Menu Tutup

Kedudukan Dan Fungsi Ma’rifat

Dari segi bahasa, ma’rifat berarti pengetahuan atau pengalaman, sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifat diartikan sebagai kearifan yang dalam akan kebenaran spiritual. Beberapa sufi mendefinisikannya sebagai perkembangan pengetahuan tentang Allah dalam kesadaran seseorang, yang berarti naiknya diri seseorang ke titik yang merealisasikan kemanusiaannya dengan semua dimensi dan nilai intrinsiknya.

Ma’rifat adalah cahaya yang dipancarkan kepada hati siapa saja yang dikehendaki-Nya. Ini merupakan pengetahuan hakiki yang datang melalui “penyingkapan” (kasyf), “penyaksian” (musyahadah), dan “cita rasa” (dzauq). Pengetahuan ini berasal dari Allah. Imam Ja’far al-Sadiq mengatakan, “Para ahli ma’rifat (arifin) berada bersama orang-orang, sedangkan hatinya bersama Allah. Jika hatinya melupakan Alah sekejab saja, ia akan mati karena kerinduannya kepada Allah.

Dzū al-Nūn al-Misrī menyebutkan ada tiga tingkatan Ma’rifat. Pertama, ma’rifat kalangan awam (orang banyak pada umumnya), mereka mengetahui tidak ada Tuhan selain Allah melalui pembenaran berita tentang Tuhan dalam pengajaran syahadat. Kedua, ma’rifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini, mereka mengetahui adanya Allah melalui tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran. Ketiga, ma’rifat kalangan para wali dan orang-orang suci, mereka mengenal Allah berdasarkan pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan dengan Tuhan. Ma’rifat tingkat ketiga inilah yang kemudian dipandang dalam lingkungan tasawuf sebagai ma’rifat hakiki dan tertinggi.

Junaid al-Baghdadi mengatakan: “ Seseorang tidak akan menjadi ‘arif sebelum ia menjadi bumi diinjak oleh orang yang saleh dan jahat, menjadi seperti awan yang menaungi semua makhluk, dan menjadi hujan menyirami segala sesuatu baik yang mencintainya maupun yang membencinya.”

Al-Qusyairi menjelaskan, bahwa hati adalah sarana untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, mencintai-Nya, dan melihat-Nya. Hati manusia mempunyai tiga kapasitas, yaitu:

(1) potensi untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, disebut qalb (hati), (2) potensi untuk mencintai Tuhan, disebut rūh, (3) potensi untuk melihat Tuhan, disebut sirr.

Al-Ghazali berpendapat bahwa kemampuan ma’rifat kepada Allah bersifat fitrah, dengan pengertian setiap manusia mempunyai potensi bawaan yaitu terletak pada hati. Setiap hati secara fitrah memiliki potensi mengetahui hakikat-hakikat dari segala yang ada karena hati itu adalah substansi rabbani yang mulia. Hati inilah pemikul amanah yang diletakkan Tuhan pada manusia, ma’rifat tersebut tidak lain dari ma’rifat dan tauhid. Hati itu menurut al-Ghazali memiliki dua gerbang, yaitu: (1) gerbang yang menghadap ke alam yang dapat ditangkap oleh indera badan, dan (2) gerbang yang menghadap ke alam gaib, yang tidak dapat ditangkap oleh indera badan. Oleh sebab itu, hati mempunyai dua potensi, yaitu: pertama potensi untuk memiliki pengetahuan yang masuk melalui gerbang pertama yang menghadap ke alam materi. Itulah pengetahuan indrawi yang diupayakan oleh para ilmuwan dan pemikir, dan kemudian pengetahuan-pengetahuan inderawi itu diolah, dianalisa, dan dipertimbangkan akal, sehingga dihasilkan pengetahuan rasional, termasuk pengetahuan rasional tentang Tuhan. Pengetahuan inderawi dan rasional yang dicapai melalui gerbang pertama ini masuk ke dalam kategori pengetahuan bisaa.

Kedua, potensi untuk memiliki pengetahuan yang masuk melalui grbang kedua yang menghadap ke alam gaib. Pengetahuan itu baru dapat diperoleh bila gerbangnya terbuka, atau bila semua hijab yang menutupnya tersingkap. Pengetahuan itu disebut pengetahuan kasy, pengetahuan laduni, pengetahuan wahyu, atau ma’rifat hakiki. Ma’rifat hakiki tentang Tuhan dan alam gaib menghasilkan keyakinan yang hakiki, yang tidak dapat digoncang atau digoyahkan oleh apapun, seperti tak tergoyahkannya keyakinan bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga.

Hati sebagai sarana untuk memperoleh ma’rifat hakiki, menurut al-Ghazali adalah bagaikan cermin yang harus diupayakan bersih, bening, dan tembus cahaya, serta dapat merekam dan menampakkan gambar-gambar dari realitas yangada. Pengetahuan adalah gambar-gambar dari realitas yang ada itu, baik realitas inderawi maupun realitas gaib. Untuk memperoleh ma’rifat hakiki harus melalui proses yang berlangsung secara kontinyu atau berulang-ulang. Semakin banyak keterbukaan hati maka semakin banyak hakikat atau rahasia ketuhanan yang diketahui sang ārif. Kendati bisa semakin banyak, ma’rifat hakiki tidak dapat menjadi ma’rifat yang penuh tentang Tuhan karena Tuhan itu tidak terbatas (infinite) sedangkan sang ārif sebagai manusia dan makhluk bersifat terbatas (finite). Al-Junaid al-Baghdadi mengisyaratkan hal itu dengan mengatakan: “Cangkir teh tidak akan bisa menampung segala air yang ada di laut.”

Sebagaimana halnya dengan mahabbah, ma’rifat kadang-kadang dipandang sebagai maqam dan kadang-kadang dianggap sebagai hal. Dalam pandangan al-Junaid al- Baghdadi, ma’rifat dianggap sebagai hal, sedangkan dalam Risalah Qusyairiyah, ma’rifat dianggap sebagai maqam. Sementara itu al-Ghazali dalm Ihya’ Ulumuddin memandang ma’rifat datang sebelum mahabbah, tetapi al-Kalabazi memandang bahwa ma’rifat datang sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa ma’rifat dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufí dengan Tuhan.

Adapun alat yang digunakan untuk ma’rifat adalah qalb (hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain alat untuk merasa adalah juga untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal adalah bahwa akal tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.

Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt. berikut:

Artinya: tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. (QS.Al-A’raf [7]: 143) Kemungkinan manusia mencapai tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan dapat pula dilihat dari isyarat ayat berikut ini:

Artinya: cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki (QS. An-Nur [24]: 35)

Baca Juga: