Pengertian Peradilan Agama
Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA. Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Unsur Peradilan dan Syarat Menjadi Hakim
Dalam literatur Fiqih Islam untuk berjalannya peradilan dengan baik dan normal, diperlukan adanya enam unsur, yakni:
- Hakim atau Qadhi
Yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.
- Hukum
Yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Hukum ini adakalanya dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim berkata saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang. Ada yang berpendapat bahwa putusan ilzam ini ialah menetapkan sesuatu dengan dasar yang menyakinkan seperti berhaknya seseorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang qadha istiqaq ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari ijtihad, seperti seorang tetangga mengajukan hak syuf’ah.
- Mahkum Bihi
Di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang diharuskan oleh qadhi si tergugat harus memenuhinya. Dan didalam qadha tarki ialah menolak gugatan. Karena demikian maka dapat disimpulkan bahwa mahkum bihi itu adalah suatu hak.
- Mahkum Alaih (si terhukum)
Yaitu orang yang dijatuhkan hukuman atasnya. Mahkum alaih dalam hak-hak syara’ adalah yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang diharapkan kepadanya. Baik tergugat ataupun bukan, seorang ataupun banyak.
- Mahkum Lahu
Yaitu orang yang menggugat suatu hak. Baik hak itu yang murni baginya atau terdapat dua hak tetapi haknya lebih kuat.
- Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan)
Dari pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima. Oleh karena itu, sesuatu yang bukan merupakan peristiwa tapi masuk dalam bidang ibadah tidak masuk dalam bidang peradilan.
Dalam hal pengangkatan seorang hakim dalam literature-literatur fiqih, para ahli memberikan syarat-syarat untuk mengangkat seseorang menjadi hakim, walau ada perbedaan dalam syarat-syarat yang mereka berikan, namun ada pula yang disepakati. Syarat yang dimaksudkan ada enam yaitu:
- Laki-laki yang merdeka.
- Berakal (mempunyai kecerdasan)
- Beragama Islam.
- Adil.
- Mengetahui Segala Pokok Hukum dan Cabang-Cabangnya.
- Mendengar, Melihat dan Tidak Bisu.[1]
Undang-Undang Peradilan Agama
Peradilan Agama telah ada sejak agama Islam datang ke Indonesia, itulah yang kemudian diakui dan dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura tahun 1882, di Kalimantan Selatan tahun 1937 dan di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan pada tahun 1957, dan namanya sekarang Pengadilan Agama. Penyatuan nama ini dilakukan dengan keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980 (ketika Menteri H. Alamsah Ratu Perwira Negara). Semuanya berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung RI dalam menyelenggarakan peradilan dan pembinaannya.[2]
Semula ada beberapa masalah yang melekat pada peradilan agama sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya melakukan kekuasaan kehakiman secara mandiri seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang NO. 14 tahun 1970 waktu itu yang menjadi induknya (yang kini tidak berlaku lagi), tapi kini dengan keluarnya Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama berarti telah hilanglah masalah susunan, masalah kekuasaan dan masalah acara peradilan agama yang selama ini dianggap menjadi masalah.[3] Waktu itu ketika Undang-Undang Peradilan lainnya telah selesai dibentuk sedangkan Undang-Undang Peradilan Agama belum, maka dalam rangka melaksanakan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (yang sekarang tidak berlaku lagi), maka Menteri Agama atas nama pemerintahan menyampaikan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama kepada DPR untuk disetujui.[4]
Setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) itu disetujui dan disahkan oleh presiden tanggal 29 Desember 1989 dengan demikian tercapailah:
- Terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, terutama yang disebut dalam Pasal 10 ayat 1 dan pasal 12.
- Terjadi pembaruan hukum dalam makna peningkatan dan penyempurnaan pembagunan hukum nasional di bidang Peradilan Agama.
- Peradilan Agama sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman akan mampu melaksanakan sendiri keputusan-keputusannya karena sudah mempunyai kelengkapan hukum acara dan perangkat hukum lainnya. Kini kedudukannya benar-benar sejajar dan sederajat dengan pengadilan-pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, militer, dan tata usaha Negara.
- Kini pengadilan agama telah mempunyai kewenangan yang sama di seluruh Indonesia kecuali peradilan Islam lainnya.
- Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama yang telah digunakan sebagai pegangan oleh semua pihak. Baik hakim maupun para pihak. Dengan demikian, berarti telah memungkinkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintika keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
- Lebih memantapkan usaha penggalian berbagai asas dan kaidah hukum melalui yurisprudensi dalam hubungan ini termasuk asas-asas dan kaidah hukum Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembangunan hukum nasional.
Undang-udang Peradilan Agama terdiri dari tujuh bab yakni 108 Pasal dengan meliputi: Bab I memuat tentang ketentuan-ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab II mengatur tentang susunan peradilan agama dan pengadilan tinggi agama, Bab III mengatur tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab IV menyebut soal biaya perkara yang diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bab V menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Bab VI mengenai ketentuan-ketentuan peralihan, Bab VII tentang ketentuan penutup. Di sini ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan dan Timur dan di bagian lain wilayah RI dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sejak Islam masuk ke Indonesia, Peradilan Agama telah ada. Tahun 1882 itu adalah tahun pengakuan Belanda sebagai penjajah terhadap peradilan agama. Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, berarti peradilan agama dalam melaksanakan tugasnya telah mandiri dalam melakukan kekuasaan kehakiman.[5]
[1]Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita), Cet. II, (Malang: UIN Malang Press, 2009), h. 13
[2]A. Basiq Djalil, Peradilan Agama DI Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 23
[3] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, Cet. II, (Jakarta: SInar Grafika, 2010), h. 14
[4] Farah Fitriani, Pengadilan Agama, http://farahfitriani.wordpress.com/2011/08/01/pengadilan-agama/
[5] Ibid, h. 25