Pengertian dan Hukum Asuransi Syariah

Pengertian Asuransi Syariah

Dalam bahasa Arab asuransi disebut dengan “ta’min”, penaggung disebut dengan “muammin” sedangkan tertanggung disebut dengan “muamman lahu atau musta’min”.

Menurut terminologi asuransi syariah adalah sebagai salah satu cara untuk mengatasi terjadinya musibah dalam kehidupan, di mana manusia senantiasa dihadapkan pada kemungkinan bencana yang dapat menyebabkan hilangnya atau berkurangnya nilai ekonomi seseorang baik terhadap diri sendiri, atau perusahaan yang diakibatkan oleh meninggal dunia, kecelakaan, sakit dan usia tua.

Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian atara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang idharapkan, atau tanggung jwab hukum kepda pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yag timbu dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Dalam Ensiklopedia Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi adalah transaksi perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN MUI/ X/2011 disebutkan Asuransi Syariah (ta’min, takaful, tadhamun) adalah ysaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk asset atau tabarru’ memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan yang sesuai syariah).

Hal ini identik dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah pada Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa asuransi berdasarkan prinsip syariah adalah usaha saling tolong-menolong (ta’awuni) dan melindungi (takafuli) di antara para peserta melalui pembentukan kumpulan dana (dana tabarru’) yang dkelola sesuai prinsip syariah untuk menghadapi risiko tertentu.[1]

Dari definisi asuransi syariah di atas dapat disimpulkan, bahwa asuransi syariah adalah perjanjian antara dua belah pihak yaitu antara tertanggung dan penanggung, di mana pihak tertanggung membayarkan sejumlah premi kepada pihak penanggung sebagai pengalihan resiko jika terjadi peristiwa yang merugikan pihak  tertanggung, adapun premi yang dibayarkan akan di masukkan pada dana tabarru’ yaitu dana tolong-menolong antara semua peserta serta dana tabungan yang nantinya akan diinvestasikan oleh pihak penanggung melalui investasi yang sesuai syariah. Sehingga inilah yang menjadikan perbedaan yang mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.

Dasar Hukum Asuransi Syariah

Secara umum dasar hukum atau pengaturan operasional Asuransi Syariah sebagaimana perbankan syariah didasarkan pada dua kategori sumber hukum, yaitu hukum Islam dan Hukum Positif. Berikut akan diuraikan masing-masing kategori tersebut:

Hukum Islam

Sumber hukum dalam Islam yang utama dan disepakati ulama ada empat, yaitu al-Qur’an, asSunnah, Ijma dan Qiyas. Dalam kaitan operasional asuransi syariah ini tentu saja tidak ada ayat alQur’an dan al- Sunnah yang secara spesifik mengatur lembaga keuangan asuransi, demikian juga ketentuan Ijma’ dan Qiyas tidak ditemukan ketentuan-ketentuan yang bisa dijadikan rujukan.