Menu Tutup

Hukum Potong Rambut Dan Kuku Saat Haid

Suatu ketika ada seorang ukhti dalam pengajian para akhwat bertanya tentang hukum larangan ketika berjanabah. Dia bercerita bahwa waktu di masih di pesantren salaf dulu, dirinya dan santriwati lainnya dilarang motong rambut dan kuku saat haid. Dan apabila rambut mereka ada yang rontok, dianjurkan untuk menyimpannya sampai masa haid selesai.

Setelah haid berakhir dan mau mandi besar, maka rambut yang pernah rontok dan kuku yang terpotong semasa haid harus disertakan waktu mandi. Maksudnya agar ikut dibersihkan juga dengan air.

Pertanyaannya, apa sebenarnya hukum memotong rambut dan kuku saat haid? Haram, makruh, ataukah mubah saja?

Agak sulit kiranya menelusuri  dalil eksplisit mengenai hal ini. Saat mentahqiq kitab-kitab muktamad juga hampir tidak ada yang mencantumkan potong kuku dan rambut dalam daftar larangan selama haid. Sebab larangan bagi wanita haid menurut mayoritas ulama hanya 8 hal saja, yakni: Shalat, Puasa, Thawaf, Berdiam di masjid, Melafadzkan al-Quran, Menyentuh & membawa mushaf, Jima, dan Diceraikan.

Rasulullah SAW membolehkan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahuanha untuk mengurai dan menyisir rambutnya saat Aisyah sedang mengalami masa haid. Padahal dengan menyisir rambut, sangat besar kemungkinan tercabutnya rambut. Coba

perhatikan sisir para wanita, biasanya ada saja helaihelai rambut yang menempel.

Izin dari Nabi SAW ini secara tidak langsung menunjukkan bolehnya wanita haidh memotong rambut dan kuku.

Berikut sabda Rasulullah SAW kepada `Aisyah radhiyallahu `anhaa ketika haji wada`:

“Uraikanlah rambutmu dan sisirlah, kemudian berniatlah untuk haji dan tinggalkan umrah” (Muttafaqun ‘alaihi)

Seorang mufti bernama Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:

 “Wanita yang haidh boleh memotong kukunya dan menyisir rambutnya, dan boleh mandi junub, … pendapat yang dianut oleh sebagian wanita bahwasanya wanita yang haidh tidak boleh mandi, menyisir rambutnya, dan memotong rambutnya maka ini tidak ada asalnya (dalilnya) di dalam syari’at, sebatas pengetahuan saya”.

Ternyata larangan ini ditemukan dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa wanita haid dilarang memotong kuku dan rambutnya. Sebab kelak di akhirat rambut dan kuku tersebut akan dipanggil dalam keadaan janabah (hadats besar) lalu menuntut dan meminta pertanggung jawaban pada pelakunya.

Al-Ghazali mendasarkan  pendapatnya dengan mengutip satu hadits yang bunyinya:

”Dan tidak sepatutnya seseorang itu mencukur rambutnya, memotong kukunya, bulunya, atau mengeluarkan darahnya, atau memisahkan satu bagian dari dirinya, sedang dia dalam keadaan junub. Sebab semua bagian itu akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan junub, lalu dikatakan pada orang itu: ’Sesungguhnya setiap rambut ini menuntut padanya mengapa ia dibiarkan dalam keadaan berjanabah (hadats besar)”[1]

Al-Bujairimi mengomentari pendapat tersebut sebagaimana yang ia tulis dalam kitabnya Tuhfah AlHabib :

 “Ada kritikan terhadap (pendapat al-Ghazali), kerana yang dimaksud dengan ’bagian itu akan dipanggil pada hari kiamat’ adalah bahwa jasad akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaannya sewaktu ia mati, tidak termasuk kuku atau rambut yang dipotong selama ia hidup. Maka, pendapat ini perlu dirujuk kembali. Al-Qalyubi mengatakan bahwa jika semua rambut dan kukunya yang sempat ia potong selama hidup  akan dipanggil menyatu ke jasadnya, niscaya akan buruklah jasadnya itu, saking panjangnya kuku dan rambutnya itu. Al-Manabighi juga menyampaikan bahwa bagian tubuh terpisah yang akan dipanggil itu adalah seperti tangan yang terpotong, bukan rambut atau kuku”[2]

Demikian pendapat para ulama mengenai hukum memotong kuku dan rambut bagi wanita haid. Imam Al-Ghazali melarangnya. Namun mayoritas ulama tidak sependapat. Sebab yang dilarang bagi wanita haid hanya 8 hal saja: Shalat, Puasa, Thawaf, Berdiam di dalam masjid, Melafadzkan al-Quran, Menyentuh & membawa mushaf, Berjima’, dan juga haram diceraikan oleh suaminya.

Wallahu a`lam bishshawab.

[1] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, jilid 1 hal. 51

[2] Al-Bujairimi, Tuhfah Al-Habib, jilid 1 hal. 247

Sumber: Aini Aryani, Judul Buku Larangan Wanita Haidh, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018

Baca Juga: