Menu Tutup

Maqam-maqam dalam Tasawuf

Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat den- gan taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakal, mahabah, ma’rifat dan ridha.

Taubah

Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai ma- cam pengertian. Secara literal taubat berarti kembali. Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah.

Menurut Abu Nashr Al Sarraj taubah terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya ahli haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.

“ dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Ses- ungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf [12]: 53)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasu- haa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kes- alahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah …” (QS. At Tahrim [66]: 8).

Wara’

Kata wara’ secara etimologi berarti menghindari atau menjauhkan diri. Dalam per- spektif tasawuf bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadis nabi, “Diantara (tanda) ke- baikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.

Adapun 2 perkara yang wajib ditinggalkan dalam wara’ adalah :

  1. Meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan terkait dengan hati (kesesatan, bid’ah, kefanatikan dan berlebih-lebihan)
  2. Meninggalkan segala sesuatu yang terkait dengan syubhat, yang dikhawatirkan  akan jatuh pada keharaman, dan meninggalkan kelebihan meskupun berupa bagian dari kehalalan.

Zuhud

Menurut Imam Ghazali, makna kata zuhud adalah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran. Menurut Abu Bakr Muham- mad saw Al-Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h be- rarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunya (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan pa- dahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT. Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan pu- tus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.

Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama, Kezuhu- dan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga naf- sunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan ber- sama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci. Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah. Sedangkan menu- rut Abu Nashr Al Sarraj ada tiga kelompok zuhud :

  1. Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong
  2. Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi Al zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari
  3. Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena Allah.

“… Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang- orang yang bertakwa…” (QS. An Nisa [4]: 77)

“…dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa- apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang- orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang berun- tung”. (QS. Al Hasyr [59]: 9)

Al Shabr

Al Sabr secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis Al Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Al- lah. Dalam perspektif tasawuf Al shabr berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi se- gala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna Al Shabr menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.

Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut saling untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.

Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha manusia sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang- orang yang dipilih-Nya. Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk peren- canaan (angan-angan) dan usaha.

“bersabarlah (hai Muhammad SAW) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan den- gan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mer- eka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An Nahl [16]: 127)

Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Shabr

  • Sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan seperti musibah, bencana, atau

Adapun contohnya apa yang terjadi pada nabi Ayyub, beliau ditinggalkan oleh istri dan anak-anaknya tercinta meninggal dunia, kemudian ditambah lagi dengan harta bendanya yang melimpah habis karena tertimpa bencana.

  • Sabar dalam meninggalkan perbuatan

Adapun contohnya, sebagaimana yang terjadi pada nabi Yusuf, Allah SWT menguji kesabaran Yusuf dengan ujian yang lebih berat, yaitu rayuan Siti Zulaikha, seorang wanita cantik lagi terpandang. Namun, dengan kesabaran dan keteguhan iman, Nabi Yusuf pun mampu melewati ujian ini dengan selamat. Padahal, saat itu Yusuf pun menyukai Zulaikha, dan suasana pun sangat mendukung untuk melakukan maksiat.

  • Sabar dalam menjalankan

Sedangkan contoh yang ketiga adalah kesabaran yang di miliki oleh nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, beliau berdua dengan tetap sabar dan taat atas perintah Allah, meskipun saat itu sang ayah akan menyembelih anaknya sendiri. Inilah bukti kesabaran dalam menjalani ketaatan atas perintah-Nya.

Syukur

Syukur secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, syakara yang berarti membuka segala nikmat, yakni gambaran dalam benak tetang nikmat dan menampak- kannya ke permukaan. Syukur berarti rasa terima kasih atas nikmat yang telah diberi- kan, sembari menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah SWT. Syukur tersusun dari ilmu, hal, dan amal perbuatan. Ilmu berarti mengetahui nikmat yang di- berikan dan pemberi nikmat. Hal berarti gembira atas nikmat yang telah diberikan.

Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shu- kur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang di- dapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya.

Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Se- hingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.

“dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; «Sesungguhnya jika kamu ber- syukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih».(QS. Ibrahim : 7)

Tawakkal

Tawakkal bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitab- nya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Allah.

“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barang- siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At Thalaaq [65]: 2-3)

“ Katakanlah: «Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang- orang yang beriman harus bertawakal.» (QS. At Taubah [9]: 51)

Ridha

Ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terha- dap apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut me- nyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.

Imam Ghazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipa- hami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.

Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepadaNya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.

Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sun- gai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah ke- beruntungan yang paling besar”.(QS. Al Maaidah [5]: 119)

Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Ridla Segala sesuatu yang menimpa kita adalah kehendak-Nya. Tugas kita sebagai ma- nusia hanyalah berusaha dan bertawakal kepada-Nya. Kita selayaknya senantiasa bersikap ridha kepada qadha dan qadarn-Nya walaupun terkadang pahit dan me- nyakitkan. Sikap ridha adalah cerminan kepaTuhan hamba kepada Penciptanya. Apapun bentuk pemberian-Nya merupakan yang terbaik untuk kita.

Baca Juga: