Menu Tutup

Kritik Atas “Madzhabku Rasulullah”

Pada bagian kedua pembahasan buku ini, telah disebutkan ada minimal lima argumentasi yang sering didengungkan oleh mereka yang menolak untuk bermadzhab. Dan baru mau bermadzhab jika madzhabnya adalah hadits sahih. Atau madzhabnya adalah ‘madzhab rasulullah’.

Pada bagian ini setiap argumentasi yang mereka bangun itu akan diperlihatkan titik-titik lemahnya. Khusus argumentasi kedua tentang madzhab hadits sahih, sebenarnya sudah ada sejumlah tulisan dari para ulama terkait pembahasan tersebut. Bahkan penulis sendiri juga sudah pernah menuliskannya dalam sebuah buku sederhana seperti ini juga.

Sebagaimana sudah ada dalam pembahasan yang telah lalu, argumentasi mereka antara lain; 1. Ketaatan hanya untuk Allah dan Rasul-Nya, 2. Hadits sahih adalah madzhab mujtahid, 3. Para pendiri madzhab melarang taklid, 4. Para shahabat saja tidak bermadzhab, dan 5. Madzhab itu sumber perpecahan.

Walaupun tepat sebelum bagian ini sudah ada kajian kritis terhadap ‘madzhabku rasulullah’, akan tetapi kritik tersebut baru ditujukan untuk pengistilahannya saja. Dan diletakkan pembahasannya sebelum ini karena lebih tepat pembahasannya jika dikaitkan dengan hakikat madzhab. Sedangkan pada bagian ini kritik ditujukan pada argumentasi-argumentasi yang melandasinya.

1. Kritik Pertama

Argumentasi pertama mengatakan bahwa ketaatan hanya untuk Allah dan Rasul-Nya. Sehingga menjadikan madzhab-madzhab tadi sebagai sasaran ketaatan adalah sebuah kesalahan. Ada sejumlah ayat yang mengisyaratkan bahwa memposisikan madzhab seperti itu persis seperti kelakuan umat terdahulu yang menjadikan para ulamanya sebagai tuhan-tuhan tandingan.

Argumentasi ini memiliki beberapa kelemahan. Diantaranya adalah melupakan beberapa ayat Al Qur’an yang memerintahkan taat kepada ulil amri, memerintahkan bertanya kepada yang ahli, dan membedakan antara yang berilmu dan tidak berilmu.

Kalau saja ayat-ayat tersebut juga dibaca dan dipahami dengan penjelasan tafsir para ulama, maka tidak akan mungkin kemudian menyimpulkan bahwa taat kepada madzhab itu sama dengan menjadikan para ulama madzhab sebagai tuhan-tuhan tandingan.

Karena taat kepada ulama madzhab itu caranya dan teknisnya berbeda dengan taat kepada Allah. Dan ketaatan kepada ulama madzhab juga tidak lain merupakan implementasi dari perintah Allah subhanahu wa ta’ala.

2. Kritik Kedua

Untuk mengkaji kritis argumentasi kedua ini sebenarnya penulis sudah memiliki buku tersendiri persis sesederhana buku kecil ini. Judulnya; Andai Saja Haditsnya Sahih, Itulah Madzhabku. Memang dengan ungkapan para ulama pendiri madzhab yang seperti ini, banyak yang beranggapan dengan simplistis bahwa jika haditsnya sahih, pasti itulah yang menjadi madzhab para ulama.

Bahkan para ulama mujtahid itu sendiri yang memerintahkan agar semua pendapat atau madzhabnya yang bertentangan dengan hadits sahih untuk dilemparkan saja tanpa perlu dilihat lagi.

Hanya saja yang sering luput dari para penghafal dan pendengung ungkapan ini adalah bahwa dalam penerapannya, ungkapan atau kaidah ini benarbenar memerlukan seperangkat piranti-piranti ijtihad yang tidak mudah. Makanya barangkali mereka akan kaget bahwa ternyata ada sekian jumlah hadits sahih yang disepakati oleh para ulama untuk tidak diamalkan kandungannya. Dan sebaliknya ada beberapa hadits yang dihukumi dhaif malah dijadikan landasan dalam beberapa hukum.

Mereka tidak akan kaget kalau sangat paham jawaban-jawaban atas pertanyaan; Bagaimana mengetahui haditsnya sahih ? Bagaimana mengetahui bahwa hadits sahih itu tidak terhapus hukumnya ? bagaimana mengetahui bahwa hadits sahih tersebut tidak dikecualikan oleh hadits yang lain ? Dan bagaimana-bagaimana lainnya yang tidak akan mungkin bisa mendapatkan jawabannya kecuali mereka yang benar-benar dianugerahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala ketrampilan besar bernama ijtihad dan segala pirantinya.

3. Kritik Ketiga

Memang benar bahwa para ’pendiri’ madzhab itu semuanya pada melarang taklid. Bahkan Imam Ahmad sendiri bukan saja melarang taklid kepada dirinya. Beliau juga melarang taklid kepada para ulama yang lain seperti Imam Syafi’i, Imam Al Auzai, dan lain-lainnya.

Namun realita pelarangan ini sama sekali lemah kalau dijadikan argumentasi untuk melarang bermadzhab.

Kelemahannya antara lain ;

  1. Realita lain menunjukkan bahwa para ulama yang mendengarkan larangan tersebut tetap bermadzhab dengan gurunya. Bahkan setiap madzhab memiliki ribuan ulama yang berafiliasi kepadanya. Apakah mereka tidak mengetahui larangan tersebut ?
  2. Larangan itu bukanlah ditujukan kepada semua orang. Akan tetapi hanya ditujukan untuk mereka yang sudah mampu berijtihad. Makanya dalam kitab-kitab ushul fiqih memang disebutkan bahwa taklid bagi mujtahid adalah haram. Misalnya Ibnu Qudamah sebagai salah satu ulama madzhab hanbali yang pasti tahu larangan imam Ahmad tersebut, dalam Ar Raudhah beliau mengatakan,

“Para ulama bersepakat bahwa seorang mujtahid bila berijtihad dan berhasil menyimpulkan satu hukum, maka tidak boleh baginya untuk bertaklid kepada mujtahid lainnya”

  1. Imam Ahmad sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Al Maimuni pernah melarang untuk berbicara tentang suatu permasalahan hukum kecuali jika dalam masalah tersebut ada imam panutannya.
  2. Bukti bahwa larangan taklid oleh Imam Ahmad itu bukan kepada semua orang adalah apa yang diceritakan ulama hanbali sendiri yaitu

Ibnu Taimiyah dalam majmu fatawanya

Imam Ahmad menyatakan dalam lebih dari satu kesempatan bahwa tidak boleh bagi yang mampu berijtihad untuk taklid. Beliau berkata, ‘Janganlah kalian taklid kepadaku, juga Malik, asy-Syafi’i, dan ast-Tsauri. Padahal imam Ahmad sangat mencintai asy-Syafi’i dan pernah memujinya, demikian pula Ishaq bin Rahawaih, Malik, ast-Tsauri dan yang lainnya dari para imam. Akan tetapi beliau memerintahkan orang-orang awam untuk meminta fatwa kepada Ishaq, Utsman bin Said, Abu Ubaid, Abu Tsaur, dan Abu Mush’ab.

4. Kritik Keempat

Untuk argumentasi keempat yang menyatakan bahwa para shahabat saja tidak bermadzhab, maka bisa dikatakan bahwa pemilik argumen ini tidak mengetahui konsep madzhab dan bermadzhab dan juga buta akan sejarah hukum Islam.

Maka cukuplah bagian ketiga buku ini tentang hakikat madzhab sebagai kritik atas argumentasi tersebut. Kalau sudah membacanya dengan pelan dan pikiran yang terbuka maka dia akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan dalam pikirannya.

5. Kritik Kelima

Tidak kita pungkiri bahwa ada banyak pertengkaran yang mana pemicunya adalah perbedaan. Dan tentu saja bukan hanya perbedaan dalam fiqih atau perbedaan madzhab saja. Ada banyak jenis perbedaan dalam kehidupan kita. Perbedaan pilihan presiden dan partai politik misalnya, bukankah itu semua menimbulkan banyak pertengkaran ?

Problemanya bukanlah terletak pada perbedaan itu. Karena penyatuan pada hal-hal yang beda adalah satu hal yang hampir bisa kita pastikan sebuah perkara mustahil. Maka solusinya adalah bagaimana mengelola sebuah perbedaan tersebut agar tidak sampai menjadi bibit perpecahan. Karena perpecahan memang diharamkan, akan tetapi perbedaan adalah sebuah keniscayaan.

Oleh karena itulah dalam mengelola perbedaan tersebut para ulama kemudian memunculkan semacam cabang ilmu baru dari ilmu fiqih bernama fiqih ikhtilaf. Di dalamnya akan dipelajari sebabsebab, jenis-jenis, hingga adab-adab ikhtilaf.

Dan penting juga untuk mengetahui bagaimana saat para ulama dulu berikhtilaf. Agar kita bukan saja membela pemikiran madzhab mereka, akan tetapi malah lupa untuk meneladani akhlak mereka. Untuk itu di bagian terakhir buku ini ada sedikit cerita nyata bagaimana perbedaan tidak menjadi faktor pemecah, tapi justru bisa menjadi kekayaan khazanah yang indah. Bacalah.

Sumber: Sutomo Abu Nashr, Madzhabmu Rasulullah? Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Indonesia, 2018

Baca Juga: