Menu Tutup

Para Mujtahid Bermadzhab

Bagian ini meskipun merupakan pelengkap, akan tetapi bukan sekedar pelengkap. Bagian ini justru semakin memperkokoh satu teori yang sudah kita yakini sejak lama bahwa yang namanya bermadzhab adalah metode para ulama salaf kita dalam menjalankan syariat Allah subhanahu wa ta’ala.

1. Contoh Ulama Yang Bermadzhab

Kalau ingin mendapatkan koleksi nama-nama ulama yang bermadzhab dengan mudah, kita tinggal membuka saja buku-buku tentang thabaqat al fuqaha. Yang susah justru sebaliknya. Kita tidak pernah memiliki satu karya yang menghimpun koleksi nama-nama ulama yang tidak bermadzhab.

Dalam madzhab hanafi ada thabaqat al hanafiah seperti Al Jawahir dan lainnya. Dalam madzhab maliki juga banyak thabaqat. Ada As Syajarahnya ibnu Salim Makhluf atau yang lebih klasik ada tartib al madariknya Qadhi Iyadh.

Sedangkan madzhab syafi’i kita mengenal yang paling populer adalah thabaqatnya As Subki. Selain beliau ada banyak ulama lain yang juga menuliskannya. Ada An Nawawi, Qadhi Syuhbah, Ibnu Katsir dan lain-lainnya. Dan dalam madzhab hanbali yang paling populer adalah thabaqatnya Abu Ya’la dengan tambahan entri oleh Ibnu Rajab.

Sebagai gambaran, untuk thabaqat syafi’iyyah karya As Subki saja jumlah jilidnya ada sekitar sepuluh tebal-tebal. Itu belum ditambah dengan ulama syafi’iyyah abad Sembilan sampai lima belas ini. Artinya, ada berapa banyak ulama yang terdapat dalam satu madzhab ? kalau empat madzhab ? Dan itu semua tercatat dengan sangat rapi oleh para ulama kita yang bermadzhab itu.

Sedangkan apa yang disebutkan dalam tulisan ini tidak lebih hanya sebagai contoh saja. Dan sama sekali belum bisa dikatakan mewakili atau menjadi sampel misalnya.

a. Kalangan Fuqaha

Saking banyaknya tidak mudah untuk memilih siapa yang akan dituliskan sebagai contoh fuqaha yang bermadzhab. Yang jelas dalam kitab-kitab fiqih mereka, afiliasi terhadap madzhab tersebut memang benar-benar ditampakkan.

Istilah seperti Ashabuna, Indana, wa lana, dan lainlain menunjukkan dengan jelas afiliasi madzhab tersebut.

Tapi untuk sekedar mencontohkan, maka akan tetap disebutkan di sini beberapa nama.

Dalam Madzhab Hanafi ada; As Sarakhsi, As Samarqandi, Al Kasani dan Al Kamal Ibnul Humam.

Dalam Madzhab Maliki ada; Ibnu Abdil Barr, Ibnu Rusyd, Imam Syatibi yang semuanya berasal dari negeri yang kini telah tiada; Andalusia

Dalam madzhab Syafi’i ada; Imam Al Haramain Al Juwaini, Imam Ghazali, Imam Mawardi, Syaerozi,

Zarkasyi, dan lain-lainnya yang nama-nama ini walaupun bukan nama asli tetapi sering dipakai oleh orang-orang kita sebagai nama untuk anak-anaknya.

Dalam madzhab Hanbali ada; Ibnu Rajab, Ibnu Aqil, Ibnu Abi Ya’la, Ibnu Taimiyah, Ibnu al Qayyim, Ibnu Muflih, dan sekian ibnu-ibnu yang lain dan juga yang bukan ibnu sebagai ulama-ulama rujukan dalam madzhab hanbali.

b. Kalangan Mufassir

Kalau kita mengetahui tafsir dengan corak kebahasaan yang bagus, maka Al Kassyaf adalah salah satu rujukannya. Penulisnya yang dikenal dengan Zamakhsyari ini adalah penganut madzhab hanafi dalam fiqihnya.

Akan tetapi kalau ingin tafsir yang bercorak fiqih hanafi maka yang populer kita akan mengenal Abu Ja’far At Thahawi dan Abu Bakar Ar Razi yang lebih populer dikenal dengan Al Jassos itu.

Dalam madzhab maliki kita mengenal ada Al Qurthubi dengan karya tafsir Al Jami li ahkam al Qur’an dan Ibnul ’Arabi dengan ahkam Al Qur’annya. Atau yang agak kontemporer ada Ibnu ’Asyur dengan At Tahrirnya.

Dalam madzhab syafi’i kita mengenal Ibnu Katsir yang hampir karya tafsir beliau selalu disebut-sebut bahkan oleh mereka yang awam sekalipun. Ada juga Al Baidhawi dengan Al Anwarnya. Bahkan Al Mawardi sang komentator Mukhtashar al Muzani juga menulis tafsir dalam An Nukat.

Sedangkan dalam madzhab hanbali ada pakar tafsir seperti Mujiruddin Al Ulaimi Al Maqdisi dengan karyanya Fathurrahman fi tafsir Al Qur’an. Ada juga Allubab fu ’ulum al Kitab yang juga karya seorang mufassir bermadzhab hanbali yang bernama

Sirajuddin Umar Ad Dimasyqi.

c. Kalangan Ahlil Hadits

Para penganut ’madzhabku rasulullah’ barangkali bisa belajar kepada para ahlil hadits ini. Mereka yang sangat mengenal dengan segala teori dan praktik ilmu hadits ini ternyata juga bermadzhab. Tidak mentang-mentang tahu segala hadits, mereka kemudian merasa cukup modal untuk berijtihad. Bahkan pengetahuan haditsnya tentu saja jauh lebih tinggi dari pada yang mengklaim tidak bermadzhab demi ’madzhab rasulullah’ itu.

Dalam madzhab syafi’i saja kita akan menemukan sekian jumlah ulama hadits. Imam Syafi’i sebagai pendiri dikenal sebagai penulis Ar Risalah yang embrio ulum al hadits berasal dari kitab tersebut.

Kitab Ulum al Hadits yang lebih dikenal dengan muqaddimahnya adalah karya seorang hafidz bermadzhab syafi’i. Bahkan kemudian namanya selalu disandingkan dengan kitab tersebut. Dialah Al Hafidh Ibnu Shalah As Syafi’i.

Dan kebanyakan komentator atas kitab tersebut juga bermadzhab syafi’i. Kita mengenal ada Imam Nawawi, Ibnul Mulaqqin, Al Hafidh Al Iraqi, Ibnu Hajar Al Asqalani, Ad Dzahabi, As Sakhawi, As Suyuti, dan lain sebagainya yang semuanya bermadzhab syafi’i.

Dan di setiap madzhab fiqih yang empat itu pasti terdapat ahlil hadits yang berafiliasi ke masingmasing madzhab tersebut. Memang jumlahnya berbeda-beda. Akan tetapi bisa dipastikan selalu ada.

d. Kalangan Lainnya

Kalau kita tahu kitab ta’lim al muta’allim, maka kita tahu bahwa Az Zarnuji sebagai penulisnya itu bermadzhab Hanafi. Begitu juga kitab Tanbih Al Ghafilin, yang laris dibaca di pesantren itu, adalah karya seorang shufi bermadzhab hanafi; Abu Laits Nashr As Samarqandi.

Sang sufi besar Syaikh Abdul Qadir Jailani yang thariqahnya mendunia itu juga seorang yang bermadzhab. Madzhab beliau adalah hanbali.

Al Qadhi Iyadh yang kalimat-kalimat bijaknya sering dikutip itu juga seorang yang bermadzhab dalam fiqihnya. Beliau adalah seorang maliki.

2. Ulama Pindah Madzhab

Seperti sudah dibahas dalam bagian terdahulu, karena sifat ijtihadi yang terdapat dalam madzhab itulah, maka bermadzhab tidaklah menjadi kewajiban untuk terus menerus dalam satu madzhab saja. Meski ada sebagian kecil ulama yang mewajibkan konsistensi, akan tetapi dalam realita sejarah, baik di masa shahabat maupun jauh setelahnya, setiap muslim bebas untuk mengikuti ulama siapa pun.

Sebagai contoh, berikut ini ada beberapa nama ulama yang dalam sejarah tercatat pernah bermadzhab sebelumnya dengan madzhab yang berbeda dengan yang dianut hingga saat wafatnya.

Dari Hanafi ; Ada Ibnu Syahnah yang pindah ke Maliki dan Qadhi Abu Ya’la yang pindah ke Hanbali.

Dari Maliki ; ada Ibnu Abdil Hakam yang pindah ke syafi’i. Walaupun akhirnya pindah lagi ke maliki. Begitu juga dengan Ibnu Daqiq Al Ied, setelah menganut madzhab maliki beliau pindah menjadi seorang syafi’i.

Dari Syafi’i ; Abu Ja’far At Thahawi yang pindah ke Hanafi dan Ibnu Faris yang pindah ke Maliki

Dari Hanbali ; Ada Al Khatib Al Baghdadi, Al Amidi, Al Munziri, Ibnu Burhan, Ibnu Nashr yang semuanya pindah ke madzhab syafi’i.

Dan ada sekian para ulama lain yang juga berpindah dari satu madzhab ke madzhab yang lain.

3. Guru Murid Beda Madzhab

Bagian ini sebagai salah satu pembuktian bahwa perbedaan madzhab bukanlah sebab perpecahan. Sebab ada sekian contoh yang bisa kita saksikan dalam realita sejarah tentang perbedaan madzhab bukan saja sesama umat Islam pada umumnya. Akan tetapi perbedaan tersebut justru terjadi antara para guru dan murid-muridnya.

Cerita-cerita tersebut seharusnya membuka mata kita untuk kemudian meneladani mereka.

Problematika kita bukan pada perbedaannya, akan tetapi cara menyikapi perbedaan tersebut itulah yang harus kita carikan contohnya.

Di masa awal sekali kelahiran madzhab fiqih yang empat, kita tentu tidak lupa sejarah bergurunya Imam Ahmad kepada Imam Syafi’i. Kita juga tidak akan lupa dengan bergurunya Imam Syafi’i kepada Imam Malik. Atau perintah Imam Malik kepada Imam Syafi’i (yang keduanya saat itu madzhab fiqihnya masih Hijaz sentris) untuk belajar atau berguru kepada para ulama Iraq. Dan bergurulah akhirnya Imam Syafi’i kepada Imam Muhammad ibn Al Hasan As Syaibani Al Hanafi.

Dalam masa berikutnya, cerita yang sama juga terus kita jumpai. Abu Ja’far At Thahawi yang merupakan keponakan dari Imam Al Muzani misalnya,  beliau awalnya bermazhab Syafi’i. Dan saat bermadzhab syafi’i inilah beliau kemudian berguru dengan seorang ulama bermadzhab hanafi. Akhir ceritanya, beliau memantapkan diri untuk pindah madzhab ke madzhab Hanafi. Dan kemudian malah menjadi ulama besar dalam madzhab tersebut.

Al Imam Al Qarafi yang maliki itu, selama belasan tahun mampu bertahan untuk terus suhbah dengan seorang guru bermadzhab Syafi’i yaitu Syaikhul Islam Izzudin ibn Abdissalam. Dan kita tahu tokoh besar madzhab hanbali bernama Ibnu Taimiyah, beliau memiliki banyak murid. Dua diantaranya adalah Ad Dzahabi dan Ibnu Katsir yang merupakan ulama dalam madzhab Syafi’i. Dan ibnu Katsir yang Syafi’i itu, memiliki murid yang madzhabnya Hanafi yaitu Ibnu Abil ’Izz.

4. Madzhab Ulama Kontemporer

Para ulama besar yang rata-rata berasal dari timur tengah itu bisa kita identifikasi madzhabnya berdarkan asal negaranya. Meskipun bukan indikasi yang pasti, namun madzhab mayoritas masyarakat muslim negara tersebut lebih sering bisa menunjukkan madzhab ulama yang berasal darinya. Karena salah satu tradisi para ulama adalah tidak berbeda dengan madzhab masyarakatnya.

Maka kita tahu bahwa Dr Ar Raisuni itu bermadzhab maliki karena negara asalnya memang masyarakatnya bermadzhab maliki. Tentu ini juga didukung oleh pandangan-pandangan dalam karyakaryanya.

Begitu juga para ulama di Saudi. Karena mayoritas masyarakatnya bermadzhab hanbali, maka kemungkinan besar para ulama yang dikenal dari negara tersebut bermadzhab hanbali. Seperti Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin. Bahkan karena banyak yang susah mengidentifikasi madzhab beliau berdua, sampai-sampai ada yang bertanya langsung tentang madzhabnya. Beberapa web fatwa seperti islamweb menyebutkan bahwa mereka berdua bermadzhab hanbali. Bahkan dalam sebuah ruang diskusi virtual ada yang menyebutkan pengakuan langsung dari keduanya. Sayangnya penulis belum sempat menelusuri langsung kumpulan fatwa-fatwanya.

Sedangkan negara seperti Mesir dan Syiria memang agak susah menentukannya. Karena madzhab di kedua negara tersebut memang beragam. Kita hanya bisa mengetahuinya lewat karya-karya atau pengakuan langsung. Seperti yang diakui oleh Syaikh Dr. Wahbah Zuhaili dalam akhir karya monumentalnya Al Fiqh Al Islami. Beliau mengatakan, ”banyak yang mengira saya seorang hanafi. Padahal saya adalah seorang syafi’i”.

Sumber: Sutomo Abu Nashr, Madzhabmu Rasulullah? Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Indonesia, 2018

Baca Juga: