Menu Tutup

Riba Koperasi Simpan Pinjam

Salah satu solusi untuk menguatkan ekonomi rakyat adalah dengan mendirikan koperasi. Karena prinsip koperasi adalah kebersamaan dan kegotongroyongan, dimana koperasi itu didirikan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Namun meski demikian, dalam prakteknya kadang koperasi pun melakukan hal-hal yang ribawi, justru kepada anggotanya sendiri.

Di antara bentuk praktek ribawi yang sering dijalankan oleh koperasi adalah produk simpan pinjam. Biasanya koperasi punya uang yang merupakan tabungan dari para anggotanya. Lalu tabungan itu dipinjamkan kepada siapa saja dari anggota yang membutuhkan uang, baik terkait dengan kebutuhan konsumtif ataupun produktif.

Lalu yang menjadi titik masalah adalah pada akadnya, yaitu keharusan memberikan ‘uang jasa’ atas pinjaman. Sudah pasti  uang jasa ini tidak akan dinamakan bunga, namun sering diberi istilah lain, yang sekiranya orang tidak menyangkanya sebagai riba. Misalnya diberi-nama uang administrasi, atau fee keanggotaan, atau fee pencairan dan seterusnya.

Tentu saja penyebabnya bukan semata-mata ingin memeras anggota, tetapi boleh jadi justru lantaran ketidak-tahuan atau keawaman terhadap ilmu syariah.

Namun bila prinsip riba terlaksana, sebenarnya apapun istilah yang digunakan, tetap saja termasuk akad ribawi yang hukumnya haram. Dan prinsip riba sederhana saja, yaitu pinjam uang yang ada kewajiban untuk memberikan tambahan pada saat pengembaliannya.

Namun kadang banyak orang yang berasalan bahwa fee atau uang jasa itu bukan termasuk riba, dengan alasan-alasan berikut ini :

1. Dengan Keridhaan Peminjam

Banyak orang mengira riba itu menjadi halal, asalkan peminjamnya ridha dan ikhlas. Seolah-olah ‘illat riba berada pada ketidak-ikhlasan peminjam.

Padahal ‘illat haramnya riba bukan pada faktor keridhaan atau keikhlasan. Sebab dosa riba dan laknat Allah juga terkena kepada mereka yang diuntungkan dari praktek riba. Sementara orang yang diuntungkan dari praktek riba tentu saja ridha dan ikhlas.

Dari Jabir radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama. (HR. Muslim)

2. Tidak Memberatkan

Banyak juga orang mengira bahwa ‘illat haramnya riba itu semata-mata karena riba itu memberatkan peminjam, sehingga dianggap sebagai perbuatan zalim dan menindas. Lalu bila tidak ada unsur pemberatan bagi peminjam, lantas riba menjadi halal.

Seringkali logika ini memanfaatkan ayat Al-Quran yang berbunyi :

يََ أي  هَا الَّذِينَ آمَنواْ لاَ تََْكُلواْ الربَِ أضْعَافاا  مضَاعَفَ اة

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (QS. Ali Imran : 130) 

Padahal ayat ini masih harus disempurnakan lagi dengan ayat lainnya, yang secara tegas mengharamkan sisa-sisa riba.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang

beriman.(Al-Baqarah : 278-279) 

3. Kepada Anggota Sendiri

Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa riba itu tidak berlaku keharamannya apabila dilakukan atas uang sendiri. Dan dari uang yang dipinjam itu  sebenarnya ada hak anggota yang menjadi milik bersama.

Alasan ini punya kelemahan, yaitu ketika uang itu bukan 100% milik sendiri. Misalnya A sebagai anggota koperasi punya uang tabungan di koperasi 10 juta. Lalu dia pinjam kepada koperasi 20 juta. Memang benar sebagian dari uang itu adalah hak miliknya sendiri, namun sisanya tetap saja milik orang lain.

Oleh karena itu praktek ini tetap termasuk riba yang diharamkan. Karena tetap saja ada unsur pinjam uang orang lain dan ada kewajiban mengembalikan dengan kelebihan.

Lain halnya bila seseorang punya tabungan sendiri sebesar 10 juta. Lalu dia ‘meminjam’ dari uang pribadinya itu sebesar 5 juta. Dan ketika mengembalikannya, ditambahkanlah 2 juta lagi sehingga menjadi 7 juta. Praktek ini bukan riba karena tidak ada pihak kedua yang dipinjam uangnya.

Dia hanya pinjam uangnya sendiri, yang sebenarnya secara akad tidak termasuk kategori pinjam. Sebab tidak ada istilah pinjam kalau harta itu miliknya sendiri.

Sumber: Ahmad Sarwat, Kiat-kiat Menghindari Riba, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019

Baca Juga: