga. Bila ikatan kekerabatan masih kuat, maka barang-barang yang baru diperoleh itu sejak semula diperuntukkan bagi yang memperoleh dan para wangsanya yang merupakan kesatuan sosial dengannya, kecuali kalau ia dapat mewariskannya kepada anak-anak kandungnya yang termasuk dalam ikatan kerabat tadi. Suami atau istri si pemilik barang tadi menurut hukum adat tidak turut memiliki barang-barang serupa itu meskipun ia selaku warga somah sebrayat dapat turut menikmati hasilnya dan penguasaan atas barang-barang tersebut memerlukan persetujuan, setidak-tidaknya harus diketahui oleh para waris, yaitu para warga yang bersangkutan. Baik benda-benda yang diperoleh sebelum maupun selama ikatan perkawinan, dapat berposisi hukum demikian

Harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan atau usaha dan sebagai milik bersama.

Harta bersama suami istri ialah harta kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan, sedangkan baik suami atau istri bekerja untuk kepentingan keluarganya. Syarat terakhir ini kadang-kadang juga ditiadakan, sehingga harta benda yang diperoleh masa perkawinan itu selalu menjadi harta bersama keluarga. Manakala perkawinan putus karena meninggalnya suami atau istri, maka patner yang ditinggalkan menguasai harta bersama seperti semasa perkawinan, ia berhak atas harta tersebut untuk penghidupannya. Bila kebutuhan hidupnya terpenuhi secara pantas, maka harta bersama itu dapat dibagi antara dia dengan para ahli waris si meninggal. Dalam hal anak-anak, maka mereka ini akhirnya mewaris harta kekayaan itu selaku barang asal. Jika tidak ada anak, maka sepeninggal patner yang menjanda/membalu ini, harta kekayaan tersebut harus dibagi antara sanak saudara si suami di satu pihak dengan sanak saudara si istri dilain pihak dengan patokan yang sama seperti kalau suami isrtri membaginya semasa mereka masih hidup.

Harta yang dihadiahkan pada saat pernikahan kepada suami isteri bersama.

Di Madura terdapat kebiasaan bahwa saat berlangsungnya pernikahan dihadiahkan benda-benda (barang pembawaan) yang pembagiannya berbeda dengan harta yang diperoleh selama masa diperoleh. Mengenai barang pembawaan, bagian suami dan istri sama, sedangkan mengenai harta perkawinan bagian mereka dua berbanding satu.

Sumber: academia.edu

Baca Juga: