Menu Tutup

Rukun Jual Beli

Sebuah transaksi jual-beli membutuhkan adanya rukun sebagai penegaknya, dimana tanpa adanya rukun, maka jual-beli itu menjadi tidak sah hukumnya.

Umumnya para ulama sepakat bahwa setidaknya ada tiga perkara yang menjadi rukun dalam sebuah jual-beli, yaitu :

  • Adanya pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi syarat
  • Adanya akad atau transaksi
  • Adanya barang atau jasa yang diperjualbelikan.

Kita bahas satu persatu masing-masing rukun jualbeli untuk lebih dapat mendapatkan gambaran yang jelas.

1. Penjual dan Pembeli

Para ulama sepakat menetapkan bahwa syarat yang paling utama yang harus dimiliki oleh seorang penjual dan juga pembeli adalah yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku yang harus berakal dan baligh.

a. Berakal

Yang dimaksud dengan berakal atau dalam fiqih disebut ‘aqil (عاق ل) adalah warasnya akal seseorang, dalam arti keduanyaa bukan orang yang gila, alias tidak waras.

Bila salah satu dari keduanya, entah itu si pembeli atau si penjual, termasuk orang yang dinyatakan tidak sehat akalnya, maka transaksi jual-beli yang terjadi dianggap tidak sah secara hukum syariah. Apalagi bila masing-masing penjual dan pembeli sama-sama orang gila, tentu lebih tidak sah lagi.

Barangkali ada yang heran, bagaimana orang yang tidak waras bisa memiliki harta untuk dijual atau uang untuk membeli?

Jawabnya sederhana saja, bahwa dalam syariat Islam, meski seseorang dinyatakan tidak waras, namun secara hak kepemilikan atas harta tetap ada jaminan.

Misalnya dalam suatu pembagian waris, bila salah satu ahli waris adalah orang gila, maka tidak berarti gugur haknya. Orang gila tetap menjadi ahli waris yang sah. Dalam Fiqih Mawaris, diantara hal-hal yang menggurukan hak seorang ahli waris atas harta warisan tidak termasuk urusan kewarasan akal. Yang menggugurkan misalnya masalah agama yang berbeda, juga bila calon ahli waris membunuh nyawa pewarisnya, atau karena ahli waris seorang budak.

Tapi bila ahli waris atau pewaris hanya sekedar gila atau tidak waras, maka hak-hak atas hartanya dalam syariat Islam tetap terjaga. Namun dia tidak boleh bertransaksi atas harta miliknya, kecuali walinya yang kemudian bertanggung-jawab.

Demikian juga orang gila berhak menerima pemberian, hibah, wasiat atau hadiah berupa harta benda. Namun demi menjaga hak-haknya, syariat Islam punya sistem untuk melindungi hak-hak orang gila atas harta yang menjadi haknya itu, dengan cara tidak dibenarkannya orang gila membelanjakan hartanya.

b. Baligh

Banyak anak kecil yang belum baligh tetapi menerima harta warisan yang sangat besar dari ayahnya. Misalnya seorang milyuner meninggal dunia dan dia punya anak laki-laki satu-satunya usia delapan tahun yang belum baligh. Maka secara hukum Islam, balita ini mewarisi harta yang amat banyak dari ayahnya.

Seandainya suatu hari dia muncul di sebuah pameran otomotif sambil membawa uang sekoper untuk membeli sedan mewah yang harganya 10 milyar, maka transaksi jual-beli mobil itu tidak sah dilakukan.

Karena jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh tidak sah, kecuali bila yang diperjual-belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil, seperti jajanan anak SD.

Dalam hal ini anak yatim yang kaya raya itu butuh hadhanah atau pemeliharaan dari orang yang yang ditetapkan secara hukum. Maka atas seizin atau sepengetahuan wali tersebut, jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.

Namun apabila anak kecil hanya ditugaskan untuk berjual-beli oleh orang tuanya, maka para ulama membolehkan. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah toko, jual-beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau suruhan saja.

c. Tidak Harus Muslim

Para ulama sepakat bahwa syarat sah jual-beli yang terkait dengan penjual atau pembeli, tidak ada terkait dengan masalah agama dan keimanan.

Maka seorang muslim boleh berjual-beli dan bermuamalah secara harta dengan orang yang bukan muslim. Dan hal itu juga dilakukan oleh Rasulullah SAW, ketika beliau menggadaikan baju besi miliknya kepada tetangganya yang merupakan seorang Yahudi.

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW wafat dan baju besinya masih menjadi barang gadai pada seorang yahudi dengan 30 sha’ gandum. (HR. Bukhari)

2. Ijab Qabul

Rukun yang kedua dari jual-beli adalah adanya ijab qabul, yaitu sighat yang menyatakan keridhaan atas akad atau kesepakatan antara penjual dan pembeli.

Dan shighat itu terdiri dari dua unsur, yaitu ijab dan qabul. Hanya saja ada sedikit perbedaan antara jumhur ulama dengan mazhab Al-Hanafiyah tentang mana yang disebut ijab dan mana yang disebut qabul. ▪ Jumhur Ulama

Menurut jumhur ulama, yang disebut dengan ijab adalah : ا

Apa saja yang timbul dari pihak penjual yang menunjukkan keridhaannya

Misalnya seorang penjual mengatakan kepada pihak pembeli,”Saya jual buku ini kepada Anda dengan harta 10 ribu rupiah tunai”.

Sedangkan qabul menurut jumhur ulama adalah : Apa saja yang timbul dari pihak pembelil yang menunjukkan keridhaannya

Ketika penjual mengucapkan ijabnya kepada pembeli seperti di atas, maka pihak pembeli menjawabnya dengan sighat yang disebut qabul,”Saya beli buku yang Anda jual dengan harga tersebut tunai”.

▪ Mazhab Al-Hanafiyah

Namun mazhab Al-Hanafiah agak berbeda dalam menetapkan yang mana ijab dan yang mana qabul. Dalam pandangan mazhab ini, ijab adalah lafadz yang diucapkan terlebih dahulu, siapa pun yang mengucapkannya, apakah pihak penjual atau pun pihak pembeli. Sedangkan qabul adalah lafadz yang diucapkan berikutnya setelah lafadz ijab, baik diucapkan oleh penjual atau pun oleh pembeli.

a. Tidak Boleh Bertentangan

Agar ijab dan qabul menjadi sah, para ulama sepakat bahwa antara keduanya tidak boleh terjadi pertentangan yang berlawanan, baik dalam masalah barang, harga atau pun dalam masalah tunainya pembayaran. ▪ Berbeda Barang

Contoh ijab qabul yang tidak sah, karena berbeda barang adalah ketika penjual berkata,”Saya jual buku ini dengan harga 10 ribu”, lalu pembeli berkata,”Saya beli tas ini dengan harga 10 ribu”. Ijab dan qabul dalam akad ini bertentangan dalam masalah harga, maka jual-beli tidak sah.

  • Berbeda Harga

Contoh ijab qabul yang tidak sah, karena berbeda harga adalah ketika penjual berkata,”Saya jual buku ini dengan harga 10 ribu”, lalu pembeli berkata,”Saya beli buku ini dengan harga 5 ribu”. Ijab dan qabul dalam akad ini bertentangan dalam masalah harga, maka jual-beli tidak sah.

  • Berbeda Waktu Pembayaran

Contoh ijab qabul yang tidak sah, karena berbeda waktu pembayaran adalah ketika penjual berkata,”Saya jual buku ini dengan harga 10 ribu tunai”, lalu pembeli berkata,”Saya beli buku ini dengan harga 10 ribu dengan cara hutang”. Ijab dan qabul dalam akad ini bertentangan dalam masalah harga, maka jual-beli tidak sah.

b. Sighat Madhi

Dalam bahasa Arab, sighat akad harus diucapkan dalam bentuk madhi, atau sesuatu perbuatan yang sudah lewat waktunya. Misalnya kata bi’tuka ( بعِْتكَُ) yang berarti,”Aku telah menjual kepadamu”, atau lafadz isytaraitu (اشتريت) yang berarti Aku telah membeli.

Tujuan penggunaan bentuk lampau (past) adalah untuk memastikan bahwa akad ini sah dan sudah terjadi keputusan antara kedua belah pihak. Barangkali dalam bahasa populer sering disebut dengan istilah deal. Maka sighat itu diucapkan dalam bentuk lampau.

Dan ijab atau qabul tidak boleh dinyatakan dalam bentuk istifham atau bentuk pertanyaan. Misalnya penjual bertanya kepada pembeli,”Maukah kamu beli buku ini dengan harga 10 ribu?”. Maka lafadz ijab ini tidak sah.

Ijab Qabul juga tidak sah apabila hanya disampaikan dalam bentuk masa yang akad datang. Misalnya penjual berkata,”Nanti saya akan jual buku ini kepadamu”. Atau pembeli berkata,”Kapan-kapan akan saya beli buku ini”.

c. Tidak Butuh Saksi

Umumnya para ulama sepakat bahwa akad jualbeli tidak disyaratkan adanya saksi.

  1. Boleh Dengan Tulisan atau Isyarat

Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya.

Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem mu’athaah, (معاطاه) yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.

3. Barang atau Jasa

Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat :

a. Suci

Para ulama menegaskan bahwa benda yang diperjualbelikan harus benda yang suci, dan bukan benda najis atau mengandung najis.

▪ Dalil

Ada banyak dalil tentang haramnya jual-beli benda yang tidak suci, diantaranya adalah sabda Rasululla SAW :

Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)

Selain itu juga ada hadits lain yang menjadi dasar haramnya jual-beli benda najis. Rasulullah SAW telah bersabda :

Allah SWT telah melaknat orang-orang Yahudi, lantaran telah diharamkan lemak hewan, namun mereka memperjual-belikannya dan memakan hasilnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun dalam detail-detailnya, ternyata para ulama agak sedikit bervariasi ketika menetapkan tentang boleh tidaknya benda najis diperjual-belikan. Di antara mereka ada yang mengharamkan secara mutlak

Dan ada yang juga kalangan yang memilah terlebih dahulu. Mereka hanya mengharamkan jual-beli sebagian dari benda najis, namun menghalalkan sebagian lainnya, bila memang bermanfaat dan dibutuhkan.

▪ Kotoran Hewan

Dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah pada dasarnya benda najis itu haram untuk diperjualbelikan, namun bila bisa diambil manfaatnya, hukumnya boleh.

Kotoran hewan adalah benda najis, maka haram diperjual-belikan. Namun bila yang diperjual-belikan adalah tanah, namun tercampur kotoran hewan, dalam pandangan mazhab ini hukumnya boleh. Karena yang dilihat bukan kotoran hewannya, melainkan tanahnya.

Artinya, kalau semata-mata yang diperjual-belikan adalah kotoran hewan, hukumnya masih haram. Tetapi kalau kotoran hewan itu sudah dicampur dengan tanah sedemikian rupa, meski pada hakikatnya masih mengandung najis, namun mereka tidak melihat kepada najisnya, melainkan melihat ke sisi  tanahnya yang bermanfaat buat pupuk.

Sedangkan mazhab Asy-syafi’iyah secara umum tetap mengharamkan jual-beli kotoran hewan, walaupun sudah dicampur tanah dan untuk pupuk.

▪ Darah

Darah termasuk benda najis, oleh karena itu haram hukumnya diperjual-belikan dengan transaksi jual-beli. Namun bila diberikan begitu saja tanpa imbalan, seperti donor darah, maka hukumnya diperbolehkan.

Dan hal itulah yang pada hakikatnya dilakukan oleh Palang Merah Indonesia (PMI). Institusi itu tidak melakukan jual-beli darah, meski para pendonor diberi semacam imbalan, berupa makan dan minum.

Namun pada hakikatnya yang terjadi bukan jual-beli darah, melainkan donor darah.

Dan hukum mendonorkan darah termasuk hal yang mulia bila dipandang dari sisi syariah. Alasanya karena untuk menolong orang sakit yang sangat membutuhkan transfusi darah.

▪ Kulit Bangkai

Kulit bangkai hukumnya najis, karena itu juga menjadi haram untuk diperjual-belikan. Namun bila kulit itu sudah disamak, sehingga hukumnya menjadi suci kembali, hukumnya menjadi boleh untuk diperjual-belikan.  Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

Janganlah kamu mengambil manfaat bangakai dari ihab (kulit yang belum disamak) dan syarafnya. (HR. Abu Daud dan At-Tirmizy)

Kulit hewan yang belum dilakukan proses penyamakan disebut ihab (إهاب). Rasulullah SAW melarang bila kulit itu berasal dari bangkai, tapi hukumnya menjadi boleh bila telah mengalami penyamakan. Rasulullah Saw bersabda :   إجذَا دُبجغَ ا جلإهَابُ فَ قَدْ طهُرَ

Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci.” (HR. Muslim)

Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)

Namun ada juga pendapat ulama yang tetap menajiskan kulit bangkai, meski telah disamak, yaitu sebagian ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah. Sehingga dalam pandangan mereka, jual-beli kulit bangkai pun tetap diharamkan.

Di antara yang berpendapat demikian adalah AlKharasyi dan Ibnu Rusydi Al-Hafid. Ibnu Rusydi menyebutkan bahwa penyamakan tidak ada pengaruhnya pada kesucian kulit bangkai, baik secara zhahir atau pun batin.

Mazhab Asy-Syafi’iyah juga melarang jual-beli kulit bangkai, karena hukumnya najis dalam pandangan mereka.

▪ Hewan Najis dan Buas

Meski termasuk hewan najis, namun karena bisa bermanfaat, dalam pandangan mazhab ini, boleh hukumnya untuk memperjual-belikan anjing, macan atau hewan-hewan buas lainnya, bila memang jelas ada manfaatnya.

Di antara manfaat dari hewan buas ini adalah untuk berburu, dimana Allah SWT memang membolehkan umat Islam berburu dengan memanfaatkan hewan buas.

(Dihalalkan bagimu buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).(QS. Al-Maidah : 4)

Sedangkan anjing hitam atau sering diistilahkan dengan al-kalbul-‘aqur (الكلب العقور), ada nash hadits yang secara tegas melarang kita untuk memperjualbelikannya, bahkan ada perintah buat kita untuk membunuhnya.

Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Lima macam hewan yang hendaklah kamu bunuh dalam masjid, yaitu tikus, kalajengking, elang,  gagak dan anjing hitam. (HR. Bukhari Muslim)

Namun dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, hewan-hewan yang buas itu tetap haram untuk diperjual-belikan, meski bermanfaat untuk digunakan dalam berburu.

▪ Khamar

Termasuk yang dilarang untuk diperjual-belikan karena kenajisannya adalah khamar, dimana umumnya para ulama memasukkan khamar ke dalam benda najis. Dan memang ada dalil yang secara tegas mengharamkan kita meminum serta memperjual-belikannya.

Yang telah Allah haramkan untuk memi-numnya, maka Allah juga mengharamkan untuk menjualnya. (HR. Muslim)

Maka membuka warung atau minimarket yang menjual minuman keras haram hukumnya. Selain karena menjadi sumber dosa dan kemaksiatan, secara hukum syariah, jual-beli khamar itu termasuk transaksi yang tidak sah.

Para ulama juga menyebutkan bahwa seorang muslim diharamkan memiliki khamar, sehingga bila seorang muslim merusak khamar atau menumpahkan khamar yang dimiliki oleh seorang muslim juga, maka yang bersangkutan tidak diwajibkan untuk menggantinya.

▪ Daging Babi

Termasuk juga ikut ke dalam keumuman larangan dalam hadits ini adalah daging babi. Daging babi itu haram dimakan, maka otomatis hukumnya juga haram untuk diperjual-belikan.

Maka secara hukum syariah, bila umat Islam melakukan jual-beli daging babi meski legal namun hukumnya tidak sah.

b. Punya Manfaat

Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia.

  • Hewan Tidak Bermanfaat

Oleh karena itu para ulama As-Syafi’i menolak jualbeli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau semut.

  • Hewan Madharat

Demikian juga mazhab ini mengharamkan jual-beli hewan yang hanya mendatangkan madharat, semisal singa, srigala, macan, burung gagak dan sebagainya.

  • Alat Musik

Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang memalingkan orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jualbeli alat musik itu batil.

Alasannya karena alat musik itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli maksiat, seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya.

c. Dimiliki Oleh Penjualnya

Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau wakil.

Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.

Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain.

Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi, dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.

Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut :

Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya. (HR. Tirmizi)

Walau pun banyak yang mengkritik bahwa periwayatan hadits ini lemah, namun Imam AnNawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.

Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi’i membolehkan jual-beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya.

Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah dianggap sah.

Dalilnya adalah hadits berikut ini :

‘Urwah radhiyallahuanhu berkata,”Rasulullah SAW memberiku uang 1 Dinar untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku belikan untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1 Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil aku ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda,”Semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu”. (HR. Tirmizi).

d. Bisa Diserahkan

Menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena tidak jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak.

Demikian juga tidak sah menjual burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara pisik maupun secara hukum.

Demikian juga ikan-ikan yang berenang bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa dipastikan penyerahannya.

Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.

e. Harus  Diketahui Keadaannya

Barang yang tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.

Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat meski hanya sample- oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung.

Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa dtetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuranukuran lainnya yang dikenal di masanya.

Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.

Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tehnik, misalnya :

  • Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
  • Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang.
  • Garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.

Sumber: Ahmad Sarwat, Fiqih Jual-beli, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018

Baca Juga: