Kelahiran pemikiran filsafat Barat diawali pada abad ke-6 SM yang ditandai dengan runtuhnya mitos dan dongeng-dongeng yang selama ini menjadi pembenaran terhadap setiap gejala alam. Manusia sudah mulai meninggalkan mitos-mitos yang bersifat irasional menuju pada pemikiran yang rasional, atau dalam bahasa lain disebut zaman peralihan dari mitos ke logos. Sebelum masa itu sering diceritakan bahwa alam semesta dan kejadian didalamnya terjadi berkat kuasa-kuasa gaib adikodrati, atau kuasa dari para dewa-dewi.
Pada periode Yunani Kuno ilmuwan merangkap sebagai seorang filsuf. Pada saat itu belum ada batas yang tegas antara ilmu dan filsafat. Berbeda dengan masa Pra-Yunani, masa Yunani Kuno memiliki ciri-ciri antara lain: Tidak percaya pada mitos, kebebasan berpendapat, tidak menerima pengalaman secara mutlak, tetapi menyelidiki sesuatu secara kritis.
Persoalan filsafat yang diajukan pada zaman ini adalah tentang keberadaan alam semesta, termasuk apa yang menjadi asal muasal alam raya ini. Tokoh pertama yang tercatat mempersoalkan adalah Thales (625-545 SM), diikuti oleh Anaximander (610-547 SM), Anaximenes (585-528 SM), dan Phytagoras (580-500 SM). Hasil pemikiran mereka sangat sederhana untuk ukuran saat ini. Walaupun demikian, untuk sampai pada kesimpulan tersebut masing-masing filsuf melakukan kontemplasi yang tidak singkat. Dari hasil perenungan yang mendalam itulah, Thales menyimpulkan bahwa asal muasal (inti) dari alam ini adalah air, Anaximander menyimpulkan apeiron, yakni suatu zat yang tidak terbatas sifatnya, Anaximanes menyimpulkan udara, sedangkan Phytagoras menyimpulkan bahwa bilangan merupakan intisari dari semua benda maupun dasar pokok dari sifat-sifat benda.
Zaman keemasan Yunanidiawali oleh tokoh pemikir Socrates (470-399 SM), yang kemudian diikuti Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Masa Socrates ini, mulai ada pergeseran fokus penyelidikan. Fokus penyelidikan tidak lagi pada alam, tetapi fokus kepada manusia. Karena filsafat alam dirasa tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Socrates tidak memberikan suatu ajaran yang sistematis, ia langsung menerapkan metode filsafat langsung dalam kehidupan sehari-hari. Metode berfilsafat yang diuraikannya disebut ‘dialektika’ yang berarti bercakap-cakap, disebut demikian karena dialog atau wawancara mempunyai peranan hakiki dalam filsafat Socrates. Socrates menyebutkan sendiri metode berfilsafatnya itu sebagai ‘maieutike tekhne’ (seni kebidanan), artinya fungsi filosof hanya membidani lahirnya pengetahuan.
Socrates tidak meninggalkan tulisan apapun. Ajarannya tidak mudah direkonstruksi karena bagian terbesar darinya hanya dapat diketahui dari tulisan-tulisan muridnya, yaitu Plato. Dalam dialog-dialog Plato, Socrates hampir selalu menjadi pembicara utama sehingga tidak mudah apakah pandangan yang dinisbatkan kepada Socrates adalah benar-benar pandangannya atau pandangan Plato sendiri.
Socrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Socrates menurunkan filsafat dari langit lalu mengantarkan ke kota-kota, dan kemudian memperkenalkan ke rumah-rumah. Karena itu dia didakwa ‘memperkenalkan dewa-dewi baru dan merusak kaum muda’, dan karenanya Socrates dibawa ke pengadilan Athena. Dewan juri menyatakan bersalah, meskipun sesungguhnya Socrates dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan Athena. Namun, tetap setia pada hati nuraninya dan memilih minum racun (sebagai vonis baginya) dihadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
Yang mau dituju Socrates dalam setiap pembicaraan dengan partner bicaranya adalah paham-paham atau definisi-definisi mendalam dan tahan uji tentang keutamaan etis. Untuk itu, ia memulai pembicaraannya dari hal-hal yang bersifat khusus-partikular tentang suatu keutamaan. Dari situ kemudian mengupayakan pengertian umum-universal mengenainya. Metode berfikir tersebut dikenal dengan metode berfikir indukif, yaitu dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya khusus ke pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum.
Dialog Socrates dimulai dengan contoh-contoh. Contohnya, ‘tindakan ini’ disini dan ‘tindakan itu’ disana disebut tindakan keutamaan. Jadi ini dan itu merupakan contoh-contoh khusus dan partikular dari tindakan keutamaan. Lantas Socrates bertanya, Apa yang merupakan kesamaan dari semua itu?, Adakah ‘yang umum’ yang merupakan hakikat dari tindakan keutamaan itu?. Dalam mengajukan pertanyaan ini, dia mengetahui bahwa jawaban final dan tuntas atas pertanyaan ini sebenarnya tidak dapat ia ketahui. Meskipun demikian, ia tetap saja melontarkannya untuk mendapatkan tanggapan dari partner-nya. Kesadaran ketidaktahuan ini disebut Ironi Socrates.
Jasa besar Socrates lainnya bagi pemikiran Barat adalah metode penyelidikannya yang dikenal sebagai metode elenchus, yang banyak diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok. Karena itu, ia dikenal sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral, dan juga filsafat secara umum.
Tokoh besar lainnya pada zaman ini adalah Plato (428-348 SM), ia merupakan murid dan pengagum Socrates. Maka tidak heran kalau pandangan filsafat-filsafatnya sangat dipengaruhi oleh gurunya tersebut. Kendatipun demikian, ia lebih rajin daripada gurunya dalam segi menulis. Dia sangat rajin menulis buku dengan gaya sastra yang tinggi. Kebiasaan menulisnya ini terus dilakukan sampai akhir wafatnya. Terbukti dengan karangannya yang terahir yaitu Nomoi (undang-undang) yang belum selesai ia tulis sampai ia menghembusan nafas terakhirnya ketika berumur 80 tahun.
Plato menyumbangkan ajaran tentang ‘idea’. Dengan ajarannya tersebut Plato tidak hanya berhasil menciptakan suatu sistem filsafat yang merangkum dan merangkul berbagai persoalan filosofis sebelumnya, melainkan juga membangun suatu kerangka pemikiran yang pengaruhnya luar biasa besar pada pemikiran filosofis di Barat berabad abad setelah wafatnya.
Plato menyatakan adanya dua dunia, yakni dunia ide-ide yang hanya terbuka bagi rasio kita (dunia rasional), dan dunia jasmani yang hanya terbuka bagi panca indera kita (dunia inderawi). Dalam dunia rasional tidak ada perubahan dan kenisbian. Perubahan dan kenisbian hanya ada dalam dunia inderawi yang memang memperlihatkan ketidakmantapan tanpa henti.
Ide-ide yang tertangkap oleh pikiran lebih nyata daripada objek-objek material yang terlihat oleh mata. Keberadan bunga, pohon, burung, manusia, dan sebagainya bisa berubah-ubah dan akan berahir. Adaun ide tentang bunga, pohon, burung, manusia, dan sebagainya tidak akan berubah dan kekal adanya. Karena itu, hanya ide yang merupakan realitas yang sesungguhnya dan abadi. Dunia inderawi adalah suatu realitas yang tidak tetap dan berubah-ubah. Adapun dunia ide adalah suatu realitas yang tidak bisa dilihat, dirasa, dan didengar, dunia yang benar-benar objektif dan berada diluar pengamatan manusia. Apa yang disebut pengetahuan sebenarnya hanya merupakan ingatan terhadap apa yang telah diketahuinya di dunia ide, konon sebelum berada di dunia inderawi, manusia pernah berdiam di dunia ide.
Ide tentang dua dunia tersebut membawa Plato pada pandangannya mengenai pra-eksistensi dan pasca-eksistensi jiwa. Menurutnya, sebelum berada dalam badan, jiwa sudah mengalami pra-eksistensi dimana ia menatap ide-ide. Namun kemudia ia mengalami inkarnasi dan masuk kedalam tubuh. Ia mengungkakan keadaan ini dengan dua kata Yunani yaitu soma-sema, maksudnya badan (soma) adalah kuburan (sema) bagijiwa. Kerinduan dan tujuan manusia sesudah kehidupannya didunia adalah terbebas dari penjara tubuh agar dapat kembali memasuki keadaan aslinya yakni pulang ke kerajaan ide-ide. Untuk mencapai tujuan itu, rasio mempunyai peranan besar. Kalimat terakhir ini mengantar kita memasuki ajaran Plato tentang etika, yakni tentang bagaimana mencapai hidup yang baik.
Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncaknya pada murid Plato yang bernama Aristoteles.Ia merupakan filosof pertama yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem meliputi: logika, filsafat alam, ilmu jiwa, metafisika (sebab pertama), etika, dan ilmu politik. Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu pengetahuan adalah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Kekurangan utama para filosof sebelumnya yang sudah menyelidiki alam adalah bahwa mereka tidak memeriksa semua penyebab.
Menurutnya tiap kejadian mempunyai empat sebab yang semuanya harus disebut, bila manusia hendak memahami segala sesuatu. Keempat penyebab itu menurut Aristoteles adalah:
- Penyebab material (material cause): inilah bahan darimana benda dibuat. Misalnya kursi dibuat dari kayu.
- Penyebab formal (formal cause): inilah bentuk yang menyusun bahan. Misalnya bentuk kursi ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi sebuah kursi.
- Penyebab efisien (efficient cause): inilah sumber kejadian, factor yang menjalankan kejadian. Misalnya tukang kayu yang membuat sendiri sebuah kursi.
- Penyebab final (final cause): inilah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya kursi dibuat supaya orang dapat duduk diatasnya.
Aristoteles mengatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru. Kedua metode itu disebut induktif dan deduktif. Induksi ialah menarik konklusi yang bersifat umum dari hal-hal yang khusus. Sedangkan deduktif ialah cara menarik konklusi berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tidak diragukan, yang bertolak dari sifat umum ke khusus. Induksi berangkat dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman, sedangkan deduksi sebaliknya terlepas dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman itu. Salah satu dari contoh deduksi adalah silogisme, yakni pengambilan kesimpulan berdasarkan dua pernyataan yang telah diberitahukan sebelumnya, misalnya:
Semua manusia akan mati
Sokrates adalah seorang manusia
Maka: Socrates akan mati
Dalam silogisme diatas, pernyataan pertama adalah premis umum atau mayor, pernyataan kedua adalah premis khusus atau minor, dan pernyataan ketiga adalah kesimpulan.
Sama seperti gurunya, Aristoteles juga senang menulis. Tulisan-tulisan Aristoteles cenderung lebih kaku, kering, seperti ensiklopedi. Apa yang ditulis pada umumnya merupakan hasil telaah lapangan. Tulisan-tulisan yang sampai kepada kita kebanyakan berupa naskah-naskah perkuliahan yang ia pergunakan di sekolahnya. Dari tulisan-tulisan inilah, berasal apa yang dikenal sebagai Corpus Aristotelicium, yakni kumpulan karangan Aristoteles mengenai organon (yang kemudian dikenal dengan istilah logika), tulisan mengenai ilmu pengetahuan alam, metafisika, berbagai tulisan tentang etika, dan buku-buku mengenai estetika. Maka tidak heran jika kemudian hari dia dikenal sebagai pelopor, penemu, atau bapa logika, kendati itu tidak berarti sebelum Aristoteles belum ada logika.
Aristoteles membagi filsafat atau ilmu pengetahuan menjadi lima, yaitu:
- Logika: tentang bentuk susunan pikiran
- Filosofia teoritika yang diperinci lagi menjadi:
- Fisika : tentang dunia materiil (ilmu alam dan sebagainya)
- Matematika : tentang barang menurut kualitasnya
- Metafisika : tantang ‘ada’
- Filosofia praktika: tentang kehidupan kesusilaan yang diperinci menjadi:
- Etika : tentang kesusilaan dalam hidup perseorangan.
- Ekonomia : tentang kesusilaan dalam hidup kekeluargaan
- Politika : tentang kesusilaan dalam hidup kenegaran
- Filosofia poetika/ aktiva (pencipta)
- Filsafat kesenian
Sesudah Aristoteles meninggal, ajarannya diteruskan oleh murid-muridnya yang kemudian termasuk dalam apa yang disebut sebagai madzhab Paripatetik. Dilihat dari sudut dampak pemikirannya terhadap sejarah filsafat, Aristoteles memang bersaing dengan Plato. Pada abad pertengahan, filsafat Aristoteles menjadi fundamental bagi ajaran Skolastik. Pada zaman ini,karya-karya filsafat Aristoteles diangap sebagai ‘tidak mungkin sesat’. Namun angapan ini kelak didobrak pada zaman modern dengan munculnya seorang filosof Jerman yang bernama Immanuel Kant (1724-1804) yang dijuluki sebagai der Alleszermalmer (sang penghancur segala sesuatu).
Referensi:
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Bernadien, Win Usuludin, Membuka Gerbang Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Ermi, Suhasti, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Prajna Media, 2003.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat II, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Ghazali, Bachri, dkk., Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN, 2005.
Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1999.
Hamersma, Harry, Pintu Masuk ke DUnia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Hasan, Erliana, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.