Menu Tutup

Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani serta Hubungannya

Kebebasan

a. Pengertian

Di antara masalah yang menjadi bahan perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan. Para ahli teologiter membagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemauannya sendiri. Kedua kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan. Diibaratkan sebagai wayang yang mengikuti sepenuhnya oleh kehendak dalang.

Di zaman baru, perdebatan masalah kebebasan dan keterpaksaan tersebut muncul kembali. Sebagian ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs dan Malebrache berpendapat bahwa manusia melakukan suatu karena terpaksa. Sementara sebagian ahli filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia meliliki kebebasan untuk menetapkan perbuatannya. Kebebasan bagi individu berarti bahwa dia bebas untuk berbuat sesuai dengan keputusan dan rencananya.[1]

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Charris Zubair kebebasan adalah terjadi apabila kemungkinan – kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan atau keterkaitan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif, karena hanya dikatakan bebas dari apa, tertapi tidak ditentukan bebas untuk apa.

Seseorang disebut bebas apabila:

  1. Dapat menentukan sendiri tujuan – tujuannya dan apa yang dilakukannya,
  2. Dapat memilih antara kemungkinan – kemungkinan yang tersedia baginya,
  3. Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri. Oleh kehendak orang lain, Negara ataupun kekuasaan apapun.

Selain itu kebebasan meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerimanya apa adanya. Misalnya keterbatasan dalam menentukan jenis kelaminnya, keterbatasan kesukuan kita, keterbatasan asal keturunan kita, bentuk tubuh kita, dan sebagainya. Namun keterbatasan yang demikian itu sifatnya  fisik, dan tidak membatasi kebebasan yang sifatnya rohaniah. Dengan demikian keterbatasan – keterbatasan tersebut tidak mengurangi kebebasan kita.

b. Jenis Kebebasan

Dilihat dari sifatnya, kebebasan dapat dibagi menjadi tiga. Diantaranya:

  1. Kebebasan jasmaniah.

Kebebasan jasmaniah merupakan kebebasan dalam mengerakkan dan mempergunakan anggota badan yang dimiliki.

2. Kebebasan kehendak (rohaniah).

Kebebasan kehendak (rohaniah) merupakan kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berfikir, karena manusia dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja. [2]

3. Kebebasan moral.

Dalam arti luas berarti tidak adanya macam – macam ancaman, tekanan, larangan dan  tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan – kemungkinan untuk bertindak. Manusia bebas berarti manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya.

Dalam Al-Qur’an surat Fushilat ayat 40 Allah berfirman:

Lakukanlah apa yang kamu kehendaki! Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Dengan demikian kebebasan ternyata merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu – satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat menentukan duniannya dan dirinya sendiri. Apa saja yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri dianggap hal yang tidak wajar. [3]

Tanggung Jawab

a. Pengertian

Kata tanggung jawab berkaitan dengan kata “jawab”, dengan demikian, bertanggung jawab berarti dapat menjawab. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang dapat diminta penjelasan tentang tingkah lakunya. Bukan saja ia bisa menjawab akan tetapi juga tidak mengelak. Kata tanggung jawab juga mengandung makna penyebab, yaitu mempertanggungjawabkan sesuatu yang disebabkan olehnya. Namun, untuk bertanggung jawab, tidaklah cukup seseorang menjadi penyebab, tetapi  juga menjadi penyebab bebas.

Menurut K. Bertens, tanggung jawab terkait dengan kebebasan adalah syarat mutlak untuk tanggung jawab. Bila tidak ada kebebasan, maka tidak ada pula tanggung jawab”. Konsekuensi dari kebebasan merupakan pertanggungjawabannya terhadap kebebasan dari pilihan yang ditempuhnya. Semakin tinggi tingkat kedudukan seseorang, semakin banyak tanggung jawab yang ada padanya.

Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti:

  1. Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri.
  2. Kemampuan untuk bertanggung jawab.
  3. Kedewasaan manusia.
  4. Keseluruhan kondisi yang memungkinkan melakukan tujuan hidupnya.

Tingkah laku yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya.Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Tanggung jawab mempunyai dua sifat, pertama, bersifat langsung dan yang kedua bersifat tidak langsung. Dikatakan bersifat langsung bila sipelaku sendiri bertanggung jawab atas perbuatannya. Sedangkan tidak langsung, bila dilakukan oleh suruhan atau perantara lainnya. Pertanggung jawaban lansung misalnya setiap manusia yang berada dimuka bumi diminta pertanggungjawabannya, sebagai konsekuensi logis dari perbuatan yang telah dilakukan. [4]

b. Jenis Tanggung JAwab

Tanggung jawab dapat terbagi menjadi beberapa ruang lingkup, diantaranya:

  • Tanggung Jawab Agama.

Manusia diberi kebebasan bagi dirinya untuk berbuat dan bertidak. Yaitu pilihan untuk tan tersebut ada yang baik dan buruk. Allah berfirman:

وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ

“Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan)” (QS. Al- Balad: 10).

Manusia lahir dengan dibekali oleh Allah SWT berbagai potensi yang dimilikinya, potensi tersebut diberikan Allah agar manusia mampu menjadi khalifah (wakil) Allah dimuka bumi. Potensi tersebut diberikan sebagai alat untuk mengurus alam dan seisinya dan agar manusia senantiasa menyembah Allah. Potensi tersebut, tidak diberikan dengan gratis dan tanpa pengawasan, melainkan agar dimintai pertanggungjawabannya. Tentang bentuk pertanggung jawabannya perbuatan manusia  tersebut, tercantum pada firman Allah:

ثُمَّ لَـتُسۡـَٔـلُنَّ يَوۡمَٮِٕذٍ عَنِ النَّعِيۡمِ

Artinya: “ Kemudian akan ditanya pada hari itu (kiamat) akan nikmat-nikmat (yang telah dianugerahkan kepadanya).” (QS. At- Takatsur: 8)

  • Tanggung Jawab Sosial.

Manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat tentu ad suatu aturan yang harus dipatuhi oleh semua anggotanya. Peraturan tersebut merupakan wujud tanggung jawab perseorangan terhadap lingkungan sosialnya yang bertujuan untuk ketertiban dan kemamukmaran serta menciptakan kedamaian dan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut. [5]

  • Tanggung Jawab Akhlak (sosial)

Fitrah manusia adalah cenderung kepada kebaikan, dan tanggung jawab merupakan bagian dari fitrah manusia. Oleh karena itu, perbuatan buruk merupakan sesuatu yang bertentangan dengan moralitas manusia.

  • Tanggung Jawab Hati Nurani

Hati nurani diartikan sebagai kekuatan yang memperingatkan manusia dan mencegahnya unutk berbuat buruk. Tanggung jawab terhadap hati nurani berbentuk keinginan untuk selalu mengikuti kehendak hati untuk melakukan kebaikan. Bila tindakan seseorang berlawanan dengan hati nuraninya maka sudah pasti hidupnya dalam kegelisahan.

  • Tanggung Jawab Amal Perbuatan

Setiap perbuatan manusia betapapun kecilnya pasti ada pertanggung jawabannya. Baik secara langsung ataupun tidak langsung.Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena perbuatan tersebut dilakukan bukan karena  pilihan akalnya yang sehat. Selain itu tanggung jawab juga erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang dapat menyuarakan kebenaran.

Seseorang baru dapat disebut bertanggung jawab apabila secara intuisi perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya. [6]

Hati Nurani

a. Pengertian

Hati nurani merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani biasanya cenderung paha hal yang positif bukan pada yang negatif. Atas dasar ini muncullah paham intuisisme yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalah yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk adalah yang tidak sejalan dengan kata hati. Hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangn dalam melaksanakan kebebasan dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya sendiri.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata nurani berarti “terang, cahaya”. Sedangkan hati nurani adalah perasaan hati murni yang sedalam-dalamnya.Sementara itu, K. Bertens mengatkan bahwa hati nurani adalah “ penghayatan tentang baik atau buruk yang berhubungan dengan tingkah laku konkret manusia, yang memerintahkan atau melarang untuk melakukan sesuatu.

Hati nurani berdasarkan latar belakang kejadian dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu:

  1. Hati nurani retrospektif, yaitu memberikan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan atau yang sudah berlangsung di waktu lampau.
  2. Hati nurani prospektif, yaitu melihat dan menilai perbuatan yang hendak dilakukan pada masa yang akan datang. [7]

Secara etis hati nurani bersifat subjektif, karena didasarkan pada pendapat pribadi seseoarng yang tidak dapat diketahui oleh orang lain. Adapun sifat hati nurani ada 2:

  1. Bersifat personal, artinya selalu berkaitan dengan pribadi yang bersangkutan. Norma dan  cita-cita yang diterima akan tmpak pda ucapan-ucapan hati nuraninya. Hal ini menandakan bahwa hati nurani diwarnai oleh kepribadian seseorang.
  2. Bersifat adi personal, berarti melebihi pribadi seseorang atau kekuatuan kepribadian kita.[8]

b. Fungsi Kekuatan Hati Nurani

Adapun fungsi kekuatan hati nurani antara lain:

  1. Apabila kekuatan mengiringi suatu perbuatan, maka dapat memberikan petunjuk dan menakuti dari kemaksiatan.
  2. Apabila kekuatan mengiringi suatu perbuatan, maka dapat mendorong untuk menyempurnakan perbuatan yang baik dan menahan dari perbuatan yang buruk.
  3. Apabila kekuatan menyusul setelah perbuatan, maka akan merasa gembira dan senang apabila melakukan kebaikan dan akan merasa sedih, sakit dan pedih ketika melakukan keburukan.

Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, bahwa hati nurani (suara hati) mempunyai tiga tingkatan:

  1. Perasaan melakukan kewajiban karena takut pada manusia.
  2. Perasaan mengharuskan mengikutinya apa yang harus diperintahkan.
  3. Rasa seharusnya mengikuti apa yang dipandang benar oleh dirinya.

Hati nurani itu tak selalu benar kadang bisa salah. Ketika hati nurani memerintah seseorang mengikuti keyakinan yang salah, maka ketika itu hati nurani salah. Meskipun begitu apa kata hati nurani tetap ditaati karena manusia diperintah berbuat menurut apa yang diyakini dalam hati benar, tidak berbuat apa yang benar dalam nyatanya. Jadi barang siapa melihat sesuatu yang benar,

dan hati nurani memerintahkan untuk melakukannya, maka ia harus menaati. Dan dia tidak akan begitu saja disalahkan apabila hati nuraninya salah. Hukum akhlak menerangkan bahwa “ segala perbuatan itu diberi hukum baik atau buruk, karena melihat kepada maksud yang melakukannya dan bukan melihat kepada buahnya. Barang siapa selalu mengikuti hati nurani adalah baik walaupun nanti kelihatan salahnya ( meskipun perbuatannya merugikan).[9]

Hubungan antara Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani dengan Akhlak

Suatu perbuatan baru dikatakan perbuatan yang alkhaki apabila perbuatan tersebut dilakukan atas keasadaran sendiri dengan tulus ikhlas, bukan paksaan ataupun di buat-buat.Dengan demikian perbuatan yang berakhlak itu adalah perbutan yang dilakukan secara sengaja dan bebas. Inilah hubungan antara akklak dengan kebebasan.

Selanjutnya perbuatan akhlak dilakukan atas kesadaran sendiri tanpa adanya paksaan. Perbuatan yang demikian dapat dimintai pertanggung jawaban dari orang yang melakukannya. Di sini letak hubungan antara tanggung jawab dengan akhlak.Perbuatan akhlaki haruslah muncul dari dalam lubuk hati sehingga keikhlasan hatilah yang melakukannya sehingga dapat dipertanggung jawabkan kepada hati sanubari. Maka hubungan akhlak dan kata hati/ hati nurani muncul.Dengan demikian masalah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani merupakan faktor penting dalam menentukan suatu perbuatan dikatakan akhlaki.[10]

[1] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010), 129.

Moh. Toriqqudin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: Malang Press,2008), 71.

[2] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010), 131.

[3] Ibid, hlm 132

Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 131.

[4] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 134.

Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 132.

[5] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 134.

[6] Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 134.

[7] Ibid, hlm. 135

Zahruddin AR, Pengantar Study Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 103

[8] Ibid, hlm. 135

Zahruddin AR, Pengantar Study Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 103

[9] bid, hlm. 104

Ibid, hlm.105

Ibid, hlm. 108

H.A Ahmad Mustofa, Akhak Tasawuf, ( Bandung: Pustaka Setia, 1997), 118

Ibid, hlm.121

[10] Ibid, hlm. 120

Baca Juga: