Menu Tutup

Mencubit sebagai Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan salah satu isu yang kompleks dan memerlukan perhatian serius. Banyak orang menganggap KDRT hanya berupa tindakan kekerasan fisik yang menyebabkan luka berat, namun faktanya, bentuk-bentuk KDRT bisa beragam, termasuk tindakan yang sering dianggap sepele, seperti mencubit. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), tindakan seperti mencubit bisa termasuk dalam kategori KDRT apabila dilakukan dalam konteks intimidasi atau menyebabkan penderitaan fisik, psikologis, atau seksual terhadap korban. Artikel ini akan membahas secara mendalam apakah tindakan mencubit bisa termasuk dalam KDRT dan bagaimana perlindungan hukum di Indonesia mengatur hal tersebut.

Definisi KDRT dan Kekerasan Fisik

Menurut Pasal 1 UU PKDRT, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga. Hal ini mencakup ancaman untuk melakukan tindakan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Kekerasan fisik, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 6 UU PKDRT, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Dalam hal ini, mencubit bisa digolongkan sebagai tindakan kekerasan fisik apabila dilakukan dengan intensi yang menyakiti atau menyebabkan rasa sakit pada korban.

Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik. UU PKDRT menjelaskan beberapa bentuk kekerasan yang termasuk dalam KDRT, antara lain:

  1. Kekerasan fisik – termasuk tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau luka, seperti memukul, mencubit, atau menendang.
  2. Kekerasan psikis – tindakan yang menyebabkan ketakutan, rasa tidak nyaman, atau penderitaan psikologis, seperti penghinaan atau ancaman verbal.
  3. Kekerasan seksual – segala bentuk pemaksaan hubungan seksual, termasuk pelecehan seksual atau pemerkosaan dalam lingkup rumah tangga.
  4. Penelantaran rumah tangga – tindakan yang mengabaikan tanggung jawab untuk memberikan kebutuhan dasar bagi anggota keluarga, termasuk kebutuhan ekonomi.

Dalam konteks ini, mencubit bisa dikategorikan sebagai kekerasan fisik jika dilakukan secara berulang atau dengan intensi tertentu, serta menyebabkan korban merasa sakit, takut, atau terintimidasi.

Perlindungan Hukum bagi Korban KDRT

Sejak diundangkannya UU PKDRT, pemerintah Indonesia telah memberikan payung hukum untuk melindungi korban KDRT. Korban kekerasan fisik, seperti akibat mencubit, berhak mendapatkan perlindungan hukum yang meliputi:

  1. Perlindungan fisik dan psikis dari pelaku.
  2. Layanan kesehatan untuk pemulihan kondisi korban.
  3. Bantuan hukum melalui pendampingan dalam proses peradilan.
  4. Pendampingan sosial dan psikologis untuk membantu korban menghadapi trauma.

Selain itu, korban juga dapat melaporkan kasus KDRT ke pihak berwajib untuk diusut tuntas dan diadili berdasarkan hukum yang berlaku.

Dampak Kekerasan Fisik Seperti Mencubit

Meskipun mencubit mungkin terlihat sepele, dampaknya terhadap korban tidak boleh dianggap remeh. Tindakan ini dapat menimbulkan:

  1. Luka fisik – Mencubit bisa menyebabkan memar, luka, atau rasa sakit yang signifikan.
  2. Dampak psikologis – Korban bisa merasa tertekan, takut, atau terintimidasi, yang berpotensi mengarah pada trauma berkepanjangan.
  3. Kerusakan hubungan – Tindakan seperti mencubit bisa merusak kepercayaan dan keintiman dalam hubungan rumah tangga, terutama jika dilakukan berulang kali.

Dalam beberapa kasus, kekerasan fisik yang dimulai dengan tindakan kecil seperti mencubit bisa meningkat menjadi bentuk kekerasan yang lebih parah. Oleh karena itu, penting bagi korban untuk segera melaporkan tindakan kekerasan ini agar bisa dihentikan dan mendapatkan bantuan yang diperlukan.

Kesimpulan

Mencubit, jika dilakukan dengan maksud menyakiti atau menimbulkan penderitaan, termasuk dalam kategori KDRT berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk kekerasan fisik yang dapat berdampak buruk pada kondisi fisik dan psikologis korban. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa tindakan kekerasan sekecil apapun dalam lingkup rumah tangga harus dihindari dan dilaporkan agar dapat diatasi dengan tepat. Pemerintah, melalui UU PKDRT, telah menyediakan perlindungan bagi korban, termasuk akses terhadap bantuan hukum, kesehatan, dan sosial.

Referensi:

  • Wati, Emy Rosna. “Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kabupaten Sidoarjo Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.” Halu Oleo Law Review, vol. 1, no. 1, 2017, pp. 86-104. Neliti.
  • Harwati, Tuti. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Perlindungan Anak.” UIN Mataram, 2020. UIN Mataram Repository.
  • Yusnita. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan.” IAIN Bengkulu, 2020. IAIN Bengkulu Repository.
  • “Pengantar Hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga.” Universitas Jayabaya, 2021. Jayabaya Repository.
  • Anam, Ahmad Sofwanul. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Hukum di Indonesia.” UIN Walisongo, 2015. Walisongo Repository.

Baca Juga: