Menu Tutup

Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah

Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh berbeda dengan dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomi Islam secara komprehensif dan bersifat umum.

Hal ini disebabkan karena kajian Asuransi Syariah merupakan turunan dari konsep ekonomika Islami. Begitu juga dengan asuransi, harus dibangun dengan pondasi dan prinsip dasar yang kuat serta kokoh, Adapun prinsip asuransi syariah antara lain:

Tauhid. Prinsip tauuhid adalah dasar utama dari setiap bangunan yang ada dalam syariah Islam.

Setiap bangunan dan aktivitas kehidupan manusia harus didasarkan pada nilai-nilai tauhid. Artinya bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilainilai ketuhanan. Tauhid sendiri dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Keadilan. Prinsip kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah dan perusahaan asuransi.

Nasabah asuransi harus memposisikan pada kondisi yang mewajibkannya untuk selalu membayar iuran uang santunan (premi) dalam jumlah tertentu pada perusahaan asuransi dan mempunyai hak untuk mendapatkan sejumlah dana santunan jika terjadi peristiwa kerugian. Perusahaan asuransi yang berfungsi sebagai lembaga pengelola dana mempunyai kewajiban membayar klaim (dana santunan) kepada nasabah.

Di sisi lain keuntungan (profit) yang dihasilkan oleh perusahaan asuransi dan hasil investasi dana nasabah harus dibagi sesuai dengan akad yang disepakati sejak awal. Jika nisbah yang disepakati antara kedua belah pihak 40:60, maka realitanya pembagian keuntungan juga harus mengacu pada ketentuan tersebut.

Tolong-menolong. Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus didasari dengan semangat tolong menolong (antara anggota.

Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan musibah atau kerugian.

Kerja sama. Prinsip kerjasama merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi Islam. Manusia sebagai makhluk yang mendapat mandat dari Khaliqnya untuk mewujudkan perdamaian dan kemakmuran di muka bumi mempunyai dua wajah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, yaitu sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial.

Kerjasama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan antara kedua pihak yang terlibat, yaitu antara anggota (nasabah) dan perusahaan asuransi. Dalam operasionalnya, akad yang dipakai dalam bisnis asuransi dapat menggunakan konsep mudhârabah atau musyarakah. Konsep mudhârabah dan musyarakah adalah dua buah konsep dasar dalam kajian ekonomika Islami dan mempunyai nilai historis dalam perkembangan keilmuan.

Amanah. Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode.

Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah dan melalui auditor public.

Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi. Seseorang yang menjadi nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan tidak memanipulasi kerugian yang menimpa dirinya. Jika seorang nasabah asuransi tidak memberikan informasi yang benar dan memanipulasi data kerugian yang menimpa dirinya, berarti nasabah tersebut telah menyalahi prinsip amanah dan dapat dituntut secara hukum.

Kerelaan. Prinsip kerelaan dalam ekonomika Islami antara kedua belah pihak bertransaksi atas dasar kerelaan bukan paksaan. Dalam bisnis asuransi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap anggota asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial.

Dana sosial memang betul-betul digunakan untuk tujuan membantu anggota asuransi yang lain jika mengalami bencana kerugian.

Tidak mengandung riba. Pada asuransi syariah, masalah riba dieliminir dengan konsep mudhârabah (bagi hasil).

Seluruh bagian dari proses operasional asuransi yang di dalamnya menganut sistem riba, digantikannya dengan akad mudhârabah  atau akad lainnya yang dibenarkan secara syar‟i. Baik dalam penentuan bunga teknik, investasi, maupun penempatan dana ke pihak ketiga, semua menggunakan instrumen akad syar‟i yang bebas dari riba.

Tidak mengandung perjudian. Syafi’i Antonio mengatakan bahwa unsur maysir (judi) artinya adalah salah satu pihak yang untung, namun di lain pihak justru mengalami kerugian.

Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum reversing period, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja.

Juga adanya unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana untung rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan. Dalam asuransi syariah (misalnya di Takaful), reversing Priod bermula dari awal akad di mana setiap peserta mempunyai hak untuk mendapatkan cash value, kapan saja, dan mendapatkan semua uang yang telah dibayarkannya kecuali sebagian kecil saja. Yaitu, yang telah diniatkan untuk dana tabarru’ yang sudah dimasukkan ke dalam rekening khusus peserta dalam bentuk tabarru’ atau dana kebajikan.

Masalah asuransi syariah di atas dapat selesai dengan adanya kebenaran dalam akad. Asuransi syariah telah mengubah akadnya dan membagi dana peserta ke dalam dua rekening khusus yang menampung dana tabarru’ yang tidak bercampur dengan rekening peserta, maka reversing period di asuransi syariah terjadi sejak awal.

Kapan saja peserta dapat mengambil uangnya karena pada hakikatnya itu adalah uang mereka sendiri, dan nilai tunai sudah ada sejak awal tahun pertama ia masuk. Karena itu, tidak ada maisir, tidak ada gambling, karena tidak ada pihak yang dirugikan.

Tidak mengandung gharar (Ketidakpastian). Sesuai dengan syarat-syarat akad pertukaran, maka harus jelas berapa pembayaran premi dan berapa uang pertanggungan yang akan diterima. Masalah hukum syariah disini muncul karena kita tidak bisa menentukan secara tepat jumlah premi yang akan dibayarkan, sekalipun syarat-syarat lainnya, penjual, pembeli, ijab kabul, dan jumlah uang pertanggungan (barang) dapat dihitung.

Jumlah premi yang akan dibayarkan amat tergantung pada takdir, tahun berapa kita meninggal atau mungkin sampai akhir kontrak kita tetap hidup. Disinilah gharar terjadi.

Dalam Asuransi Syariah, masalah gharar ini dapat diatasi dengan mengganti akad tabaduli dengan akad takafuli (tolongmenolong) atau akad tabarru’ dan akad mudhârabah (bagi hasil). Dengan akad tabarru’, persyaratan dalam akad pertukaran tidak perlu lagi atau gugur.

Sebagai gantinya, maka asuransi syariah menyiapkan rekening khusus sebagai rekening dana tolong-menolong atau rekening tabarru’ yang telah diniatkan (diakadkan) secara ikhlas setiap peserta masuk asuransi syariah.

Dari prinsip-prinsip di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa asuransi syariah mempunyai sembilan prinsip utama yang digunakan sebagai dasar beroperasinya asuransi syariah yaitu: tauhid, keadilan, tolong-menolong, kerja sama, amanah, kerelaan, larangan riba, maysir dan gharar, yang mana semuanya berdasarkan syari’at Islam.

Prinsip ini menjadikan para nasabah atau peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan lainnya saling menjamin dan menanggung risiko. Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi syariah adalah akad saling menanggung (takafuli) bukan akad saling menukar (tabaduli) yang selama ini digunakan oleh asuransi konvensional.

Sumber: Muhammad Ajib, Asuransi Syariah, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019.

Baca Juga: