Menu Tutup

Pengertian Gadai, Dasar Hukum Gadai Rukun dan Syarat, Ketentuan Umum, Pemanfaatan Barang Gadai, Pelunasan Hutang, Hikmah Gadai.

Pengertian Gadai

Dalam bahasa Arab, gadai adalah ar-Rahn. Rahn secara etimologis berarti Subut (tetap) dan Dawam (terus menerus). Adapun definisi Rahn secara terminologi adalah menjaga harta benda sebagai jaminan hutang agar hutang itu dilunasi (dikembalikan) atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikannya atau jika dia berhalangan untuk melunasinya.

Dasar Hukum Gadai

Hukum asal gadai adalah mubah atau diperbolehkan. Hal ini berdasarkan dalil al- Qur’an dan hadis, yaitu:

Al-Qur’an

Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang dipegang (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 283).

Hadis

Artinya: Aisyah Ra. berkata: “Rasulullah Saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR. Al-Bukhari).

Rukun dan Syarat Gadai

Rukun Gadai ada 5, yaitu:

  1. Yang menggadaikan (ar-Rahin). Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan.
  2. Penerima gadai (al-murtahin). Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).
  3. Barang Jaminan (al-marhun). Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
  4. Utang (marhun bihi). Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
  5. Sighat, ijab, dan qabul. Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.

Syarat-syarat Rahn

Dalam setiap akad, unsur dan rukunnya harus memenuhi syarat. Berkaitan dengan rahn, syarat bagi para pihak yang berakad sama dengan syarat dalam akad lainnya. Syarat tersebut adalah :

  1. Para pihak harus berakal
  2. Sudah baligh
  3. Tidak dalam paksaan atau terpaksa

Ketentuan Umum dalam Gadai

Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai, yakni:

Barang yang dapat digadaikan

Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjualbelikan karena tidak ada harganya atau haram untuk diperjualbelikan termasuk tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Hal yang demikian itu dikarenakan tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjualbelikan.

Barang Gadai adalah

Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, itu hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya sulit atau tidak dapat dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Oleh karena itu, jika dia telah membayar hutangnya maka barang tersebut kembali ke tangannya.

Barang Gadai dipegang pemberi hutang

Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi hutang selama masa perjanjian gadai, sebagaimana firman Allah Swt. “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah [2]: 283).

Pemanfaatan Barang Gadai.

Pihak pemberi hutang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadai. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berhutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak yang berhutang sepenuhnya. Adapun pemberi hutang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai hutang oleh pemilik barang.

Sebagaimana keputusan ulama dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 di Surabaya tanggal 29 Oktober 1927 M, memutuskan haram hukumnya untuk memanfaatkan barang jaminan. Misalnya penerima barang gadai berupa sebidang sawah memanfaatkan sawah tersebut untuk bercocok tanam tanpa syarat pada waktu akad, baik yang sudah menjadi kebiasaan atau dengan syarat maupun perjanjian tertulis, karena akad itu mengadung unsur mengambil manfaat dari hutang (riba).

Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi hutang memanfaatkan barang gadai, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan.

Biaya Perawatan Barang Gadai

Jika barang gadai butuh biaya perawatan misalnya hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing ataupun kuda maka:

  1. Jika barang itu dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
  2. Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan dan tidak boleh lebih.

Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai

Apabila pelunasan hutang telah jatuh tempo atau sesuai dengan waktu yang disepakati kedua belah pihak, maka orang yang berhutang berkewajiban melunasi hutangnya kepada pemberi hutang. Bila telah lunas, maka barang gadai wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, maka pemberi hutang berhak menjual barang gadai itu untuk menutup hutang tersebut. Apabila ada sisa dari penjualan dari barang tersebut maka sisa uang tersebut menjadi hak pemilik barang gadai. Sebaliknya, bila hasil penjualan barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya. Misalnya B memiliki hutang kepada C sebesar Rp.5.000.000,00. Lalu dia memberikan suatu barang yang nilainya ditaksir sekitar Rp.10.000,000,00 sebagai jaminan hutangnya. Kemudian sampai batas waktu yang telah dijanjikan, B tidak mampu untuk melunasinya. Maka barang jaminan itu boleh dijual. Jika barang itu terjual Rp. 8.000.000,00 maka C mengambil Rp.5.000.000,00 sebagai pelunasan atas piutangnya, dan sisanya Rp. 3.000.000,00 dikembalikan B. Namun jika hanya terjual dengan harga Rp. 4.000.000,00 maka orang yang menggadaikan masih menaggung sisa hutang Rp.1.000.000,00.

Hikmah Gadai.

Hikmah disyariatkan gadai disamping dapat memberikan manfaat atas barang yang digadaikan juga dapat memberikan keamanan bagi rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (penerima gadai), bahwa dananya tidak akan hilang. Karena jika rahin (penggadai) ingkar janji dalam pembayaran hutang, maka masih ada barang/aset yang dipegang oleh murtahin. Dari sisi rahin juga dapat memanfaatkan dana dari hutangnya untuk usaha secara maksimal sehingga membantu roda perekonomian menuju kesejahteraan yang lebih baik.

Baca Juga: